Wednesday, October 24, 2007

Sakkia Abdel Muneim El Sawy


Kehausan akan curahan seni, budaya dan sastra benar-benar telah menjadikanku semakin menggeliat tidak tentu. Sudah lama aku ingin jalan-jalan sambil ditemani kesejukan hati ke sebuah tempat dimana para artis, seniman, teateris, sastrawan, penulis, pemikir, ulama’, mahasiswa, dan para wartawan berkumpul. Di Mesir, kita hanya akan menemukan beberapa markas para seniman berkumpul, itupun tidak pernah menyeluruh seperti apa yang dicapai oleh Sakkia Abdel Muneim El Sawy. Di tempat inilah dari sastrawan sampai pemuda-pemudi yang haus akan dunia seni, sastra, budaya, agama sampai dunia kepemudaan berkumpul. Sudah lama sekali aku ingin berkelana melihat bagaimana sebenarnya dunia
  • Sakkia
  • yang dibangun oleh penulis besar, wartawan Gumhouria dan novelis ini. Sakkia atau bisa dikatakan tempat bercurahnya keilmuan dan kebudayaan ini dibangun pada tanggal 15 Juli 2002 oleh wartawan Abdel Muneim El Sawy.


    Bisa dikatakan Sakkia masih baru dibangun, walaupun begitu suaranya sudah berdengung sampai kepelosok-pelosok desa di Mesir, bahkan banyak juga para seniman dan sastrawan dari manca negara, seperti Perancis, Itali, Amerika, Inggris dan Scotlandia makang di tempat ini. Hari Senin, tepatnya tanggal 22 Oktober 2007 kemarin aku bersama dua teman berkunjung ke dunia Sakkia yang berada di akhir jalan atau jembatan 26 July, Zamalek, Cairo, Mesir. Rasa penasaranku terhadap tempat ini membuatku benar-benar tidak bisa tenang, setelah melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki sambil sesekali bertanya, akhirnya kami sampai juga di tempat tujuan kami. Aku sendiri kaget ketika melihat tempat Sakkia yang didengung-dengungkan sebagai tempat para artis, sastrawan, seniman, penulis dan pemuda-pemudi berkumpul ternyata hanya seperti itu. Dahulu ketika pertama kali aku mendengarkan nama Sakkia dari beberapa iklan dan khususnya dari majalahnya yang diberinama Sakkia El Waraqiyya. Aku membayangkan bahwa gedung Sakkia sangat besar dan mewah, tapi setelah melihatnya sendiri, ternyata semuanya lain. Bahkan salah satu temanku tertawa nyengir melihat gedung Sakkia yang aneh itu.

    Gedung Sakkia yang diberi nama Khan Sakkia ternyata hanya gedung sederhana yang dibangun di bawah jembatan 26 July. Ketika melihat seperti itu, aku jadi ingat negeriku Indonesia. Di Indonesia, di kolong jembatan seperti itu adalah tempat dimana para saudara-saudaraku yang diberi embel-embel sebagai orang-orang gelandangan bertempat tinggal, daerahnya kumuh dan menjijikkan. Tapi di Mesir ini, tempat seperti itu malahan dijadikan sebagai tempat berkumpul para orang-orang keren. Aku sangat kecewa terhadap apa yang kulihat. Tapi dibenakku ada selentingan rasa memuji pendirinya, karena ternyata seorang wartawan besar seperti Abdel Muneim mempunyai cita rasa dan inisiatif yang berbeda dan menyeni sekali. Ketika aku terbengong-bengong melihat gedung kecil yang ada di bawah jembatan itu, salah satu temanku mengajak untuk masuk. Ketika masuk aku bertambah bengong, karena pemandangan antara di luar dengan di dalamnya sangat berbeda. Lima menit kami membaca beberapa pengumuman tentang jadwal acara, seperti kajian ilmiah, teater, pementasan puisi, pameran lukisan, pameran musik, nonton film bareng sampai ajang perkumpulan anak muda biasa.

    Di setiap sudut dinding di dalam Khan Sakkia terdapat sebuah pengumuman yang tertulis bahwa di daerah ini dilarang merokok, siapa yang melanggar akan dikenai denda 100 pound (200 ribu rupiah). Aku hanya bisa begumam “luar biasa tempat ini!”. Lalu telingaku mendengar suara alunan musik band. Belum lagi aku bertanya ke teman dimana asal suara itu, salah satu temanku sudah menyeretku untuk masuk ke sebuah ruangan yang ada di belakang. Baru saja aku masuk ke ruangan itu, aku bertambah terbengong-bengong seperti seorang pemuda melihat cewek cakep. Yang kulihat bukan sekedar cewek cantik saja, tapi pemandnagan di dalam ruangan ini begitu indah, nyaman, tenang dan romantis. Ruangan tang diberi nama Qa’ah Nahr (River Hall) ini berada di samping anak sungai Nil, sambil menikmati lantunan pameran musik, kita juga bisa menikmati keindahan sungai Nil. Group Band Arab yang sedang latihan itu ternyata melantunkan lagu Arab yang digubah sedemikian rupa hingga menyerupai lagu-lagu Inggris, belum pernah aku mendengarkan Band Arab seperti ini.

    Lalu salah satu temanku mengusulka untuk memesan kopi dan sambil menyeruput kopi aku dan teman-teman menikmati beberapa lagu dari Band Arab. Aku menikmati lagunya di pinggir sungai Nil da mataku tidka henti-hentinya menatap aliran Nil yang berjalan dengan santun dna sopan. Di dalam ruangan ini disediakan beberapa makanan dan minuman yang snagat murah. Bisa dikatakan tempat tidak sekedar sebagai tempat pameran musik dan teater saja, tapi lebih jauh lagi sebagai kafe, perpustakaan dan tempat liburan yang romantis. Lagu Band Arab sudah selesai dan saat ini para pemainnya sudah turun dan sedang bebincang-bincnag di sebelah tempat kami duduk. Kami pun berbincnag-bincang sekitar setengh jam. Tiba-tiba salah satu temanku menunjukkan kepadaku adagadis Mesir cantik. Sekilas aku melirik dan aku sampai bengong melihat seorang gadis berpakaian serba hitam itu melenggang dengan tenang menuju ke para pemain Band yang rata-rata mempunyai tubuh keren itu. Gadis itu sepertinya bukan asli ornag Mesir, karena wajahnya mirip sekali orang Eropa. Berkali-kali kami membicarakan dan mencoba menembak sebenarnya gadis itu aslid ari Mesir apa berdarah Eropa.

    Tidak terasa bahwa kami sudah hampir sejam berada di dalam ruangan ini. Dan ada beberap petugas menyuruh kami keluar, karena Band Arab yang tadi sedang latihan sebentar lagi akan manggung. Bagi yang ingin melihat pementasannya itu harus membeli tiket dulu. Akhirnya kami keluar untuk mencari informasi tentang cara pendaftaran keanggotaan Sakkia. Di ruangan yang diberi nama Qa’ah Hikmah (Wisdom Hall) itu kami mendapatkan informasi pendaftaran. Untuk mendapatkan kartu keanggotaan, kami harus mengisi folmulir dan membayar pendaftaran 20 pound untuk masa satu tahun. Bagi anggota Sakkia bisa mendapatkan potongan 5 pound setiap ada pagelaran seni dan kebudayaan, juga kita bisa meminjam beberapa buku di perpustakaan Sakkia.

    Lebih lanjut lagi, ternyata Sakkia mempunyai tiga ruangan khusus, yaitu ruang sungai (River Hall) yang digunakan untuk pementasan tentang dunia pemusikan. Ruang himah (Wisdom Hall) adalah ruangan yang digunakan sebagai tempat pengajian tentang keagamaan. Sedangkan ruang kata (Word Hall) adalah tempat pagelaran teater, pembacaan puisi dan kajian ilmiah dan kebudayaan. Di tempat lain juga ada sebuah ruangan untuk perpustakaan bagi anak kecil, pelajar, mahasiswa dan para guru.setelah emngetahui beberapa informasi seperti itu, aku dapat melihat bahwa area tempat Sakkia ternyata cukup luas dan panjang, karena ia berada di bawah jembatan dan di samping aliran sungai Nil. Aku pun jadi tahu, bahwa arsiktur pembuatan tempat ini memang cicik sekali, karena tidak mengganggu orang lain. Orang tidak akan tahu dan mendengar suara musik yang keras jika di atasnya telah ada suara berisik dari mobil yang lewat jembatan. Diantara kelebihan Sakkia dnegan tempat lain seperti Opera House, Britist Council, El Harrawy dan lain-lainnya adalah bahwa tempat ini bisa menggabungkan diri antara dunia seni-budaya dengan keilmiahan dan dunia agama. Dan tempat yang sederhana itu ternyata memiliki keistimewaan yang suli dicari ditempat lainnya. Diakhir kata aku bisa mengatakan, bahwa sesuatu yang dibangun dari sebuah kesedarhanaan dan pemikiran yang ikhlas, akan menunai suatu yang tinggi dan maha dahsyat.

    24 Oktober 2007


    Baca Selanjutnya Bro..

    Mengelupas Definisi Sastra


    Mengelupas definisi sastra sampai ke akar-akarnya tidaklah semudah kita membalikkan telapak tangan, mengelupasi definisi sastra yang begitu banyaknya hampir sama sulitnya dengan menghitung warna dalam pelangi, karena disamping kita belum bisa menemukan definisi yang betul-betul mencukupi, juga di sekitar sana masih ada definisi-definisi liar yang disuguhkan oleh perorangan yang ikut andil dalam mendefinisikan sastra sesuai dengan keinginannya. Definisi-definis liar inilah yang membuat para pakar bahasa dan sastrwan sendiri menjadi pening.
    Tapi dari semua definisi yang diberikan oleh orang-orang, baik dari para pakar bahasa, sastrawan ataupun orang awam sendiri kita bisa mengambil tiga inti dasar dari definisi-definisi itu. Tiga inti yang ada pada definisi-definisi itu adalah keindahan, tulisan dan obyek sastra. Dari tiga inti dasar definisi sastra ini, telah muncul warna-warni sastra yang membingungkan. Dari tiga inti dasar definisi sastra ini juga muncul berbagai permasalahan yang membuat seorang sastrawan harus berfikir secara keras untuk menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Permasalahan-permasalahan itu muncul baru-baru ini, ketika kebudayaan menjadi semakin tua dan berkembang.



    I– Keindahan
    Apakah sastra itu harus indah?, mungkin seringkali pertanyaan itu menyentuh benak kita, kerap kali sastra dihubungkan dengan keindahan dan kertistikan. Bahkan ada beberapa golongan yang mengklaim bahwa sastra itu harus indah, jika ada karya sastra tanpa keindahan dan keartistikan, maka karya sastra itu bukan disebut sastra lagi. Apakah semua itu betu?, untuk menjawab itu, saya ingin menanyakan kepada Anda-anda sekalian, seberapa banyak karya sastra yang Anda baca dan seberapa banyak Anda mengetahui tentang sastra.
    Dari definisi yang kita dapatkan dalam kamus KBBI kemarin, bahwa sastra harus memiliki ciri keunggulan, diantaranya adalah keindahan. Ciri khas ini harus selalu melekat pada sebuah karya sastra (ibda’), baik dalam bentuk prosa atau puisi. Lah, terus bagaimana dengan para sastrawan dan penyair yang membuat sebuah karya sastra tanpa adanya keindahan di dalamnya?. Apakah itu termasuk karya sastra?. Pada dasarnya keindahan hanyalah sebuah ciri pada sastra yang bisa dihilangkan dan digantikan dengan ciri yang lain, seperti halnya sebuah perhiasan dan baju yang ada pada diri manusia. Semua itu bisa diibaratkan sebagai seorang perempuan yang cantik, apakah seorang yang cantik itu dilihat dari keindahan perhiasan dan bajunya, tentu tidak!. Kecantikan tidak harus disandarkan kepada keindahan sebuah perhiasan yang dipakai seseorang, kecantikan dan keindahan pada seseorang lebih banyak terpancar pada dirinya sendiri, cara pandang seseorang padanya, dan perbedaan sudut pandang seseorang. Seperti itu juga sebuah karya sastra, keindahan hanya sebagai salah satu ciri khasnya, yang terpenting adalah sesuatu yang memancar dari diri sastra itu, bukan embel-embel yang lainnya.
    Memang sebuah sastra tidak bisa terlepas dari keindahan, entah itu dalam takaran sedikit atau banyak. Tapi keindahan itupun masih umum, karena keindahan sendiri bisa diartikan menjadi banyak, entah keindahan dalam bahasanya, filsafatnya, pesan akhirnya, ataupun keindahan sebuah alurnya. Tapi diantara semua keindahan itu, yang paling ditekankan adalah keindahan pada pesan sastra dan alurnya, bukan keindahan bahasa yang di dalamnya tidak ada isinya. Isi pada sebuah sastra adalah perkara yang paling penting, karena bagus tidaknya sebuah sastra bisa dilihat dari isi yang dimuat oleh sebuah karya sastra. Jadi keindahan pada sebuah karya sastra bisa dibilang hanya sebuah perhiasan sastra yang bisa dipakai atau dicopot, sedangkan isi pada sastra itu yang menentukan semuanya. Kalau kita bisa melihat seperti karya sastranya novel Ngauib Mahfouz (Awlad Haritna), Dan Brown (Da Vinci Code), Seno Gumira Ajidarma (Negeri Senja), dan puisinya Muchtar Lubis (Harimau), dan lain-lainnya. Di sana kita bisa menemukan tulisan yang jauh dari sebuah keindahan (kata-kata), karena semuanya lebih banyak menyuguhkan sebuah simbol-simbol yang membuat kita harus mengerutkan kening untuk dapat memecahkannya. Tapi dari semua karya sastra itu kita bisa mendapatkan sebuah pelajaran yang sangat mahal tentang kebebasan perpikir, berpendapat dan demokrasi pada sebuah negara. Begitu juga dengan novel filsafat karya Jostein Gaarder dengan judul Dunia Sophie-nya yang memuat pelajaran tentang filsafat, semuanya jauh dari keindahan bahasa yang banyak diagung-agungkan oleh orang-orang hingga saat ini. Dengan adanya sebuah karya yang seperti itu apakah keindahan bahasa dalam sastra menjadi sebuah ciri khas yang tidak bisa dihilangkan?. Keindahan bahasa tidaklah mutlak harus ada pada sebuah karya sastra, yang terpenting adalah pesan yang dibawa oleh karya satra itu.

    II– Tulisan
    Definisi yang akan saya kupas adalah definisi yang menyatakan bahwa sastra adalah karya tulis, atau creative writing of recognized artistic value. Sastra adalah sebuah cerminan ide atau bahasa yang dituangkan lewat sebuah karya atau tulisan. Secara mutlak, patokan sastra tidak harus dituangkan dengan cara tulis, kenapa?. Karena menuangkan sebuah gagasan dalam otak manusia tidak hanya lewat tulisan, di sana masih ada banyak wahana yang bisa dibuat untuk wadah sebuah gagasan (karya sastra).
    Sarana yang dipakai manusia untuk mengaktualisasikan ide-ide, gagasan-gagasan dan hasil pikirannya tidak terbatas pada tulisan saja, sarana-sarana lainnya basih banyak sekali, diantaranya adalah bercerita dari mulut ke mulut (safawiyah/oral), tulisan, gambar (visual), suara (audio), audio-visual, gerakan, atau tidak gerak sama sekali. Jadi tulisan bukan satu-satunya sarana yang ada pada kehidupan kita, di sana masih ada puluhan, bahkan ratusan sarana lainnya yang terus menerus muncul di dalam kehidupan kita. Coba kita tengok sarana pertama kita ketika pertama kali kita lahir ke dunia ini, dengan menangis. Menangis adalah sarana pertama manusia untuk merealisasikan kedukaan dan kegembiraannya dan sarana komunikasi terhebat bagi manusia ke manusia lainnya.
    Mungkin, definisi itu bisa disepakati dan dipakai patokan bagi sastra pada zaman puluhan tahun silam, tapi untuk saat ini apakah definisi itu masih bisa berlaku, apakah definisi seperti itu masih bisa membuat seseorang diam?, tentu tidak. Mungkin pula, pada waktu itu media yang paling baik untuk mengaktualisasikan sastra adalah lewat tulisan, disamping mudah juga hasilnya cukup bagus dan bisa dijangkau oleh semua kalangan. Sedangkan media atau sarana yang lainnya sangat sulit didapatkan dan digunakan. Faktor sejarah seperti itu tidak bisa dipungkiri lagi, karena adanya saat ini adalah hasil dari masa silam, dan adanya saat ini akan membawa hasil di masa depan. Setiap sesuatu selalu berupa bersamaan dengan berubahnya arah jarum jam dari setik sampai jam. Begitupun dengan sastra dan definisi-definisinya, sudah selayaknya untuk diubah juga, karena definisi yang kita pakai sudah cukup tua, cukup untuk dipensiunkan dan dirubah dengan yang baru yang mampu mencakup semuanya.
    Dengan kenyataan saat ini, seperti sarana gambar (visual) misalnya, sastra semakin luas cakupannya. Dari gambar (visual) itu, seperti lukisan, karikatur, foto dan lain-lainnya telah mewakili sastra dan seni untuk mengaktualisasikan ide-ide dan gagasan-gagasan pada diri manusia, seperti halnya dengan novel, cerpen, puisi, naskah drama dan lain-lain yang dihasilkan lewat sarana tulisan. Begitu juga dengan sarana suara (audio) yang menghasilkan karya seni dan sastra lewat sandiwara, cerita dan lain-lainnya. Atau gabungan antara gambar (visual) dan suara (audio) yang diwakili oleh film, sinetron dan lain-lainnya. Dan masih banyak lagi sarana-sarana lainnya yang ada pada kehidupan kita saat ini.
    Tentang hubungan sastra dan seni, bisa dikatakan sebagai satu tubuh, karena kedua-duanya berjalan seiringan, seni seperti halnya keindahan. Kedua-duanya termasuk ciri dari sebuah sastra.
    Makanya dari itu semuanya, penulis mencoba untuk mendefinisikan sastra sebagai cerminanan dari kehidupan-baik dari sastrawan itu sendiri atau dari lainnya- yang direfleksikan melalui media-media, baik bahasa, tulisan, ataupun audio-visual dengan hiasan artistik, keindahan dan lainnya, dan dengan tujuan tertentu. Bukan sekedar mendefinisikan saja, tapi lebih banyak untuk mencoba melakukan rangkulan-rangkulan ke semua aspek. Walaupun penulis sendiri tidak memungkiri adanya kekurangan-kekurangan saat ini atau yang akan datang, karena penulis lebih suka tidak mendefinisikan sastra sesuai dengan pernyataan Ibn khaldun tentang sastra yang mengatakan, “Sastra tidak bisa didefinisikan dan tidak ada definisinya”.

    III– Obyek Sastra
    Obyek sastra bisa muncul dari dalam diri sastrawan sendiri atau dari luar, bisa berbentuk sebuah kritikan, emosi, informasi, pembelajaran dan lain-lainnya. Seperti yang dikatakan oleh Mahmud Stanie bahwa unsur pembangun sastra (obyek sastra) banyak sekali, bisa dari budaya dimana sastrawan itu tinggal, atau kebudayaan orang lain dimana sastrawan mendapatkan inspirasi darinya. Cara berfikir, tempat tinggal, budaya, geografis dan politik bisa memunculkan berbagai corak sastra. Makanya obyek sastra atau unsur pembangun sastra bisa dikatakan ada dua secara garis besarnya, yaitu intrinsik (unsur dalam) dan ekstrinsik (unsur dari luar). Maksud dari unsur intrinsik adalah bahwa obyek pembangun sastra ada pada diri sastrawan sendiri, di mana semua ide, gagasan dan khayalan keluar dari dalam diri sastrawam. Seperti ketika seseorang menulis sebuah novel yang diambil dari kisah perjalanan kehidupan sendiri atau dari buku hariannya, maka obyek sastra yang diambil adalah dirinya sendiri.
    Berbeda dengan ketika ada seseorang menulis sebuah sajak yang diambil dari cerita orang lain atau menceritakan orang lain, seperti sajak dari W. S. Rendra Paman Doblang, Rendra menceritakan tentang seorang yang dipenjara oleh penguasa yang diktator, ia ingin menceritakan tentang seorang penguasa yang diktator. Unsur yang ini dinamakan unsur ekstrinsik. “Sastra adalah cerminan dari kehidupan dari pernik-perniknya sampai yang besar”, kata Dr. Syafiq Abdur Razaq Abi Sa’dah dosen fakultas bahasa Arab universitas al-Azhar.
    Dari kedua unsur inilah ide-ide mengalir deras, ide dan gagasan akan datang bersamaan dengan kehidupan manusia dari zaman ke zaman, karena hakekat sastra adalah salinan atau cerminan sebuah kehidupan manusia, makanya benar apa yang dikatakan Plato, bahwa sastra adalah sebuah karya tiruan realitas, yang notebenenya adalah tiruan dari dunia ide.
    Makanya ada benarnya ketika ada seseorang mengatakan bahwa dengan membaca karya sastra, Anda sama dengan melihat dan membaca sebuah kehidupan manusia, bisa dibilang sastra mirip seperti surat kabar, cuma bedanya sastra dihiasi dengan berbagai perhiasan yang menarik. Ada juga yang mengatakan bahwa sastra adalah hasil karya berupa hayalan tingkat tinggi seseorang, dengan mengatakan seperti ini, Anda menyatakan kebenaran apa yang dikatakan oleh Plato, Anda menyetujui dan menyepakatinya, padahal tidak juga. Buktinya adalah tidak semua karya sastra berasal dari hayalan saja, ada juga yang berasal dari dunia realis dan benar-benar ada dalam kehidupan kita.
    Terus apa hubungan budaya dan sastra?, kalau saya bisa mengatakan, sastra muncul dari budaya, sastra juga bagian dari budaya. Begitu juga budaya kadang-kdang bisa tercipta karena budaya. Seperti novelnya Arthur C. Clarke yang berjudul Space Odyssey, Arthur mengkisahkan tentang sebuah komputer yang bisa menerima perintah-perintah manusia, komputer itu juga mampu diajak berbicang-bincang layaknya manusia. Dari novel Arthur ini, para ilmuan hingga saat ini mencoba membuat komputer semisal komputer yang ada di novelnya . Ini yang dinamakan sebuah karya sastra bisa membangun sebuah peradaban dan budaya, dan masih banyak karya sastra lainnya yang semisalnya.
    Hubungan sastra dan budaya bisa diibaratkan seperti seekor ayam dan sebutir telur. Kita akan sulit menentukan mana yang dahulu dari keduanya, karena keduanya saling berhubungan dan saling mempengaruhi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
    Budaya adalah obyek luar bagi sastra, ia juga bisa memunculkan corak yang bermacam-macam. Corak sastra ini akan muncul bersamaan dengan bermacam-macamnya budaya yang ada di bumi. Seperti budaya China yang membawa corak sastra China dengan peperangan-peperangannya. Juga budaya Arab yang membawa corak sastra Islam.
    Akhirnya sastra adalah karya terbesar, termulia, dan terhebat. Seorang sastrawan adalah seorang pencerita hebat, ia juga termasuk psikolog yang menghubungkan manusia dengan manusia.
    Sastra begitu besar, tidak mungkin manusia untuk mendefinisikannya, karena sastra tidak butuh didefinisikan dan tidak perlu didefinisikan.

    Bibliografi

    Abdur Razaq Abu Sa’dah, Syafiq, Muthalaat fil Adabil Umawi, al-Azhar, Kairo, 2006.
    Abdur Razaq Abu Sa’dah, Syafiq, Qithafun min Tsimaril Adabil Umawi, al-Azhar, Kairo, 1992.
    Al-Askandari, Ahmad, et. al. Al-Mufassil fi Tharikhil Adabil Arabi, Maktabah al-Adab, vol. 1, Kairo, 2005.
    Ahmad Badawi, Ahmad, Asasun Naqd al-Adab indal Arab , Nahdhah Misr, Giza, cet. VII, 2004.
    Hussain, Thaha, Fil Adabil Jahili, Dar el-Ma’arif, Kairo, cet. X, tanpa tahun terbit.
    Dhaif, Syauqi, Al-Ashrul Jahili, Dar el-Ma’arif, Kairo, cet. IV, tanpa tahun terbit.
    Gunawan, Adi, Kamus Praktis Ilmiah Populer, Kartika, Surabaya, tanpa tahun terbit.
    Afif, Hamid, Menyampaikan Ideologi Lewat Sastra, makalah kajian lepas Gamajatim pada tanggal 30 September, Kairo, 2006.
    Niswah el Fidaa, Dhoriefah, Problematika Definisi Sastra, makalah kajian lepas Gamajatim pada tanggal 30 September, Kairo, 2006.


    Baca Selanjutnya Bro..

    Kenapa Harus Menulis?

    Mungkin bagi sebagian orang yang pernah nonton film dengan judul Catatan Akhir Sekolah di sana, kita bisa menemukan sebuah jargon (Maksudnya pesan filmnya) atau idiologi dari film itu yang mengatakan bahwa kita hidup(seorang murid/mahasiswa) adalah hanya untuk mecatat. Mungkin bagi sebagian orang, pesan yang seperti itu tidak menimbulkan sesuatu yang perlu diingat atau diperhatikan lebih khusus, tapi bagiku pesan itu menjadi sesuatu yang dahsyat dan penuh makna tersendiri. Aku bisa mengatakan bahwa diriku ada sedikit kecondongan tentang masalah itu, tapi bukan berarti aku sepakat secara bulat-bulat terhadap pesan seperti itu. Menurutku kehidupan yang paling berarti adalah ketika kita bisa sedikit menulis bukan mecatat semua detik kehidupan kita sendiri atau yang berhubungan dengan alam lingkungan di samping kita hidup.




    Terdapat perbedaan mendasar antara menulis dan mecatat, kalau dalam bahasa Inggrisnya menulis diartikan write, sedangkan mecatat diartikan sebagai note. Ini menunjukkan bahwa dimanapun dan apapun bahasanya, antara menulis dan mecatat ada perbedaan yang sangat mendasar, baik dari segi penggunaan kata atau fungsi kata, arti, dan kekhasannya atau keunggulannya. Menulis adalah salah satu kata yang bisa digunakan dalam segala kondisi dengan aspek yang lebih luas dan merata, sedangkan penggunaan kata mecatat adalah sebuah kata yang digunakan dalam kondisi yang lebih khusus dengan kondisi yang sempit dan terbatas. Kata mecatat digunakan untuk istilah dalam sebuah kasus atau kondisi yang sempit dan dalam waktu yang pendek, seperti halnya catatan akhir sekolah. Ini berarti bahwa kondisi mecatat hanya dibataskan pada detik-detik dalam kehidupan bersekolah. Sering kali kata catatan dibataskan pada sesuatu yang lebih sempit dan pendek, karena memang makna asli dari kata itu menyempitkan dan mengkhusukan sesuatu yang disandarkan pada kata itu.

    Aku lebih senang menulis. Itu sudah jamak kalau kita mau berpikir ke masa depan. Aku mulai suka menulis ketika aku selesai ikut lomba karya ilmiah nasional di Malang, Jawa Timur. Waktu itu aku mewakili sekolahku untuk maju ikut lomba, setelah guru bahasa Indonesia dan sastra Indonesia mendesakku. Sebenarnya aku sendiri sudah tidak ada mood untuk mengikuti lomba atau menulis lagi, karena waktu itu aku harus konsen pada ujian akhirku. Dengan bekal bismillah aku pun terpaksa ikut. Sebelum menulis aku harus melakukan riset dan pengekploitasian data ke perpustakaan dan berbagai tempat. Waktu riset aku membutuhkan waktu sekitar satu bulan, sedangkan untuk menulis hanya membutuhkan waktu dua minggu. Setelah selesaid an diserahkan ke Malang, aku menunggu terus dengan hati agak khuwatir, maklum ini adalah lomba terbesar dalam hidupku waktu itu. Setiap satu minggu, aku mendapatkan surat dari Malang yang isinya hasil karyaku diterima. Aku mendapatkan empat kali surat, isi pertama menjelaskan bahwa karyaku telah sampai dan diterima. Isi ke dua menjelaskan tentang penyeleksian dari 150 peserta dari berbagai propinsi dan aku masuk pada 70 peserta terbaik, lalu isi ke tiga kuterima yang isinya menerangkan bahwa aku masuk pada 40 peserta yang diterima. Surat ke empat kuterima dengan hati getir, karena aku tidak bisa masuk dalam penyeleksian 12 peserta terbaik.

    Sampai di sini aku mules sekali. Di surat itu dijelaskan banyak sekali kekurangan, baik dari segi judul dan pendalaman riset. Aku bisa masuk ke dalam 40 besar, karena tata kebahasaan tulisanku bagus. Setelah kegagalanku ini, aku jadi pobia atau takut terhadap beberap perlombaan. Aku tidak mau lagi mengikuti perlombaan. Tapi dari segi menulis, aku semakin haus dan lapar. Setelah lulus dan aku mau meneruskan ke jenjang S1 di Mesir di saat itulah guru bahasa dan sastra Indonesiaku memberi pesan padaku untuk selalu menulis, karena katanya bakat ada pada penulisan. Sebenarnya aku tidka begitu percaya tentang bakatku itu, aku hanay percaya bahwa aku tidak mempunyai kemampuan dalam berbicara, sehingga membuatku harus belajar menulis dan menulis. Menulis bagiku adalah berbicara juga, bahkan lebih hebat lagi, karena kita akan mentransformasi keilmuan kita juga. Setelah aku berada di Mesir, aku sempat mengalami kecanduan untuk menulis, sehingga hari-hariku di Mesir tidak terlepas dari pena, tulisan dan buku bacaan. Kemana pun aku pergi, aku selalu membawa tiga teman setiaku itu.

    Untuk menemukan ide tentang apa yang akan kutulis, aku sering kali melakukan jalan-jalan. Entah ke mana, asalkan jiwa dan pikiranku bisa melayang bebas untuk menemukan pernik-pernik kehidupan yang bisa kutulis. Kadang dalam bis, aku terdiam seperti ornag melakukan meditasi, bukan melamun atau apa, tapi sengaja kulakukan untuk mencari ide tulisan. Hingga saat ini aku telah menulis banyak artikel, esai, puisi, cerpen dan bahkan novel. Walaupun tidka bagus amat tapu cukup memuaskan sebagai awla dari pena yang masih muda walaupun dengan umur yang tua. Hingga saat ini aku masih menulis, sebagai gerbang dan alat untuk berbicara dan memindah ilmu pengetahuan yang kumiliki. Sejak di Mesir, aku jadi tahu bahwa kalau harimau mati meninggalkan belang, gajah meninggalkan taring, maka aku akan meninggalkan karya tulisan ketika aku meninggal suatu saat. Setidaknya inilah yang kupahami dari seorang penyair Qus bin Sa’dah, bahwa seseorang harus membuat karya besar sebelum jiwanya melayang meninggalkan raga.




    Baca Selanjutnya Bro..

    Sunday, October 14, 2007

    Senyum Terindah


    Sepertinya, kehidupanku saat ini mulai tampak indah. Kulihat beberapa kali keindahan tersenyum kepadaku dengan senyumnya yang semerbak.terlihat bibir keindahan itu mungil menantang. Ah... benar-benar malam kemarin membuatku senang dan bahagia. Kerinduanku terhadap orang tua dan keluarga di Indonesia kali ini benar-benar terobati. Malam lebaran kemarin, aku bersama salah satu teman serumaku berjalan menuju kampung Gamalea sebelah Timur. Hampir setahun aku tidak menjenguk sebuah keluarga yang telah membuatku dapat menemukan oase kehidupan di Mesir. Beberapa bulan yang lalu aku hidup di sana selama sekitar enam bulan, di sana aku merasakan kehidupan yang begitu menyenangkan, sebuah kehidupan yang belum pernah kurasakan di tempat lainnya di Mesir, bahkan di tempat tinggalku saat ini, di Bathniyyah.

    Aku berjalan menelusuri gang-gang sempit dengan gedung-gedung yang sudah usang dimakan waktu. Penuh debu, sampah dan sangat jorok. Entah mengapa tiba-tiba aku merasakan rasa rinduku untuk berjalan menelusuri gang-gang sempit itu. Bahkan berkali-kali aku sempat menendang rol-rol kenangan beberapa bulan yang lalu, ketika aku masih bertempat tinggal di daerah ini. Sebuah daerah dimana kesempitan, debu, jorok dan kesunyinyan menjadi sebuah daerah paling berharga dan nyaman buatku.



    Entah bagaimana tiba-tiba saja aku merasa hidup di surga, padahal tempat di sini sangat memuakkan. Aneh memang kehidupan yang kurasakan beberapa bulan dulu. Kenangan-kenangan itu berkeliaran, seperti hantu mencari sukma.

    Aku datang kembali ke daerah ini dengan beberapa tujuan, diantara tujuan-tujuan itu yang terpenting adalah bersilaturahmi dengan keluarga yang dulu rumahnya kami sewa selama berbulan-bulan. Sebut saja Mama, karena hingga saat ini aku tidak pernah tahu siapa nama ibu dengan empat anak itu. Aku hanya tahu nama suaminya Ahmed, anak-anaknya, seperti Mohamed, Imad, Heba dan Suzane. Selain ingin bersilaturahmi, aku juga ingin mengembalikan sebuah buku yang sudah lama ikut bersamaku. Aku sendiri tidak tahu, sebenarnya buku yang ikut tercampur dengan buku-bukuku ketika pindahan itu milik siapa, apakah milik Mama atau milik seorang yang pernah menyewa falat sebelumku?. Yang kutahu bahwa aku harus mengembalikannya ke tempat semula.

    Selain itu, aku juga sudag rindu dengan lorong dan gang sempit kampung Gamalia, tempat bermain seorang novelis besar Mesir Naguib Mahfoudz. Aku juga rindu senyuman Mama, Heba, aplagi Suzane. Dan masih banyak sekali tujuan-tujuan yang lainnya selain itu. Dengan hati agak deg-degan, malam takbiran itu aku bergentayangan ke rumaha Mama. Baru saja sampai di bawah apartemen rumahnya, aku bertemu dengan anak laki-laki Mama yang bernama Imad. Pertama melihatnya aku kaget sekali, karena Imad sekarang sudah tampak lebih besar dan lebih tinggi dariku. Tiba-tiba pikiranku juga melayang ke Indonesia, dibenakku teringat adik laki-lakiku yang semurun dengan Imad. Apakah ia sudah sebesar Imad saat ini? Aku bertanya-tanya dan sesekali tersenyum kalau suatu saat bertemu dnegan adikku itu.

    Imad berkata dengan ramah dan masih ingat dengan kami, katanya ibunya ada di rumah dan kami disuruh langsung masuk ke rumah, sedangkan Imad sendiripergi meninggalkan kami. Kami melanjutkan perjalanan ke atas apartemen dan ketika kami sudah sampai di depan pintu yang sudah terbuka lebar. Ternyata Heba dan Suzane sudah menyongsong kami di tengah-tengah pintu. Mereka menyambut kedatangan kami dengan hangat dan lembut. Berkali-kali mereka mengatakan, syaraftumuna (kedatangan kalian memuliakan kami) dan dengan senyum terindah yang sering kulihat sebelumnya. Aku melihat dua puteri Mama itu, lalu mereka mempersilahkan kami masuk ke dalam rumah. Setelah kami duduk, Suzane masuk ke dalam kamar ibunya atas kedatangan kami.

    Kedatangan kami disambut baik oleh Mama, bahkan berkali-kali Mama mengatakan penyesalannya karena jarang menghubungi kami. Mama dan Heba bercerita berbarengan, mereka bercerita bahwa Heba sudah menikah beberapa bulan yang lalu. Aku senang mendengarnya. Heba dengan rasa bangganya bahkan memperlihatkan cincin pernikahannya. Belum pernah aku merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya, entah apakah karena aku sejak dahulu mereka adalah keluargaku juga. Sehingga pernikahan Heba yang sudah kuanggap kakak perempuanku itu sangat menggembirakanku. Temanku bertanya tentang pernikahan Suzane juga, kapan dia menikah. Mama mengatakan bahwa Suzane masih belum menikah dan Suzane tersenyum agak malu-malu mendengar pertanyaan kawanku itu. Memang Suzane masih terlalu muda untuk menikah bagi adat orang Mesir, ia baru saja lulus dari sekolah Aliyah. Mungkin umurnya baru sekitar 19 tahunan. Tapi kali ini aku memperhatikan dirinya dengan seksama, sepertinya dia sudah tampak besar dan lebih dewasa dari pada setahun yang lalu.

    Tubuhnya yang sudah berbau keibu-ibuan menunjukkan bahwa sebenarnya dia sudah layak untuk menentukan jodohnya terhadap seorang laki-laki. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara Heba dan Suzane. Heba memiliki tubuh yang sudah begitu sempurna dan matang, mukanya tampak bundar ovel dengan wajah yang manis, sedangkan Suzane mempunyai wajah yang lonjong dengan hidung yang snagat mancung. Melihat hidungnya yang meruncing itu, tiba-tiba terlintas gambar muka ratu kecantikan Mesir, Cleopatra. Apakah ratu Cleopatra yang digembar-gemborkan kecantikannya itu mirip dengan Suzane?. Aku tidak tahu!.

    Kami berbincang-bincang berlima saja. Mereka masih ingat nama satu persatu kami, hanya Mama dan Heba yang sudah lupa namaku yang sulit Angga!, nama yang sulit bukan?. Tapi aku mengatakan luar biasa pada Suzane yang ternyata masih ingat namaku dan cara menucapnya cukup tepat juga. Kami berbincang-bincang cukup lam dengan topik pembicaraan yang banyak sekali. Seputar pernikahan Heba, kenangan hidup kami dahulu, tentang tanah air, tentang perkuliahan, tentang Imad, sepak bola Mesir, artis Mesir sampai tentang persoalan bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri paginya.

    Berkali-kali aku dan kawanku harus tertawa terbahak-bahak ketika mendengar penuturan Mama yang lucu seperti seorang pelawak di televisi. Suatu ketika Mama mengatakan bahwa dirinya pernah kuliah di suatu Universitas, ketika kami ngobrol tentang perkliahan. Kami bertanya, di universitas mana Mama kuliah? Dia menjawab dengan enteng dan lucu. Ana kuliah fi kuliyatul manjil wal mathbakh! (Kuliah Rumah Tangga dan Dapur). Sepontan kami tertawa mendengar jawaban konyol itu, bahkan Heba dan Suzane ikut tertawa terbahak-bahak samapai memegangi perutnya. Luar biasa konyolnya orang Mesir.

    Lalu topik pembicaraan beralih ke artis-artis setelah kami berbincnag-bincang tentang sepak bola, khususnya Ahlawy (tim sepak bola Kairo) dan Zamalekawy (tim sepak bola Zamalek). Dalam hal ini kami ditanya pendukung yang mana antara tim sepak bola Mesir yang selalu melakukan petandingan dengan kemenangan bergantian itu. Lalu aku menjawab bahwa aku tidak mendukung siapa-siapa, keduanya adalah tim yang bagus. Pengakuanku ini aku kuatkan dengan mendedangkan lagu Nancy Agram berjudul Zamalek wal Ahly, sebuah lagu khusus untuk dua tim sepak bola terbesar di Mesir. Bahkan akhirnya aku bertanya apakah mereka kenal dengan Nancy Agram, mereka menjawab bahwa mereka sangat mengenal penyanyi pelarian Libanon itu. Lalu mereka menyebutkan sederetan nama-nama penyanyi yang sudah kueknal akrab, bahkan aku sampai hapal beberapa lagunya. Heba ternyata sangat suka dengan penyayi Libanon Elliza dan Suzane menyukai penyanyi Ashala Nashry asal Syiria. Lalu aku bislang bahwa aku suka penyanyi Mesir Sheren yang saat ini lagi hamil dua bulan. Mereka kaget mendengar pengakuanku itu. Ternyata mereka juga menyukai Sheren yang katanya suaranya sangat merdu. Lalu Heba bertanya apakah aku keal dengan penyanyi Heifa dan bagaimana pendapatku. Aku mengatakan bahwa penyanyi ini tidak begitu baik, karena kepopuleran Heifa bukan dari suara tapi goyangan mautnya, seperti Inul. Dan Heba manggut-manggut membetulkan pendapatku.

    Setelah lama kesana kemari bercerita, ternyata tidak terasa aku telah beridam di sana kurang lebih sekitar dua jam. Cukup lama untuk sekedar melepas rindu. Ketika kami ingin minta pamit, berkali-kali Mama masih ingin ngobrol dan masih merasa rindu kepada kami, tapi kami memaksa untuk pergi karena sudah terlalu lama kami di sana. Akhirnya kami pulang dengan puas dan buku yang akan kami kembalikan itu ternyata diberikan kepadaku sebagai hadiah. Senyum manis Heba dan Suzane mengawal kepulangan kami dengan hati gembira, karena sepertinya aku telah mendapatkan kehangat keluarga di Mesir. Kehangatan kelaurgaku yang sudah lama kuimpikan sejak aku tinggal di negeri orang ini. Senyum indah dan ramah itu tidak akan pernah terlupakan. Dan akhirnya semoga suatu saat aku bisa menyambung silaturahmi dengan keluarga itu seterunya, bahkan sampai nanti kepulanganku ke Indonesia.

    Baca Selanjutnya Bro..

    Sinopsis Novel Senja Di Kornish Nil


    Seperti juga senja yang ada di Kornish Nil, yang lama-kelamaan akan hilang ditelan kegelapan. Seperti itu juga hakikat dari sebuah kegembiraan yang akan sirna oleh kesedihan, keduanya akan berganti sesuai hukum Tuhan. Kegembiraan tidak ubahnya seperti keindahan senja yang hanya mampir sebentar dalam kehidupan, hanya beberapa detik, setelahnya akan datang masa gelap atau kesedihan. Sebenarnya kalau kita mau membuka sedikit mata, akan terlihat jelas bahwa diantara keduanya ada semacam keseimbangan yang tidak akan pernah terpisahakan, adanya keindahan senja karena adanya kegelapan malam, begitu pun dengan kegembiraan karena adanya kesedihan. Manusia bisa mengenal apa itu gembira, itu bukan lain karena manusia pernah merasakan sedih. Gembira dan sedih hakikatnya adalah gula-gula dan kenikmatan hidup terbesar yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Seperti halnya keindahan senja dan kegelapan adalah keindahan dan dibaliknya ada manfaat yang besar untuk manusia juga.



    Semuanya diciptakan oleh Tuhan untuk manusia, supaya manusia tidak bosan dengan kehidupan ini. Karena manusia mempunya nafsu yang selalu ingin perubahan, bukan suatu ketetapan yang membosankan. Tuhan menciptakan sedih setelah gembira atau sebaliknya, pada dasarnya untuk memberikan kenikmatan hidup bagi nafsu manusia. Maha besar Tuhan yang menciptakan segalanya dengan teratur!.

    Senja di Kornish bukanlah sekedar sebuah senja biasa. Keindahan senja di tempat ini, bagi orang-orang Mesir dan orang yang pernah melihatnya dikatakan tidak kalahnya dengan keindahan senja di sungai Seine, Perancis. Warna keemasannya mampu membuat orang terhanyut ke sebuah dunia dengan keindahan tanpa batas. Matahari yang bulat berwarna merah kemas-emasan itu tidak hanya membuat Kornish Nil menjadi lebih indah, tapi juga membuat badan menjadi agak lebih hangat. Walaupun begitu, embun dan halimun putih tipis yang ada di permukaan sungai Nil tidak mau kalah dengan cahaya senja yang keemas-emasan. Kaliborasi antara warna merah keemas-emasan dengan halimun putih tipis menghasilkan paduan warna dan keindahan tersendiri, keindahan-keindahan itu tidak akan bisa diperlihatkan di tempat lainnya, belum lagi ditambah pergerakan air sungai Nil yang bergerak santun, membuat kondisi di Kornish Nil tidak bedanya dengan surga yang pernah diimpi-impikan oleh setiap orang.

    Ketika berjalan atau berhenti sambil menikmati udara dan keindahan warna senja kemerah-merahan bercampur keemas-emasan itu, suasana hati akan ikut berbunga-bunga. Hati yang gelisah, lelah, penat, marah, atau lagi lesu akan segera terhempas hilang semuanya. Kata orang Mesir, berjalan di pinggiran sungai Nil atau di Kornis Nil akan membuat jiwa seseorang melayang-layang diantara hamparan keindahan tanpa batas, makanya tidak heran jika ada seorang pendatang mengatakan bahwa keindahan Kornish Nil seperti sebuah replika dari surga.

    Cerita ini dimulai dengan kedatangan seorang pemuda berdarah Indonesia-Mesir yang bernama Khalil di Mesir, ia datang dengan mengemban amanat dan wasiat terakhir dari mendiang ayahnya. Ia datang ke Mesir untuk mencari dan menyatukan keluarganya yang sudah terpisah slama dua puluh tahun silam. Setibanya di Mesir, ternyata tidak mudah untuk mencari jejak ibu dan adik-adiknya yang sudah dua puluh tahun terpisah darinya itu. Selama berbulan-bulan ia berusaha terus-menerus mencari kalurganya itu, tapi tetap sulit mencari jejak keberadaan mereka. Hingga hari-harinya di Mesir membuatnya mengenang kembali kisah sedih dua puluh tahun silam. Akibat salah paham dan fitanah dari orang lain, kedua orang tuanya harus berpisah selama itu. Karena mengenang kisah sedih inilah, tanpa sengaja ia mulai putus asa dan selalu murung. Hampir hari-harinya selalu ia gunakan untuk melihat keindahan senja di Kornish Nil, tapi kenyataanya ia tidak mendapatkan apa-apa di sana, hanya membuat serpihan luka lama menjadi terkuak kembali.

    Apakah Khalil bisa mengobati luka-lukanya yang terkuak kembali akibat sulitnya mencari keluarganya itu? Dan apakah Khalil mampu menemukan dan menyatukan kembali keluarganya yang terpisah? Dalam perjalanan ini, Khalil banyak sekali menemukan rintangan, termasuk keadaannya sendiri yang selalu bersedih hati dan tentang kisah cintanya dengan dua orang gadis Sophie dan Yasmin yang membuatnya bingung untuk memilih, disamping misteri sulitnya mendapatkan informasi keberadaan keluarganya di Mesir. Apakah Khalil mampu menyelesaikan semua masalahnya itu?. Tentunya semua akan terjawab di dalam kisah Senja di Kornish Nil.





    Baca Selanjutnya Bro..

    Saturday, September 29, 2007

    AKU TELAH MATI!


    AKU TELAH MATI!

    Sepi!. Ruang lingkupku terasa sepi saat ini. Entah mengapa tiba-tiba saja, akhir-akhir ini aku merasa bosan. Padahal, dihitung-hitung semua pekerjaanku sudah habis sejak tiga minggu yang lalu. Sebuah pekerjaan yang membuatku tidak bisa tidur nyenyak, makan tidak enak dan selalu membuatku selalu gelisah. Walaupun begitu, tidak ada rasa lega dan nikmat yang pernah kurasakan sebelumnya, ternyata pekerjaan itu telah usai, setelah setahun lamanya aku bekerja keras untuk menyelesaikaannya.

    Novel! Ya, sebuah novel tentang seorang pemuda Indonesia yang sedang mencari ibu dan adik-adiknya di Mesir telah kutamatkan pada awal September 2007. Bisa dikatakan novel pertamaku yang pernah kutulis sampai tamat, sebelumnya memang aku pernah menulis sebuah novel dengan judul Senyum Ratu Cleopatra, tapi novel itu tidak jadi kuteruskan karena ada beberapa kendala yang kuhadapi. Hingga aku mendapatkan sebuah ide baru pada awal tahun 2006 dan langsung kucoba untuk kutulis. Permulaan penulisan novel ke-duaku dengan judul Senja di Kornish Nil ini pada bulan September 2006 dan berakhir pada bulan September 2007. dengan kata lain pembuatan novel ke-dua ini membutuhkan waktu satu tahun, baik dalam pengolaan ide, mencari data dan menjeljahi setting novel.



    Entah mengapa tiba-tiba saja duniaku saat ini menjadi sebuah kata-kata tanpa titik. Hanya ada plot-plot tidak terduga di dalamnya. Dunia yang begitu luas, hampir sulit dijangkau batasnya. Dan entah mengapa aku sendiri merasa asyik dengan dunia kata-kataku ini?. Hingga saat ini aku masih meramu sebuah kata-kata menjadi sebuah kehidupan dengan titik-titiknya, hampir seperti Tuhan dengan kehidupan manusia dengan berbagai problemnya. Aku masih ingat, pernah suatu ketika ada seseorang mengatakan bahwa membuat cerita, baik cerpen dan novel adalah replika dari kehidupan manusia dengan Tuhan dibalik layarnya. Apakah aku sekarang sudah menjadi Tuhan-Tuhan kecil yang dengan rakus dan tamak mencoba bersaing dengan Tuhan yang Maha Mutlak?. Oh... aku tidak tahu. Aku hanya mengatakan bahwa aku bukan Tuhan dengan segudang rahasia-Nya, aku adalah manusia ciptaan-Nya yang mencoba untuk mencatat kembali kehidupan-kehidupan manusia, bukan membuat kehidupan untuk manusia kembali, atau bahkan bersaing dengan-Nya.

    Saat ini, aku masih berada dalam kesesatan kata-kata. Tidak ubahnya seperti seekor kupu-kupu yang mungil tersesat dan terjerat jaring-jaring laba-laba. Kata-kata yang kubuat dari hasil imajinasiku yang liar, akhirnya membuatku menjadi manusia-manusia kerdil. Manusia-manusia yang tersesat oleh senjatanya sendiri dan manusia kerdil yang selalu dihina oleh sesamanya. Aku memang seorang raja di dalam novelku, tapi dalam kehidupanku sendiri aku adalah seorang budak. Aku memang seorang yang kaya raya dalam rangkain ceritaku sendiri, tapi aku nyatanya adalah seorang yang miskin sekali. Entah mengapa kehidupanku hanya berputar seperti seekor siput yang sedang berjalan, kadang-kadang ia harus berhenti atau mati sebelum tujuan perjalanannya sampai, atau dengan kata lain siput itu mati di tengah jalan.

    Dunia kata-kata dan imajinasiku membuatku semakin menjauh dari kehidupan realita, tapi mengapa aku malah menyukainya?. Hingga kesukaanku mengotak-ngatik kata-kata ini menjadi seseorang yang jarang keluar rumah dan akhirnya membuatku semakin tidak mengerti dengan kehidupan nyataku. Akhirnya dan akhirnya saat ini aku hidup di alam teka-teki, alam kata-kata dengan berjuta-juta huruf tanpa batas, sedangkan di dunia realita aku mati tanpa nama!. Menyakitkan sekali kehidupanku ini. Aku ingat benar ketika ada salah satu temanku berkata padaku; “Nga, entah mengapa saat ini aku merasa bukan aku yang sebenarnya, sepertinya aku bukan diriku yang dahulu?!!”. Perkataannya itu terngiang selalu di telingaku, hampir aku juga ingin berteriak dengan keras mengatakan kata-kata yang sama dengannya. Apakah saat ini aku bukan aku yang sesungguhnya? Atau aku saat ini telah mati dan menjadi manusia-manusia dungu dengan kebisuan dan teriakan kata-kata saja. Apakah jiwaku telah pergi dengan perginya kejantannanku?. Sungguh sial!. Jawaban itu tidak pernah bisa kujawab dan akhirnya aku hanya bisa mengira bahwa diriku telah mati, bukan hidup dengan wajah lainnya, seperti halnya yang pernah dikatakan oleh temanku ini. Begitu pun, aku tidak merasa sakit atau menangis karena aku telah mati. Aku malah bisa tertawa terbahak-bahak melihat diriku yang mati. Aku bahkan bisa memperolok-olok diriku sendiri, bahwa aku hanya seorang cacing dan tidak berguna!.

    Kalau aku dan temanku itu bisa kehilangan dirinya sendiri, apakah manusia-manusia yang lainnya tidak bisa sama denganku dan temanku itu?. Aku yakin bahwa hampir semua manusia pernah merasakan bahwa dirinya telah mati, entah apa sebabnya, yang penting mereka pernah kehilangan dirinya. Itulah manusia, manusia yang telah mati dan bisa melihat dirinya sendiri, bisa melihat semua perbuatanya dengan kedua matanya. Ia bisa tahu kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya. Hanya orang yang SOMBONG dan GILA yang tidak mau mengakui bahwa dirinya pernah mati. Hanya yang sudah MATI yang tidak pernha merasakan bahwa dirinya telah mati. Orang itu pasti orang MUNAFIK, yang selalu menganggap dirinya BENAR dan selalu hidup dengan segudang KESALAHANNYA. Dan akhirnya aku terlepas dari segala ikatan yang selama ini mengikat. Seperti sebuah kapas yang ringan, yang terbawa terbang oleh angin. Seperti itulah diriku saat ini. Walaupun aku masih hidup dalam dunia KATA-KATA!.





    Baca Selanjutnya Bro..

    MANUSIA DAN KATA-KATA

    MANUSIA DAN KATA-KATA

    Dari sekian banyak orang pintar di sekitar sini
    Aku paling bahagia melihat diriku sendiri
    Suaraku adalah satu-satunya yang aku cermati
    Dan wajah sata-satunya yang aku tatapi adalah wajahku sendiri.

    Penyari Roy Campbell (1901-1957)

    Dikala suara manusia saling beradu, seperti suara monyet-monyet mengiringi tidurku. Aku harus terbangun dengan seribu pertanyaan, termasuk ada apa dengan dunia ini?. Dunia yang sudah tua, yang dibebani dengan manusia yang semakin hari semakin angkuh. Apakah yang terjadi dengan dunia saat ini. Manusia dengan manusia saling menggigit, saling menyalahkan tidak mau mengalah. Mereka bercuit-cuit menyerukan kebenaran masing-masing, sebuah kebenaran dengan ketamakan tanpa batas. Apakah dunia sudah terlalu tua, ataukah manusia sudah terlalu GILA?. Mereka mengira bahwa merekalah yang BENAR, padahal kebenaran tidak pernah muncul dari manusia yang masih dipenuhi dengan kotoran-kotoran NAFSU. Alangkah indahnya jika seseorang sudah mampu minimal berkata seperti perkataan ROY CAMPBELL di atas, apalagi mengamalkannya.

    Kesesatan sebenarnya sudah menutupi hati nurani diri sendiri, sampai-sampai mereka tidak tahu diri sendiri, eksistensi diri sendiri. Manusia dibuat untuk hidup rukun saling berdampingan sesamanya, bukan saling menyakiti. Kenapa harus ada AKU dalam diri, jika AKU adalah DUSTA?. Kenapa harus ada KEKERASAN, jika jalan KASIH-SAYANG masih terbentang?. Lewat sebuah KATA dengan sudut berbeda, apakah tidak ada KOMA untuk saling berhubungan dengan kata CINTA. Apakah manusia tidak pernah melihat, bahwa kata-kata yang mereka ucapkan adalah berbeda-beda, tapi menyiratkan sebuah persatuan dengan maksud yang sama dan saling keterkaitan.

    Misalnya sebuah kata C, I, N, T,dan A adalah sebuah kata yang mempunyai ciri-ciri khusus dan segudang kesibukan sendiri. Tapi kata-kata itu akan tampak lebih indah dan bermakna kalau kita rangka atau disatukan menjadi CINTA. Alangkah indahnya kata-kata itu, lebih indah dari pada hanya sendiri-sendiri dengan jerit-jerit kesepian setiap hari. Apakah manusia tidak bisa menjadi KATA-KATA yang indah itu, bersatu-padu dalam satu tujuan tanpa mengolok-ngolok sesamanya?.




    Baca Selanjutnya Bro..

    Thursday, July 05, 2007

    Jaulah ke-3 dari Dilat


    Seperti biasanya, musim yang panas ini membuatku enggan untuk keluar rumah. Sejak diklat pertama dan ke-dua kemarin, aku harus hati-hati untuk menjaga badan ini, jangan terlalu tervorsir kekuatan tubuh ini, harus seimbang antara istirahat dan mengeluarkan tenaga. Hari ini aku tidak perlu tergesa-gesa, sebab jam diklat telah diundur setengah jam. Dari perjalanan rumah ke pasar Attaba dan dari metro Attaba ke metro Cairo University bisa memakan setengah jam-an, kali ini perjalananku hanya berdua saja, sebab teman yang lain tidak masuk karena ada beberapa urusan pribadi. Setelah nyampai di Cairo University, aku tidak langsung masuk kelas, tapi terlebih dahulu menunaikan shalat Dhuhur supaya tidak tergesa-gesa seperti hari-hari sebelumnya. Selesai shalat Dhuhur yang membuatku terasa nyaman, aku masuk kelas, di dalam sudah penuh dengan mahasiswa yang lainnya. Aku mendapatkan tempat duduk di tengah-tenagh, tidak di belakang lagi. Di depanku sekitar empat baris telah ditempati para mahasiswi, aku jadi berfikir kenapa mereka duduk di bangku mahasiswa, padahal mereka sudah ada tempat khusus dan masih banyak yang kosong. Sambil menanti Dr. Musa, pandanganku menyapu semua mahasiswa dan mahasiswi, di depanku antara mahasiswa dan mahasiswi duduk campur aduk, heran sekali hari ini. Baru dua puluh menit kemudian Dr. Musa datang, pertama-tama beliau minta maaf atas keterlambatannya itu, selanjutnya beliau meminta para mahasiswi yang sedang duduk di tempat duduk mahasiswa untuk pindah ke tempat aslinya. Entah berapa kali beliau meminta, tapi dasar mahasiswi-mahasiswi itu kayaknya bandel sehingga mereka tidak bangkit-bangkit dari tempat duduknya. Baru setelah para mahasiswa menyuruh mereka pindah, akhirnya mereka berdiri juga. Aku pun pindah ke depan di mana para mahasiswi tadi duduk.




    Dalam diklat ini Dr. Musa menjelaskan tentang ilmu Nahwu juga, tapi penjelasannya lebih enak di pahami, karena disamping beliau memakai bahasa Arab Fusha, juga cara menjelaskannya cukup jelas. Aku senang sekali dengan dosen yang satu ini, cukup puas aku bisa menghadiri diklat ini. Dua jam setengah terasa pendek sekali kurasakan, mungkin karena saking enaknya itu kali sehingga tidak terasa diklat sudah selesai begitu saja. Dalam perjalanan pulang itu, aku ingin mengambil beberapa fhoto di kampus dan di pasar Attaba, begitu juga di tempat Khan el-Khaliy. Tiba-tiba terselip suatu keinginan untuk fhoto-fhoto di Kornish Nil, alangkah indahnya seandainya aku bisa ke sana sore-sore. Setelah nyampai di rumah, sebelumnya aku shalat Ashar dulu di masjid al-Azhar. Di rumaha hanya bersitirahat sekitar satu jam-an, ada teman yang mengajak ke Tahrir untuk beli pakaian di pasar Kiwala Bala di samping Tahrir, ini namanya mau makan ikan Teri tanpa menangkap ikannya, tingggal memakan saja.

    Dalam perjalanan ke pasar Kiwala Bala itu aku dan teman-teman jalan-jalan di Kornish Nil untuk mendapatkan beberapa jepretan fhoto kenang-kenangan. Ternyata sore hari di jembatan Nil Tahrir lebih indah dari pada yang selama ini kubanyangkan, tua-muda Mesir tuplek-amblek menikmati senja di Nil, indah dan romantis sekali, alangkah indahnya bisa jalan-jalan bersama kekasih sendiri. Jarak anatara Kornish Nil Tahrir dengan pasar Kiwala Bala cukup jauh, sekitar dua kilo-an. Setelah sampai di sana, aku benar-benar kaget sekali, belum pernah aku melihat pasar pakaian yang sebesar ini di dalam hidupku, bahkan pasar pakaian di Attaba akayaknya kalah besar. Harga yang ditawarkan di sana cukup murah, sayang sekali aku tidak punya uang banyak, coba ada uang abnyak akan habis di sana. Setelah muter-muter dari sore sampai jam 12 malam, aku hanya bisa beli satu celana Jeans dan tiga baju dengan uang hanya lima puluh pound di tangan.

    Dalam perjalanan pulang itu, aku dan teman-teman hanya bisa berjalan kaki, karena untuk naik bis atau angkutan tidak ada yang tahu apa mobilnya, mau naik taksi kita ada lima orang, tidak mungkin taksi mau. Akhirnya perjalanan yang jauh itu kita tempuh juga, kaki seperti mau copot, padahal belum sampai rumah, baru nyampai Ramsis. Dari Ramsis aku dan teman naik metro ke Attaba, dari Attaba ke rumah berjalan kaki lg, alangkah capeknya hari ini. Dengan kaki hampir copot aku dan teman-teman sampai rumah, setelah shalat dan mandi aku langsung tertidur pulas, hingga mimpi i kasih uang seseorang. Pagi-pagi ternyata ada sms dari orang tua, aku dikirimin uang, oh... Tuhan memang tahu kalau aku sedang membutuhkan uang, Tuhan itu Mhaha Tahu dan Maha Adil, alhamdulillahirabbil ‘alamin.



    Baca Selanjutnya Bro..

    Diklat ke-2


    Hari itu Kairo benar-benar terbakar, kehidupan di sini sama seperti di gurun sahara yang tandus tanpa ada setetes air pun. Musim panas telah mencapai puncaknya, aku benar-benar kepanasan. Dengan mencoba untuk berniat yang baik, kulangkahkan kakiku keluar rumah dengan agak malas-malasan, hari itu benar-benar membuatku ingin di dalam rumah saja. Tapi niat baikku juga akhirnya mengalahkan segala nafsu dan ke-egoanku. Dengan panas yang menyengat sampai ke ubun-ubun, serasa seperti seluruh yang ada dalam kepalaku menjadi mendidih. Hari Minggu taggal 1 Jun2007 adalah hari ke-dua diklatku, aku tidak ingin menyia-nyiakan semua waktuku hanya untuk bermalas-malasan di rumah saja. Ala-ala seperti Fahri tokoh dalam novel Ayat-Ayat Cinta, pada musim panas yang seperti ini masih mau beraktifitas.



    Mungkin karena tadi malam aku ngelembur membaca, sehingga hari itu aku masih lemas, apalagi suhu saat itu menunjukkan pada peringkat teratas. Dengan langkah lemas aku dan teman-teman berusaha mengejar waktu, jam 1 siang tepat diklat akan dimulai, padahal saat aku baru mau naik metro bawah tanah, jam menunjukkan pada jam satu kurang seper empat. Karena kurang tidur sehingga bangunnya molor, kesiangan.

    Jam satu lebih seper empat aku dan teman-teman sampai di kampus Cairo University, ternyata benar-benar diklat telah dimulai, untung baru sebenatar. Coba kalau aku terlambat lama dikit, alangkah malunya diriku, aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku masuk kelas padahal semua mahasiswa sudah ada di dalam. Shalat jama’ah Dhuhur belum selesai, sebenarnya aku tidak senang kalau diklat ini dimulai pada jam 1 tepat, karena pada saat itu azan Dhuhur baru dikumandangkan, jadi mau tidak mau banyak teman-teman yang harus mengakhirkan shalat Dhuhur, termasuk diriku.

    Dr. Hugag Anwar menjelaskan tentang masalah nahwu-sharf –Gramatikal Bahasa Arab-. Pembahasannya cukup membuat orang harus berfikir mendalam, karena yang dibahasa saat itu hanya pada bab yang banyak tidak difahami oleh mahasiswa, mungkin karena ruwetnya gramatikal Arab. Mestinya ilmu Nahwu menjadi sebuah ilmu yang enak dan renyah dipelajari oleh seorang mahasiswa, akan tetapi saat itu ilmu Nhawu menjadi masalah yang cukup ruwet bagi para pelajar dan mahasiswa. Kenapa?, karena Dr. Hugag Anwar dalam penjelasannya tidak mengikuti metode pembelajaran ilmu Nhawu yang alami, metode yang disampaikan oelh para ulama-ulama Arab sebelumnya. Aku sendiri menjadi bingung dalam memahami penjelasannya, bahkan cara pandang Dr. Hugag berbeda dengan yang lainnya. Selama dua jam setengah itu, aku tidak banyak menyerap ilmu yang disampaikan oleh Dr. Hugag itu. Aku hanya bisa memastikan bahwa Dr. Hugag mencoba untuk mencari metode baru dalam pembelajaran dan penyampaian ilmu Nahwu yang sampai saat ini bisa dikatakan menjadi ilmu yang sulit di mengerti oleh sebagian pelajar dan mahasiswa, bahkan orang-orang Mesir pun merasakan kesulitan itu. Aku jadi ingat pengalamanku setahun yang lalu tentang ilmu Nahwu ini. Dulu sebelum aku pindah ke daerah Darrasah ini, aku sempat hidup di daerah Gamie’ yang padat penduduk Indonesianya. Pada suatu hari, ketika aku sedang pulang dari rumah teman dengan membawa sebuah buku Nahwu, dalam perjalanan pulang itu aku mencoba untuk mampir ke sebuah toko di depan rumahku untuk beli sesuatu. Ketika penjual itu melihat sebuah buku Nahwu yang kubawa, ia berkomentar bahwa ilmu Nahwu sangat sulit, bahkan lebih sulit dari ilmu Matematika. Mendengar ini aku hanya bisa tersenyum saja, selama ini aku banyak mendengar keluhan-keluhan seperti itu, jadi tidak begitu mengagetkanku.

    Ada kemungkinan Dr. Hugag ini mencoba sebuah metoide baru hasilnya sendiri, akan tetapi ia tidak tahu bahwa dengan metodenya ini ilmu Nhawu akan menjadi sulit. Aku jug sempat ingat dengan seorang penulis dan dosen sejarah Arab, namanya Dr. Syaoqi dhaoif, ia mengarang sebuah buku dengan judul Tajdidul Nahw – Metode Baru Ilmu Nhwu-. Buku itu mengupas tentang pembaruan terhadap ilmu Nahwu, baik dari segi dalamnya atau segi luarnya. Ketika mengingat Dr. Syaoqi ini, aku sempat merasakan adanya sebuah kemiripin ide untuk memperbarui metode ilmu Nahwu oleh Dr. Hugag.

    Sebelum selesai, seorang yang bertanggung jawab terhadap diklat ini memberi sebuah informasi yang sangat membahagiakan diriku. Orang itu mengubah jam mulai diklat yang biasanya dimulai pada jam 1 siang tepat menjadi jam 1:30, aku tahu apa yang terjadi sebelum ini, aku tahu bahwa sebelumnya banyak mahasiswa yang memprotes dan meminta pengunduran waktu itu, alasan mereka adalah karena waktu itu baru masuk Shalat Dhuhur, alangkah lebih baiknya kalau diklat dimulai pada saat para mahasiswanya selesai shalat Dhuhur. Selesai dilat, aku dan teman-teman tidak langsung pulang ke rumah, tapi jalan-jalan dulu mengitari pasar rakyat Attaba yang tidak ada batasnya itu, kepala terasa lebih berat dari sebelumnya, otak terasa panas sekali, ingin sekali aku pulang dan mandi.

    Selesai diklat, badan terasa capek sekali, kepala sakit. Sesampainya di rumah tidak kuat lagi badan ini untuk diajak bergerak, kepala rasanya benar-benar terbakar habis. Akhirnya kelelahan pun membuatku tidur lelap, 1 malam aku terbangun dari tidur lelapku, aku bermimpi pulang, indah sekali. Tapi kepala masih sakit, dengan langkah terhuyung-huyung aku berjalan ke kamar mandi untuk menyegarkan badanku. Ternyata perjalanan dari Cairo University ke rumah itu membuatku sakit. Hingga pagi-pagi kepalaku baru terasa ringan sekali, malam itu juga aku tidak bisa tidur, oh...alangkah hebatnya hidup di Mesir, ternyata memang benar apa yang dikatakan seniorku bahwa kehidupan yang paling enak adalah di Indonesia, di sana kita tidak akan pernah merasakan musim panas dan musim dingin yang dapat membekukan seluruh badan, termasuk otak, begitu juga dengan musim panas yang dapat mendidikan otak.




    Baca Selanjutnya Bro..

    Wednesday, June 27, 2007

    Ayat-Ayat Cinta antara Realis dan Daya Hayal Tinggi


    Ayat-Ayat Cinta
    antara Realis dan Daya Hayal Tinggi

    By : Elfenan

    Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Syirazi, aktifis Sanggar Seni, Sastra dan Budaya KiNANAH dan FLP Cabang Kairo, Mesir yang saat ini telah tercetak yang ke-20 dan menjadi novel remaja best seller dari tahun ke tahun hingga tahun ini telah banyak merubah banyak pandangan para pembacanya. Novel yang banyak membuat penasaran orang ini dianggap sebagai salah satu karya sastra terhebat dan paling sempurna pada masa kini, yang mana kebanyakan karya sastra yang disuguhkan oleh penulis-penulis Indonesia sudah jauh dari nilai-nilai plus.

    Sejak munculnya novel yang membuat deg-degan bagi pembacanya dan tidak pernah ada klise dalam setiap katanya ini, para penulis muda maupun tua Indonesia serasa dicoreng mukanya. Apalagi bagi para penulis sastra Islami yang menganggap dunia Islam adalah segala-galanya. Karena sejak awal munculnya 'sastra Islami' di Indonesia, para penulisnya belum bisa menulis karya sastra Islami yang benar-benar Islami, mungkin sebab dari itu adalah kurangnya penulis dalam memahami agama Islam, sehingga dalam pengamalannya pada dunia karya sastra kurang juga. Semua itu beda dengan Kang Abik yang menurut penulis adalah sosok seorang yang sangat memahami agama secara sempurna, bahkan ada kemungkinan sosok tokoh yang ada pada novel A2C adalah sosok penulis sendiri.

    Disamping seorang penulis yang ber-agamis, juga Kang Abik dikenal di dunia Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir) sebagai senior di Sanggar Seni, Sastra dan Budaya KiNANAH sebelum akhirnya ia mendirikan FLP cabang Cairo, Mesir. Dalam dunia kepenulisan ia memang dianggap sebagai moyang dari para penulis muda di Mesir. Dari sini tidak bisa disangkal lagi bagaimana keahliannya dalam dunia tulis menulis. Sehingga ia mampu memunculkan tulisan yang sangat menggugah jiwa.

    Lebih jauh lagi, setelah kemunculan novel di Indonesia, para pembaca banyak yang masih mempertanyakan apakah tokoh-tokoh yang ada dalam novel A2C ini benar-benar ada, sesuai dengan kenyataan settingnya?. Mungkin Kang Abik akan menjawab belum pernah ada seorang yang sehebat itu, atau barangkali ada seseorang yang sangat mirip dengan tokoh Fahri yang dikisahkan di novel A2C. Selama ini penulis memang belum pernah bertemu dengan Kang Abik untuk menanyakan kebenaran itu, tapi penulis mempunyai pengalaman menarik yang mungkin ada hubungan dengan tokoh Fahri di dalam A2C.








    Pada awal-awal tahun 2005, penulis membicarakan tentang novel A2C dengan seorang teman yang sangat tahu tentang sosok Kang Abik. Ia berkomentar bahwa tokoh dalam novel A2C mirip dengan sosok seorang mahasiswa di Mesir yang hampir setiap harinya talaqqi (mengaji) al-Qur'an Qira'ah Sab'ah di Shubra el-Khima kepada seorang syaikh di sana dan ia dikenal sebagai seorang sosok orang yang sudah lama di Mesir. Walaupun tidak semuanya mirip dengan tokoh Fahri, tapi dalam hal belajar al-Qur'an ia sama dengan tokoh Fahri. Waktu itu memang Shubra el-Khaima adalah tempat yang paling nyaman untuk belajar qira'ah Sab'ah selain propinsi Thanta yang lebih dikenal sebagai gudangnya ahli qura' el Asrah (al-Qur'an dengan sepuluh riwayat), karena di sana ada universitas al-Azhar yang khusus untuk mempelajari qira'ah al Asyrah. Begitu juga dengan tokoh teman-teman Fahri, seperti Saiful dan lain-lainnya. Semua sosok itu ada dalam dunia nyata, mungkin Kang Abik dalam membuat novel ini sedang membayangkan teman-temannya dulu di Mesir. Shubra el-Khaima yang digambarkan dalam A2C memang bisa dikatakan cocok, walaupun ada sedikit tambahan hayalan yang sangat menggelikan, seperti si Fahri yang belajar di seorang syaikh dan menjadi satu-satunya murid yang dari Indonesia, belum lagi dalam belajar di sana tidak pernah ada biaya. Padahal dalam kenyataanya, Shubra el-Khaima dalam pembelajaran bacaan al-Qur'an dengan delapan riwayat ada sekolahnya sendiri yang dalam pengajarannya memungut biaya yang tidak sedikit, hingga saat ini mahasiswa dari Indonesia sudah tidak ada lagi yang belajar di sana, yang hanya ada mahasiswa-mahasiswa dari Malaysia. Akan tetapi akhir-akhir ini ada beberapa syaikh yang menerima pelajar dari Indonesia tanpa memungut biaya sepeser pun.

    Menurut penulis, novel A2C ditulis dengan pendekatan kehidupan nyata dan dibumbuhi dengan hayalan-hayalan tingkat tinggi. Ada beberapa komentar yang mengatakan bahwa novel A2C adalah novel yang paling sempurna tanpa ada kesalahan dan anggapan ini banyak kita temui pada teman-teman kita yang sangat mengagungkan novel ini, seakan-akan novel itu telah menjelma sebagai buku tuntunan hidup para pembacanya. Sebenarnya ada beberapa catatan penting untuk novel A2C, catatan-catatan itu diantaranya adalah :

    - Kesalahan Kang Abik dalam menjelaskan, bahwa karcis metro anfak 80 piester. Padahala karcis metro pada tahun 2000-2005 adalah 75 pisters dan pada tahun 2006 karcis metro naik menjadi 1 pound. Kesalahan data seperti ini sangat disayangkan, padahal dalam bentuk tempat novel A2C bisa dibilang nyata.
    - Adanya kesalahan lain mengenai miftah el Nil (kunci Nil) dalam halaman 20, dalam novel A2C disebutkan bahwa kunci Nil adalah kunci Pyiramid. Kesalahan seperti ini juga akan berakibat fatal dalam novel yang cukup baik itu. Di Mesir tidak akan pernah ditemukan adanya kunci Pyramid yang berbentuk salib, yang ada hanya kunci Nil atau kalau orang Mesir menyebutnya dengan miftah el Nil.
    - Berkenanan dengan penjarah bawah tanah, sampai sekarang Mesir adalah Negara yang sangat rapat dalam menyimpan data-data kenegaraannya. Bagaimana bisa seorang yang kesalahanya memperkosa saja langsung dijebloskan dalam satu tempat dengan seorang tawanan Ikhwanul Muslimin. Mengacu pada seorang mahasiswa yang sampai sekarang tidak tahu kabarnya, karena kesalahannya membunuh orang Malaysia ia dijebloskan ke penjarah bawah tanah. Menurut penulis, penjarah bawah tanah yang ada di Mesir hanya untuk tahanan khusus saja dan selnya pun bermacam-macam sesuai dengan kesalahan orang itu. Tidak mungkin seorang pemerkosa ditempatkan pada satu tempat dengan tawanan yang lebih berbahaya menurut Negara Mesir.
    - Mobil yang disebutkan dalam A2C terlalu mengada-ngada, mobil seperti itu sangat jarang ditemukan di Mesir. Mungkin yang paling banyak adalah Daewoo, Hyundai, el-Masria dan lain-lain. Dari sini tampak sekali bagaimana penulis dalam penghayalannya terlalu tinggi.
    - Jarak antara Cairo-Alexandria tidak 177 km, bahkan lebih dari itu. Kesalahan data juga sangat berbahya.
    - Undang-undang Mesir tidak pernah menyatakan bahwa seorang pemerkosa dihukum gantungan. Setidaknya ini yang diketahui oleh penulis.
    - Kang Abik sekan-akan menyatakan bahwa orang Mesir adalah orang-orang yang suka mengeluarkan cacian, padahal kenyataan hidup di Mesir tidak seperti itu, bahkan sebaliknya. Orang-orang Mesir banyak mengeluarkan do'a kepada teman yang lainnya.
    - Kesalahan Fahri dalam menyalakan api permusuhan antara orang Mesir dengan orang Amerika adalah sebuah bukti bahwa tokoh Fahri tidak begitu sempurna.
    - Kang Abik salah tangkap terhadap sifat orang-orang Mesir, tidak semua orang Mesir membenci orang-orang Amerika, dalam artian menampakkan permusuhan seperti pada kejadian di metro. Ada pepatah dalam dunia Mesir yang mungkin sudah dilupakan oleh Kang Abik, yaitu "para turis adalah termasuk penduduk Mesir". Dari sini bisa dilihat bahwa orang-orang Mesir sangat menghormati para turis, walaupun dari Amerika.
    - Kesalahan penulis pada penyebutan desa Tafahna el-Asyraf yang mengikuti propinsi Zagaziq, padahal Tafahna mengikuti daerah Dakahleya, sedangkan Zagaziq mengikuti el-Syarkeya.

    Dari catatan-catatan itu penulis hanya ingin menjelaskan bahwa novel A2C masih sangat jauh sekali dari kesempurnaan. Dan masih banyak kesalahan yang ada pada novel itu. Begitu juga daya hayal penulis yang terlalu tinggi hingga membuat seorang pembaca harus tertawa. Walaupun begitu, daya hayal tinggi yang dibungkus dengan latar belakang indah dan komplek akan membuat karya sastra semakin enak dipelajari dan dibaca.

    Tetap penulis ikut bangga atas berhasilnya novel itu menjadi novel Islami terhebat pada masa saat ini, memang tidak berlebihan apa yang dikatakan penulis besar Mohamad Fauzil Adhim yang mengatakan bahwa ia meragukan adanya kemunculan karya sastra serupa dari penulis muda Indonesia lainnya, saat ini bahkan mungkin hingga beberapa puluh tahun ke depan. Bahkan dari penulis tua pun tidak akan pernah mampu membuat karya sastra yang begitu cerdas dan bisa dibaca oleh semua kalangan.

    Dan penulis sangat menolak apa yang dikatakan Cerpenis Joni Ariadianata bahwa ia menyerupakan dengan novelis besar Naguib Mahfoudz dalam pemahaman seluk beluk Mesir, padahal tidak seperti itu. Bagi Kang Abik sangat jauh untuk bisa menjadi seorang Naguib, baik dalam dunia kepenulisan atau yang lainnya.

    Dan akhirnya sangat yakin akan bertambahnya pembaca bagi novel A2C, selagi film A2C belum digarap, jika film itu benar-benar akan digarap di Mesir, ada kemungkinan novel ini akan turun pamornya, atau akan bertambah pamornya. Dan sepandai-pandainya tupai melompat tetap akan terpeleset juga.

    Cairo, 19 Mei 2007

    Penulis adalah aktifis Sanggar Seni, Sastra dan Budaya KiNANAH dan FLP cabang Cairo, Mesir. Juga seorang yang menyukai dunia sejarah sastra dan kritik sastra.





    Baca Selanjutnya Bro..

    Dauroh El-Lughatul Al-Arabiah I


    Dauroh El-Lughatul Al-Arabiah I
    Pendidikan Kilat untuk Mengasa Keahlian Bahasa Arab)



    Rasa bahagia yang ada pada diri ini tidak bisa kuungkapkan dalam bentuk apapun, bahkan kata-kata pun tidak bisa untuk merangkai rasa bahagia yang kurasakan saat ini. Sudah lama sekali aku kagum pada Universitas Cairo Mesir, salah satu universitas di Mesir yang banyak telah mencetrak kader-kader bangsa yang berintelektual, mungkin dalam segi pembelajaran keagamaannya tidak sebagus Universitas al-Azhar sebagai satu-satunya universitas di Mesir yang berbasis agama Islam dan termasuk universitas tertua di dunia setelah Universitas Oxford di Inggris. Sejak lama ingin sekali hati ini untuk belajar di sana, tapi tidak mungkin bisa tercapai keinginan besar ini, dari segi uang tidak akan mampu membayar pembayaran yang begitu besar, begitu juga dari segi keahlian bahasa yang begitu rendah. Tapi kemarin hari Sabtu tanggal 24 Mei 2007 aku bersama tiga teman mendaftarkan diri untuk mengikuti Dauroh El-Lughatul Al-Arabiah (Pendidikan Kilat untuk Mengasa Keahlian Bahasa Arab). Diklat (Pendidikan Kilat) ini bekerja sama antara Cairo University dengan The King Abdel Aziz Babthin dalam hal karya sastra dan pendalaman syair Arab. Diklat ini diberikan untuk para pelajar di Mesir sebagai pelajaran untuk pembuatan karya sastra dan pendalaman syair secara gratis.

    Mungkin diantara tujuan diklat ini adalah supaya para pelajar Arab mampu membuat karya sastra (syair) dan dapat mendalaminya, karena sejak akhir beberapa tahun ini karya sastra Arab dalam bentuk syair mulai turun, kebanyakan orang Arab sudah beralih ke syair modern yang sudah mengindahkan qawafi-aturan syair-. Maka dari sini raja Saudi Arabia memberi biaya untuk memberi pelajaran secara singkat tentang dunia keahlian membuat syair dan membenarkan kesalahan-kesalahan bahasa Arab yang saat ini banyak terjadi pada kalangan orang-orang Arab. Diktat yang diberikan oleh Cairo University dan King Abdel Aziz ada dua bentuk, yang pertama adalah keahlian berbahasa Arab Fusha dan keahlian Arudhiah atau ilmu yang menerangkan kaidah-kaidah dalam pembuatan syair Arab dan musik-musik yang dikeluarkan oleh syair-syair itu. Ilmu Arudh diciptakan oleh Khalil bin Ahmad (100-170 H), sedangkan kata Arudh diambil dari salah satu nama Saudi Arabia, ilmu ini dinamakan Arudh karena Khalil bin Ahmad ingin supaya ilmu ini bisa memberi berkah kepada siapa saja yang menpelajari dan mendalaminya. Di dalam ilmu Arudh dijelaskan kaidah-kaidah dasar sebuah syair Arab dan lagu-lagu yang dikeluarkan oleh syair tersebut, seperti Bahr Rajaz ¬(lagu Rajaz) yang syairnya selalu berbentuk sedikit, lagunya tampak ringan dan lincah, karena biasanya orang Arab melagukan syair dalam bentuk lagu Rajaz untuk menggembalakan kambing, sehingga lagu-lagunya selalu lincah selincah larinya kambing-kambing.

    Dari dua macam diklat itu, saya mengambil diklat keahliah bahasa Arab-nya, saya ingin memiliki keahlian dalam hal kebahasaannya. Baru tanggal 26 Mei 2007 saya dan teman-teman mengikuti diklat yang pertama, ternyata anak Indonesia yang mengikuti tidak begitu banyak, bisa dihitung. Yang mengikuti diklat ini luar biasa banyaknya, kalau diitung-itung ada sekitar 200 mahasisiwa, mahasiswa-mahasiswi tumplek-amblek jadi satu dalam ruangan yang cukup besar itu. Untuk mahasisiwa menempati deretan bangku sebelah kiri dan untuk mahasisiwinya menempati deretan sebelah kanan. Dalam perteman pertama ini saya dan temen-temen terlambat masuk sekitar setengah jam-an, saya mendapatkan bangku dibelakang mahasiswi yang ada pada belakang sendiri, rasanya malu dan gerogi menyerang diriku. Selama sekolah di Mesir, saya sendiri belum pernah belajar dalam satu ruangan dengan mahasiswi, apalagi mahasisiwi Mesir yang membuat merinding. Dalam sepuluh menit itu, saya tidak bisa konsentrasi mendengarkan penjelasan dari Dr. Ibrahim Dhouah, rasa grogi dan malu masih membuatku tidak tenang. Akhirnya lama-kelamaan rasa itu hilang bersamaan dengan enaknya penjelasan yang dibawa oleh Dr. Ibrahim. Dr. Ibrahim menjelaskan tentang kesalahan-kesalahan kebahasaan yang ada pada nas-nas syair dan beberapa naskah pers. Penjelasannya hanya gelobal saja, untuk penjelasan secara mendetail akan diterangkan pada pertemuan mendatang. Diklat yang akan memakan waktu sekitar tiga bulan ini akan dibawakan oleh dosen-dosen yang sudah pakar dalam bidang kebahasaan dan kesusasteraan.




    Yang membuatku tahjub dan senang adalah kecakapan dan keaktifan dari para mahasiswa Cairo University Mesir yang mengikuti diklat ini, keaktifan seperti ini jarang saya lihat pada mahasiswa al-Azhar, setiap saya mengikuti pelajaran di kelas dan beberapa diklat seperti ini di al-Azhar, jarang sekali melihat mahasiswa yang aktif. Dari sini saya bisa melihat keunggulan mahasiswa dan manajemen pendidikan yang diberikan oleh universitas Cairo. Ternyata benar apa yang dikatakan oleh orang-orang bahwa Cairo Universitas adalah tempat para mahasiswa yang aktif, kreatif dan sensitif, sedangkan al-Azhar University adalah tempat para pelajar yang tawadhu’. Dari sekelumit pengalaman ini juga saya bisa sedikit membenarkan kata-kata Dr. Thaha Husyan selaku mantan menteri pendidikan Mesir beberapa tahun silam, Dr. Thaha mengatakan bahwa al-Azhar terlalu mengungkung para mahasiswanya sehingga tidak bisa maju ke permukaan, hanya para syaikhnya saja yang maju digaris terdepan. Sedangkan Cairo University selalu menjunjung kebebasan (bukan pergaulan bebas) mahasiswanya dan mendukung mereka untuk maju digaris terdepan, sedangkan para dosennya hanya dibelakang mereka sebagai penggerak dan peneliti. Perbedaan anatara kedua universitas ini sangat mencolok sekali, bahkan saya merasakan apa yang dikatakan oleh Dr. Thaha setelah merasakan pendidikan kedua universitas ini, walaupun baru sebentar.

    Dr. Ibrahim mengatakan bahwa kesalahan yang sering terjadi pada koran-koran, syair, danmajalah-majalah adalah karena telah tercemari oleh bahasa ‘Amiyah (bahasa pasaran), bahasa ‘Amiyah Mesir sangat merusak bahasa Arab Fusha (pemersatu atau fasih). Pendapat seperti ini pernah saya dengar juga dari Dr. Hani Muhammad Mahdi dalam diklatnya setahun yang lalu, walaupun bahasa Arab ‘Amiyah Mesir masih tergolong bahasa yang paling dekat dengan bahasa Arab aslinya. Memang bahasa Arab ‘Amiyah Mesir adalah bahasa yang paling dekaty dengan bahasa aslinya, bahasa Arab Fusha. Hanya saja dialek yang digunakan oleh orang-orang Mesir berbeda jauh dengan bahasa aslinya, begitu juga denagn susunan kaidah-kaidahnya sangat berbeda dengan bahasa aslinya. Walaupun dekat tapi tetap jauh, kedekatan bahasa Arab ‘Amiyah dengan bahasa Arab Fusha hanya dilihat dari segi kata-katanya saja, bukan dari segi susunan dan dialektikalnya. Kalau kita mau mendengar dengan jelas, bahasa Arab ‘Amiyah yang ada di Mesir sebenarnya terbagi menjadi dua , yaitu bahasa Arab ‘Amiyah Selatan dan Utara, kedua bahasa ini pun berbeda dalam segi dialektikal.

    Dua jam diklat berlangsung, selama dua jam itu Dr. Ibrahim hanya memperlihatkan kesalahan-kesalahan dalam penggunaan bahasa saja, tanpa memberi penjelasan secara mendetai, untuk penjelasannya akan disampaikan dalam pertemuan selanjutnya. Diklat ini akan berlangsung selama tiga bulan dan akan diadakan ujian diakhir pertemuan, bagi para mahasiswa yang ikut akan diberi syahadah (ijazah) dari Universitas Cairo dan The King Abdel Aziz Saudi Babthin. Setelah selesai diklat ini juga, The King Abdel Aziz akan mengadakan perlombaan pembuatan sayair dengan hadiah yang cukup besar. Selesai diklat, saya dan teman-teman jalan-jalan melihat-lihat gedung Cairo University. Dalam perjalanan keliling-keliling itu sempat beberapa kali hati saya harus berdebar-debar kencang, rasa tahjub, bangga, senang, dan malu cempur aduk semua. Dari mulai gedung, ternyata Cairo University mempunyai kesamaan dengan universitas-universitas yang lainnya, bangunannya cukup tua kecoklat-coklatan dan besar-besar. Bangunan yang mengingatkanku pada bentuk arsitektur bangunan kuno Yunani dan Romawi itu membuatku semakin suka, apalagi ketika kulihat sebuah monumen yang dipinggirnya melekat jam dalam ukuran yang besar sekali, luar biasa hebatnya.

    Dari segi luasnya, Universitas Cairo tidak kalah dengan Universitas al-Azhar pada fakultas umumnya, sedangkan dari segi kebersihan pun cukup membuat bangga dan senang orang yang datang menjenguknya. Di dalamnya dihiasi dengan berbagai tumbuhan dan pohon yang hijauh dan segar, di bawah pohon-pohon besar dengan daunnya yang hijauh dan rindang dipasangi beberapa bangku untuk beristirahat. Belum lagi ada beberapa Kantin di dalamnya, walaupun kecil tapi makanan dan minuman yang disajikan cukup elit juga, ini menambah nilai plusnya. Taman yang ada di dalam Universitas Cairo juga dijaga dengan baqik, dipinggirannya dipasangi juga beberapa bangku untuk beristirahat dan belajar bagi para mahasiswa. Yang membuat hati-hati iniberdebar-debar adalah disetiap bangku di bawa pohon dan taman itu duduk beberapa mahasiswa dan mahasiswi, kebanyakan berkelompok, ada juga yang berduaan saja. Sepertinya mereka habis belajar dan mendiskusikan sesuatu, atau hanya sekedar bercanda bersama teman-temannya. Hatiku bertambah berdebar-debar ketika ada beberapa mahasiswi yang sedang duduk itu melihat dengan matanya yang indah kepada kami, sepertinya mereka agak kaget dengan kehadiran kami di situ, atau mungkin sepertinya mereka ingin mengajak kenalan kami. Karena setahu saya hanya ada beberapa orang Indonesia saja yang berhasil mendapatkan beasiswa untuk belajar di sana, sehingga kehadiran kami di sana membuat mereka bertanya-tanya.

    Untuk menutupi betapa geroginya diri ini, saya hanya pasang senyum ke sana ke mari sambil mengalihkan pandangan ke arah lainnya. Pengalaman sekelumit ini akan menjadi pengalaman yang menggembirakan buatku, walaupun hanya bisa belajar di Cairo University tiga bulan saja, ini pun cukup memuaskan hati untuk melegahkan rasa penasarnku pada Universitas favorit ini. Dari jalan-jalan ini saya banyak mendapatkan inspirasi, semoga novel yang masih saya kerjakan ini segera selesai, karena kebanyakan setting yang ada pada novelku ini ada pada Cairo University. Semoga Allah mengabulkan do’a dan keinginanku ini, amin.

    Bathniyyah, 26 Mei 2007



    Baca Selanjutnya Bro..

    Monday, March 26, 2007

    Pelangi Definisi Sastra, Antara Versi Arab dan Indonesia



    Tulisan ini akan mencoba untuk menelaah ulang tentang definisi sastra yang hingga saat ini belum ada kata kesepakatan pasti, definisi yang pas untuk kata ’sastra’ masih belum ditemukan, dari dekade-ke dekade definisi untuk sastra selalu berubah-ubah dan berkembang. Hingga para pakar bahasa dan sastrawan sendiri sebagai pelaku dan pembuat sastra (walaupun penulis tidak menyetujui sebutan ini) masih belum bisa menemukan definisi sastra, baik secara konklusif atau formalitatif. Meminjam kata seorang teman ketika ditanya tentang apa definisi sastra, ia menjawab bahwa mencari definisi sastra bisa dikatakan sama sulitnya dengan mencari jarum ditumpukan jerami. Apakah mencari definisi untuk sastra sesulit itu?.






    Tulisan ini akan mencoba untuk menelaah ulang tentang definisi sastra yang hingga saat ini belum ada kata kesepakatan pasti, definisi yang pas untuk kata ’sastra’ masih belum ditemukan, dari dekade-ke dekade definisi untuk sastra selalu berubah-ubah dan berkembang. Hingga para pakar bahasa dan sastrawan sendiri sebagai pelaku dan pembuat sastra (walaupun penulis tidak menyetujui sebutan ini) masih belum bisa menemukan definisi sastra, baik secara konklusif atau formalitatif. Meminjam kata seorang teman ketika ditanya tentang apa definisi sastra, ia menjawab bahwa mencari definisi sastra bisa dikatakan sama sulitnya dengan mencari jarum ditumpukan jerami. Apakah mencari definisi untuk sastra sesulit itu?.

    Dari dulu sampai sekarang, tidak ada kata sepakat dalam pendefinisian sastra, baik di dunia Indonesia ataupun di dunia Arab, karena arti sastra sendiri selalu berubah-ubah sesuai perkembangan zaman. Makanya penulis memakai judul untuk tulisan ini dengan pelangi definisi sastra, antara versi Indonesia dan Arab, dengan tujuan untuk menelaah ulang definisi-definifi yang diberikan para pakar bahasa dan sastrawan kita untuk sastra dan membandingkannya dengan definisi sastra yang diberikan para pakar bahasa dan sastrawan di dunia Arab. Sehingga dari sini kita bisa membandingkan dan menarik benang merah (kata sepakat) dari keduanya.

    Kita mulai mendefinisikan kata sastra dengan mengambil artinya lewat KBBI (kamus besar bahasa Indonesia), menurut KBBI arti sastra adalah:
    Þ Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari).
    Þ Karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.
    Arti yang diberikan KBBI ini sama dengan arti yang diberikan Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono. Sedangkan dalam kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai kitab; tulisan; karangan; buku ilmu; dan kesusastraan. Dari definisi yang diberikan kamus kita ini, kita bisa mengartikan sastra sebagai bahasa yang diungkapkan dalam bentuk tulisan atau karangan dengan memiliki daya artistik dan keindahan, baik dalam isi atau ungkapannya. Arti dari kedua kamus itupun tidak jauh dari arti asal sastra dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai makna huruf, bahasa dan karya. Arti yang kita dapatkan dalam dua kamus ini adalah definisi secara minimum, yakni minim-minimnya sastra itu berkisar tentang tulis-menulis. Bagaimana dengan adanya teater, drama, film, nyanyian, pembacaan puisi dan sinetron, apakah semua ini tidak termasuk katagori dalam sastra?.

    Sekarang kita coba melihat definisi sastra secara maksimum. Plato dalam bukunya republic, ketika ia menjelaskan tentang dunia ide, ia sedikit menerangkan tentang fungsi sastra. Ia mengatakan bahwa sastra adalah sebuah karya tiruan realitas, yang nota bene adalah wujud tiruan dari dunia ide. Dengan ini Plato mengatakan bahwa sastra jauh dari kebenaran, dalam artian sastra jauh dari dunia nyata kehidupan kita, semuanya hanya daya hayal yang tidak bisa dipegang dan dijadikan poatokan. Beda dengan muridnya, Aristoteles. Ia lebih menempatkan sastra sebagai sesuatu yang agung. Ia berpendapat bahw sastra, terutama tragedi, adalah dunia kemungkinan yang ditemukan dan diciptakan secara nyata oleh pengarangnya. Dengan kata lain, seeorang sastrawan bisa membuat karya sastra yang sangat mirip dengan kehidupan seseorang atau mengambil contoh kehidupan seseorang untuk dijadikan karya sastra.

    Dr. Syafiq Abdul Razzaq Abu Sa'dah dosen fakultas Bahasa Arab universitas al-Azhar mengartikan sastra umumnya dan puisi khususnya adalah cerminan kehidupan manusia, ia juga refleksi dari perkembangan kehidupannya dari yang kecil sampai yang besar. Atau Hernowo dalam salah satu tulisannya pernah mengatakan bahwa sastra adalah bagian dari kehidupannya, ini tidak jauh dari definisi yang diberikan Marcel Proust, ia mengatakan bahwa sastra adalah masa lalunya. Dari definisi di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa sastra adalah refleksi dari kehidupan seseorang yang ditulis dengan menggunakan bahasa yang menggugah.
    Kalau menurut Nio Joe Lan beda lagi, ia mendefinisikan sastra sebagai cerminan segala apa yang berada dalam sanubari manusia. Dengan definisi ini bisa dikatakan Nio Joe Lan lebih mendekati definisi yang diberikan oleh Hernowo dan Marcel Proust, inti dari sastra ada pada diri sastrawan itu. Mungkin definisi akan tampak bertentangan dengan definisi yang diberikan Dr. Syafiq yang obyek dari sastra lebih banyak dari luar sastrawan itu sendiri.
    Di sisi yang lain, orang-orang bayak yang menghubungkan sastra dengan keindahan, kata orang-orang sastra itu harus indah, terus pertanyaannya apakah sastra itu harus indah?. Menurut penulis sastra tidak harus indah, karena letak inti dari sastra pada dasarnya adalah bukan pada keindahan saja, tapi harus didukung dengan tujuan sastra itu. Sebelum kita melangkah lebih jauh lagi, alangka baiknya kalau kita menengok sebentar tentang sastra dalam bahasa Arab (adab), dengan begitu kita bisa mengambil kesimpulan dari keduanya.
    Ibn Mnadzur dalam kamusnya Lisanul Arab dan Zubaidi dalam kamusnya Tajul ‘Arusy mengatakan bahwa kata asal adab diambil dari kata adbu atau adb yang bermakna undangan atau ajakan untuk makan. Dari kata itu muncullah kata adab yang diartikan sebagai mengajak seseorang untuk berbuat baik, jadi muaddib adalah seseorang yang mengajak kepada kebaikan dan menyuruh meninggalkan kejelekan. Lamaban laun arti adab menjadi bergeser dari undangan atau ajakan untuk makan menjadi budaya. Sedangkan pada abad ke-3 makna adab digunakan hanya untuk karya prosa dan puisi.

    Sedangkan Ibn Khuldun mengartikan adab sebagai mutu (hasil) pada keindahan prosa dan puisi dengan gaya orang-orang Arab. Syamsuddin as-Syakhawi berpendapat bahwa adab adalah sebuah disiplin ilmu yang menerangkan tentang apa-apa yang ada di sanubari seseorang dengan kata-kata atau tulisan. Ada juga yang mengartikan adab sebagai setiap makna kehidupan yang diungkapkan dengan gaya bahasa yang indah.
    Begitu juga kata literature dalam bahasa Inggris mempunyai arti creative writing of recognized artistic value. Dalam bahasa Inggris sastra lebih didefinisikan sebgai tulisan yang indah.
    Dari sini, kita bisa melihat bahwa semua definisi tentang sastra dari Indonesia dan Arab hanya berkisar tentang cermin kehidupan-baik seseorang atau secara umum-, tulisan, bahasa, dan keindahan. Dari masa ke masa arti sastra sendiri selalu berubah-ubah mengikuti perubahan dunia. Mungkin orang-orang Indonesia dan Arab mengartikan sastra sebagai bahasa, tulisan dan keindahan, karena pada zaman itu masih belum ada audio dan visual. Hingga saat ini arti sastra masih tersangkut pada masa itu, sehingga banyak orang yang tidak puas dengan definisi sastra yang diberikan para pakar bahasa dan sastrawan sendiri.
    Adapun menurut mereka yang mengatakan bahwa sastra itu harus ditulis dengan bahasa yang indah, itu juga bukan sebagai patokan sastra untuk saat ini. Banyak juga karya sastra yang keluar dari batasan keestetikaan yang kita dapatkan pada dunia sastra saat ini. Seperti karya novelis Naguib Mahfouz (1911-2006) yang kental dengan simbolisnya, ia lebih mendekati arti dan tujuan karyanya dari pada keindahan kata-kata dalam karya-karyanya. Sastra seperti juga manusia, keindahan bisa diibaratkan sebagai bentuk tubuh manusia, sedangkan tujuan dan arti dari sastra lebih bisa dibiratkan sebagai dalaman manusia. Saya tidak menafikan keindahan yang digembar-gemborkan sebagian orang, tapi saya lebih memandang perlunya kedua-duanya jalan bersama, dengan begitu mutu sastra itu akan lebih tampak berganda.
    Dari semua definisi di atas dan permasalahannya dalam kehidupan era-sekarang, saya bisa menyimpulkan bahwa sastra adalah cerminan dari kehidupan-baik dari sastrawan itu sendiri atau dari lainnya- yang direfleksikan melalui media-media, baik bahasa, tulisan, ataupun audio-visual dengan hiasan artistik, keindahan dan lainnya, dan dengan tujuan tertentu.
    Pelangi definisi sastra telah banyak membuat bingung para pakar bahasa dan sastrawan di mana-mana, sejak dahulu hingga sekarang belum ada kata sepakat di dunai sastra untuk mendefinisikan. Mungkin sastra tidak perlu didefinisikan, seperti yang pernah dikatakan Ibn Khuldun. Karena sastra tidak perlu didefinisikan dan tidak butuh pada definisi-definisi, ia akan lebih bebas tanpa baju definisi. Jika orang mendefinisakan sastra, berarti tanpa sengaja ia membatasi ruang cakupan sastra itu sendiri. Sastra itu tidak ada batasannya.



    Baca Selanjutnya Bro..

    Penjegalan Karya Sastra



    "Tidak ada suatu kebenaran yang mutlak kecuali hanya milik-Nya"

    Pada tahun 1911, tepatnya tanggal 11 Desember 1911 lahir sastrawan besar Mesir di sebuah kota yang penuh debu dan kotor. Kota Gamaleya yang berada di belakang Khan el-Khalily di sebelah mantiqah al-Azhar dan Husain. Kota itu pernah menjadi ibu kota pada kekhalifaan Fathimiyyin, dari tempat itu muncul ulama'-ulama' dan sastrawan besar. Seorang sastrawan besar berkembagsaan Arab yang bernama Naguib Mahfouz (1911-2006) mendapatkan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra pada tahun 1988, sastrwan inilah yang membuat harum bangsa Arab, karena ia adalah orang Arab yang pertama mendapatkan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra. Ia telah menolehkan tinta emas pada bengsanya yang telah dikenal beribu-ribu tahun dengan keindahan sastranya.




    "Tidak ada suatu kebenaran yang mutlak kecuali hanya milik-Nya"

    Pada tahun 1911, tepatnya tanggal 11 Desember 1911 lahir sastrawan besar Mesir di sebuah kota yang penuh debu dan kotor. Kota Gamaleya yang berada di belakang Khan el-Khalily di sebelah mantiqah al-Azhar dan Husain. Kota itu pernah menjadi ibu kota pada kekhalifaan Fathimiyyin, dari tempat itu muncul ulama'-ulama' dan sastrawan besar. Seorang sastrawan besar berkembagsaan Arab yang bernama Naguib Mahfouz (1911-2006) mendapatkan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra pada tahun 1988, sastrwan inilah yang membuat harum bangsa Arab, karena ia adalah orang Arab yang pertama mendapatkan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra. Ia telah menolehkan tinta emas pada bengsanya yang telah dikenal beribu-ribu tahun dengan keindahan sastranya.

    Ia mulai karirnya menulis Novel dan Cerpen semenjak kecil dan mulai dikenal oleh orang luar berkat sebuah penyataan langsung dari pemikir dan sastrawan Mesir Dr. Thaha Husain. Ia dinyatakan mempunyai tulisan yang indah dan bakat yang tinggi, ia mendapatkan pernyataan itu ketika sebuah cerpennya dibaca oleh Dr. Thaha Husain di sebuah majalah di Cairo. Setelah membaca tulisan Naguib ini, Dr. Thaha Husain langsung menulis sebuah pernyataan langsung berupa resensi cerpennya, bukan main akibat dari tulisan dari Sang Pemikir itu, orang-orang Mesir berbondong-bondong membeli dan membaca tulisannya. Dari situ nama Dr. Naguib Mahfouz melecit jauh melebihi Dr. Thaha Husain sendiri. Kemudian pada tahun 1959 ia menulis sebuah novel yang berjudul "Anak-anak Gebelawii (Children of Gebelawii/Aulad Harrtina)", novel ini ia kirmim ke sebuah majalah untuk diterbitkan secara berkala, baru satu kali saja penerbitan Dr. Naguib Mahfouz dan penerbitnya diperotes oleh kaum agamis, khususnya dari al-Azhar yang pada waktu itu masih kuat-kuatnya memegang pemerintah. Dari mulut Presiden Gamal Abdul Nasir langsung Dr. Naguib Mahfouz mendapatkan kecaman, karena hampir setiap hari sang Presiden mendapatkan telpon protes dari syaikh-syaikh al-Azhar.

    Kenapa novel Anak-anak Gebelawii mendapatkan kecaman yang begitu keras dari kaum agamis?, tidak lain karena novel itu dianggap menghujat dan menghina Allah dan agama-agama Abrahamik monoteistik, Yudaisme, Kristen dan Islam sendiri. Setelah mendapatkan kecaman dan protes dari mana-mana itulah nevel Anak-anak Gebelawii tidak jadi diteruskan dan tidak boleh diterbitkan kembali dalam bentuk apapun. Pada tahun 1988 novel ini mendapatkan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra. Tapi begitu pun, novel ini tetap tidak boleh diterbitkan, bahkan kecaman malah menjadi-jadi, beberapa kalangan Mesir yang agamis menjatuhi hukuman "mati" dan murtad, ini mengingatkan kepada seorang penulis asal India yang bernama Salman Rushdie, ia mengarang sebuah buku berjudul "Satanic Verses (1988)", karena dalam buku ini Allah dijadikan tokoh utamanya. Berbagai negara melarang dan memprotes terbit dan beredarnya buku ini. Bahkan pemimpin Iran pada waktu itu Ayatollah Khomeini berpidato pada sebuah radio tentang Rushdie, ia berkata bahwa Rushdie telah keluar dari Islam (Murtad) dan perkataan itu disebut sebagai sebuah fatwa pada waktu itu, padahal Ayatollah sendiri belum pernah membaca bukunya itu.

    Begitu juga dengan Dr. Naguib, ia sendiri mendapatkan berbagai tentangan dan protes dari berbagai kalangan, bahkan pernah ia akan dibunuh di dalam rumahnya, sejak itulah kemana pun ia pergi selalu dikawal. Namanya diabadikan dalam sebuah judul lagu milik pemain terompet dan komponis AS Dave Doglas. Pada dasarnya pengalaman Dr. Naguib yang berwarna-warni itu adalah sebuah kehidupan yang wajar dan penuh gairah untuk menangkap pernik-pernik kehidupan, karena itu adalah sebuah tntunan alami seorang sastrawan. Penjegalan terhadap karya sastra seperti inilah yang akan membuat orang semakin menurunkan nilai kemanusiaan, karena hasil karya yang begitu hebat itu tidak mampu dinikmati orang lain yang mestinya akan menikmatinya. Begitu banyak kita jumpai seseorang yang telah mengungkap sebah kenyataan hidup dijadikan bahan guncangan dan bahan tertawaan orang, begitu banyak orang yang telah mampu membuat hidup ini semakin hidup, tapi dijadikan sasaran kebodohan mereka sendiri. Salah satunya adalah karya sastra Dr. Naguib Mahfouz sendiri, banyak orang yang belum mampu menikmati karyanya yang banyak mengangkat tentang kehidupan menengah ke bawah dengan tpendekatan dan gaya surelis. Bagaimana seseorang bisa menhukumi sesuatu yang belum mutlah kesalahan dan kebenarannya itu, novel Anak-anak Gebelawii yang dilarang terbit selama beberapa puluh tahun ini dianggap menyimpang jauh, bahkan menghina Allah, karena di situ dianggap membawa tokoh Allah. Penulis kira Dr. Naguib sendiri tidak bermaksut untuk membawa tokoh Allah dalam novelnya itu, karena tidak pernah dijumpai tokoh yag bernama "Allah" di situ, walaupun penulis tidak menafikan sebuah tokoh yang mempunyai kekuasaan besar di situ. Memang arti Gabalawii sendiri bermakna Pencipta, Penguasa dan Pemaksa, karena kata Gabalawii sendiri dari kata Jabala.

    Gabalaweii sendiri mempunyai beberapa anak yang bernama Idris, Abbas, Ridhwan, Jalil dan Adam, mereka semua berasal dari satu ibu, kecuali Adam yang terlahir dari seorang budak. Cerita novel Anak-anak Gabalaweii mirip seperti cerita Nabi Adab, Iblis, dan Hawa di Syurga di awal penciptaan manusia. Novel ini menceritakan tentang keserakahan dan kekuasaan seseorang yang selalu memaksa kehendak orang lain yang lebih lemah, pernah ada orang yang menyerupakan tokoh novel ini (Gabalaweii) dengan presiden Gamal Abd Naseer sehingga ia marah besar. Mungkin saja novel ini akan menjadi sebuah novel pengkritik bagi siapa saja yang selalu memaksakan kehendaknya terhadap si lemah. Dari anak-anak Gabalaweii itu, hanya Adab yang diberi kepercayaan untuk memegang dan mengelola badan wakaf milik ayahnya itu, karena hanya dia saja yang mampu membaca, menulis dan berhitung. Dari sini timbul rasa iri dan dendam pada saudara-saudar lainnya seperti Idris dan lainn-lainnya. Tidak lama kemudian Adam menikah dengan Umaimah, sekali lagi dari nama ini muncul dugaan bahwa ia adalah simbol dari Hawa sendiri, karena Umaymah berasal dari kata Um yang berarti Ibu. Tidak lama kemudian keduanya diusir oleh keluarganya karena telah berani membaca surat rahasia rancangan masa depan dari sang Ayah. Cerita ini sangat mirip dengan cerita nabi Adab dan Hawa, maka banyak sekali orang-orang yang menganggap bahwa Gabalaweii adalah simbol dari Tuhan, sedangkan Adab dan Umaymah adalah simbol dari nab Adab dan Siti Hawa, begitu juga dengan Idris dan saudara-saudaranya lannya dianggap sebagai simbol dari Iblios dan anak cucunya. Hingga saat ini novel ini banyak diteliti oleh para pemikir dan sastrwan. Novel ini mempunyai makna yang ganda, karena setiap orang bisa menafsirkannya dengan seenak hati dan sesuai kadar pemikiran dan pengetahuan masing-masing.

    Dalam sejarah kehidupan Dr. Naguib Mahfouz, kita dapat menemukan bahwa ia pernah menjadi pengikut Saad Zaghlul Pasha, pemimpin partai Wafd yang berhaluan nasionalis. Keterlibatan politik itu diakui oelh Naguib sendiri dengan bangga dalam wawancaranya di majalah Eropa. Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa Naguib sendiri mungkn berkeinginan untuk menyindir dan memperbaiki sebuah pemerintahan yang otoriter seperti di Mesir ini. Ia mungkin tidak bermaksut untuk menjadikan Tuhan sebagai tokoh dalam novelnya ini, arti seperti inilah yang belum diktehui oleh orang-orang ada sat itu, itu semua karena mereka menghukumi sesuatu dengan membabi-buta tanpa memeriksa dan mempelajari bahan itu sendiri. Pada awal tahun 2006 novel Anak-anak Gebalawii telah diterbitkan kembali atas pengantar Ahmad Abdul Kamal Abu Ahmad, bahkan tidak diketahui bahwa pada tahun yang sama Dr. Naguib Mahfouz meninggal dunia.

    Kairo, 02 Desember 2006



    Baca Selanjutnya Bro..