Wednesday, October 24, 2007

Sakkia Abdel Muneim El Sawy


Kehausan akan curahan seni, budaya dan sastra benar-benar telah menjadikanku semakin menggeliat tidak tentu. Sudah lama aku ingin jalan-jalan sambil ditemani kesejukan hati ke sebuah tempat dimana para artis, seniman, teateris, sastrawan, penulis, pemikir, ulama’, mahasiswa, dan para wartawan berkumpul. Di Mesir, kita hanya akan menemukan beberapa markas para seniman berkumpul, itupun tidak pernah menyeluruh seperti apa yang dicapai oleh Sakkia Abdel Muneim El Sawy. Di tempat inilah dari sastrawan sampai pemuda-pemudi yang haus akan dunia seni, sastra, budaya, agama sampai dunia kepemudaan berkumpul. Sudah lama sekali aku ingin berkelana melihat bagaimana sebenarnya dunia
  • Sakkia
  • yang dibangun oleh penulis besar, wartawan Gumhouria dan novelis ini. Sakkia atau bisa dikatakan tempat bercurahnya keilmuan dan kebudayaan ini dibangun pada tanggal 15 Juli 2002 oleh wartawan Abdel Muneim El Sawy.


    Bisa dikatakan Sakkia masih baru dibangun, walaupun begitu suaranya sudah berdengung sampai kepelosok-pelosok desa di Mesir, bahkan banyak juga para seniman dan sastrawan dari manca negara, seperti Perancis, Itali, Amerika, Inggris dan Scotlandia makang di tempat ini. Hari Senin, tepatnya tanggal 22 Oktober 2007 kemarin aku bersama dua teman berkunjung ke dunia Sakkia yang berada di akhir jalan atau jembatan 26 July, Zamalek, Cairo, Mesir. Rasa penasaranku terhadap tempat ini membuatku benar-benar tidak bisa tenang, setelah melakukan perjalanan jauh dengan berjalan kaki sambil sesekali bertanya, akhirnya kami sampai juga di tempat tujuan kami. Aku sendiri kaget ketika melihat tempat Sakkia yang didengung-dengungkan sebagai tempat para artis, sastrawan, seniman, penulis dan pemuda-pemudi berkumpul ternyata hanya seperti itu. Dahulu ketika pertama kali aku mendengarkan nama Sakkia dari beberapa iklan dan khususnya dari majalahnya yang diberinama Sakkia El Waraqiyya. Aku membayangkan bahwa gedung Sakkia sangat besar dan mewah, tapi setelah melihatnya sendiri, ternyata semuanya lain. Bahkan salah satu temanku tertawa nyengir melihat gedung Sakkia yang aneh itu.

    Gedung Sakkia yang diberi nama Khan Sakkia ternyata hanya gedung sederhana yang dibangun di bawah jembatan 26 July. Ketika melihat seperti itu, aku jadi ingat negeriku Indonesia. Di Indonesia, di kolong jembatan seperti itu adalah tempat dimana para saudara-saudaraku yang diberi embel-embel sebagai orang-orang gelandangan bertempat tinggal, daerahnya kumuh dan menjijikkan. Tapi di Mesir ini, tempat seperti itu malahan dijadikan sebagai tempat berkumpul para orang-orang keren. Aku sangat kecewa terhadap apa yang kulihat. Tapi dibenakku ada selentingan rasa memuji pendirinya, karena ternyata seorang wartawan besar seperti Abdel Muneim mempunyai cita rasa dan inisiatif yang berbeda dan menyeni sekali. Ketika aku terbengong-bengong melihat gedung kecil yang ada di bawah jembatan itu, salah satu temanku mengajak untuk masuk. Ketika masuk aku bertambah bengong, karena pemandangan antara di luar dengan di dalamnya sangat berbeda. Lima menit kami membaca beberapa pengumuman tentang jadwal acara, seperti kajian ilmiah, teater, pementasan puisi, pameran lukisan, pameran musik, nonton film bareng sampai ajang perkumpulan anak muda biasa.

    Di setiap sudut dinding di dalam Khan Sakkia terdapat sebuah pengumuman yang tertulis bahwa di daerah ini dilarang merokok, siapa yang melanggar akan dikenai denda 100 pound (200 ribu rupiah). Aku hanya bisa begumam “luar biasa tempat ini!”. Lalu telingaku mendengar suara alunan musik band. Belum lagi aku bertanya ke teman dimana asal suara itu, salah satu temanku sudah menyeretku untuk masuk ke sebuah ruangan yang ada di belakang. Baru saja aku masuk ke ruangan itu, aku bertambah terbengong-bengong seperti seorang pemuda melihat cewek cakep. Yang kulihat bukan sekedar cewek cantik saja, tapi pemandnagan di dalam ruangan ini begitu indah, nyaman, tenang dan romantis. Ruangan tang diberi nama Qa’ah Nahr (River Hall) ini berada di samping anak sungai Nil, sambil menikmati lantunan pameran musik, kita juga bisa menikmati keindahan sungai Nil. Group Band Arab yang sedang latihan itu ternyata melantunkan lagu Arab yang digubah sedemikian rupa hingga menyerupai lagu-lagu Inggris, belum pernah aku mendengarkan Band Arab seperti ini.

    Lalu salah satu temanku mengusulka untuk memesan kopi dan sambil menyeruput kopi aku dan teman-teman menikmati beberapa lagu dari Band Arab. Aku menikmati lagunya di pinggir sungai Nil da mataku tidka henti-hentinya menatap aliran Nil yang berjalan dengan santun dna sopan. Di dalam ruangan ini disediakan beberapa makanan dan minuman yang snagat murah. Bisa dikatakan tempat tidak sekedar sebagai tempat pameran musik dan teater saja, tapi lebih jauh lagi sebagai kafe, perpustakaan dan tempat liburan yang romantis. Lagu Band Arab sudah selesai dan saat ini para pemainnya sudah turun dan sedang bebincang-bincnag di sebelah tempat kami duduk. Kami pun berbincnag-bincang sekitar setengh jam. Tiba-tiba salah satu temanku menunjukkan kepadaku adagadis Mesir cantik. Sekilas aku melirik dan aku sampai bengong melihat seorang gadis berpakaian serba hitam itu melenggang dengan tenang menuju ke para pemain Band yang rata-rata mempunyai tubuh keren itu. Gadis itu sepertinya bukan asli ornag Mesir, karena wajahnya mirip sekali orang Eropa. Berkali-kali kami membicarakan dan mencoba menembak sebenarnya gadis itu aslid ari Mesir apa berdarah Eropa.

    Tidak terasa bahwa kami sudah hampir sejam berada di dalam ruangan ini. Dan ada beberap petugas menyuruh kami keluar, karena Band Arab yang tadi sedang latihan sebentar lagi akan manggung. Bagi yang ingin melihat pementasannya itu harus membeli tiket dulu. Akhirnya kami keluar untuk mencari informasi tentang cara pendaftaran keanggotaan Sakkia. Di ruangan yang diberi nama Qa’ah Hikmah (Wisdom Hall) itu kami mendapatkan informasi pendaftaran. Untuk mendapatkan kartu keanggotaan, kami harus mengisi folmulir dan membayar pendaftaran 20 pound untuk masa satu tahun. Bagi anggota Sakkia bisa mendapatkan potongan 5 pound setiap ada pagelaran seni dan kebudayaan, juga kita bisa meminjam beberapa buku di perpustakaan Sakkia.

    Lebih lanjut lagi, ternyata Sakkia mempunyai tiga ruangan khusus, yaitu ruang sungai (River Hall) yang digunakan untuk pementasan tentang dunia pemusikan. Ruang himah (Wisdom Hall) adalah ruangan yang digunakan sebagai tempat pengajian tentang keagamaan. Sedangkan ruang kata (Word Hall) adalah tempat pagelaran teater, pembacaan puisi dan kajian ilmiah dan kebudayaan. Di tempat lain juga ada sebuah ruangan untuk perpustakaan bagi anak kecil, pelajar, mahasiswa dan para guru.setelah emngetahui beberapa informasi seperti itu, aku dapat melihat bahwa area tempat Sakkia ternyata cukup luas dan panjang, karena ia berada di bawah jembatan dan di samping aliran sungai Nil. Aku pun jadi tahu, bahwa arsiktur pembuatan tempat ini memang cicik sekali, karena tidak mengganggu orang lain. Orang tidak akan tahu dan mendengar suara musik yang keras jika di atasnya telah ada suara berisik dari mobil yang lewat jembatan. Diantara kelebihan Sakkia dnegan tempat lain seperti Opera House, Britist Council, El Harrawy dan lain-lainnya adalah bahwa tempat ini bisa menggabungkan diri antara dunia seni-budaya dengan keilmiahan dan dunia agama. Dan tempat yang sederhana itu ternyata memiliki keistimewaan yang suli dicari ditempat lainnya. Diakhir kata aku bisa mengatakan, bahwa sesuatu yang dibangun dari sebuah kesedarhanaan dan pemikiran yang ikhlas, akan menunai suatu yang tinggi dan maha dahsyat.

    24 Oktober 2007


    Baca Selanjutnya Bro..

    Mengelupas Definisi Sastra


    Mengelupas definisi sastra sampai ke akar-akarnya tidaklah semudah kita membalikkan telapak tangan, mengelupasi definisi sastra yang begitu banyaknya hampir sama sulitnya dengan menghitung warna dalam pelangi, karena disamping kita belum bisa menemukan definisi yang betul-betul mencukupi, juga di sekitar sana masih ada definisi-definisi liar yang disuguhkan oleh perorangan yang ikut andil dalam mendefinisikan sastra sesuai dengan keinginannya. Definisi-definis liar inilah yang membuat para pakar bahasa dan sastrwan sendiri menjadi pening.
    Tapi dari semua definisi yang diberikan oleh orang-orang, baik dari para pakar bahasa, sastrawan ataupun orang awam sendiri kita bisa mengambil tiga inti dasar dari definisi-definisi itu. Tiga inti yang ada pada definisi-definisi itu adalah keindahan, tulisan dan obyek sastra. Dari tiga inti dasar definisi sastra ini, telah muncul warna-warni sastra yang membingungkan. Dari tiga inti dasar definisi sastra ini juga muncul berbagai permasalahan yang membuat seorang sastrawan harus berfikir secara keras untuk menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Permasalahan-permasalahan itu muncul baru-baru ini, ketika kebudayaan menjadi semakin tua dan berkembang.



    I– Keindahan
    Apakah sastra itu harus indah?, mungkin seringkali pertanyaan itu menyentuh benak kita, kerap kali sastra dihubungkan dengan keindahan dan kertistikan. Bahkan ada beberapa golongan yang mengklaim bahwa sastra itu harus indah, jika ada karya sastra tanpa keindahan dan keartistikan, maka karya sastra itu bukan disebut sastra lagi. Apakah semua itu betu?, untuk menjawab itu, saya ingin menanyakan kepada Anda-anda sekalian, seberapa banyak karya sastra yang Anda baca dan seberapa banyak Anda mengetahui tentang sastra.
    Dari definisi yang kita dapatkan dalam kamus KBBI kemarin, bahwa sastra harus memiliki ciri keunggulan, diantaranya adalah keindahan. Ciri khas ini harus selalu melekat pada sebuah karya sastra (ibda’), baik dalam bentuk prosa atau puisi. Lah, terus bagaimana dengan para sastrawan dan penyair yang membuat sebuah karya sastra tanpa adanya keindahan di dalamnya?. Apakah itu termasuk karya sastra?. Pada dasarnya keindahan hanyalah sebuah ciri pada sastra yang bisa dihilangkan dan digantikan dengan ciri yang lain, seperti halnya sebuah perhiasan dan baju yang ada pada diri manusia. Semua itu bisa diibaratkan sebagai seorang perempuan yang cantik, apakah seorang yang cantik itu dilihat dari keindahan perhiasan dan bajunya, tentu tidak!. Kecantikan tidak harus disandarkan kepada keindahan sebuah perhiasan yang dipakai seseorang, kecantikan dan keindahan pada seseorang lebih banyak terpancar pada dirinya sendiri, cara pandang seseorang padanya, dan perbedaan sudut pandang seseorang. Seperti itu juga sebuah karya sastra, keindahan hanya sebagai salah satu ciri khasnya, yang terpenting adalah sesuatu yang memancar dari diri sastra itu, bukan embel-embel yang lainnya.
    Memang sebuah sastra tidak bisa terlepas dari keindahan, entah itu dalam takaran sedikit atau banyak. Tapi keindahan itupun masih umum, karena keindahan sendiri bisa diartikan menjadi banyak, entah keindahan dalam bahasanya, filsafatnya, pesan akhirnya, ataupun keindahan sebuah alurnya. Tapi diantara semua keindahan itu, yang paling ditekankan adalah keindahan pada pesan sastra dan alurnya, bukan keindahan bahasa yang di dalamnya tidak ada isinya. Isi pada sebuah sastra adalah perkara yang paling penting, karena bagus tidaknya sebuah sastra bisa dilihat dari isi yang dimuat oleh sebuah karya sastra. Jadi keindahan pada sebuah karya sastra bisa dibilang hanya sebuah perhiasan sastra yang bisa dipakai atau dicopot, sedangkan isi pada sastra itu yang menentukan semuanya. Kalau kita bisa melihat seperti karya sastranya novel Ngauib Mahfouz (Awlad Haritna), Dan Brown (Da Vinci Code), Seno Gumira Ajidarma (Negeri Senja), dan puisinya Muchtar Lubis (Harimau), dan lain-lainnya. Di sana kita bisa menemukan tulisan yang jauh dari sebuah keindahan (kata-kata), karena semuanya lebih banyak menyuguhkan sebuah simbol-simbol yang membuat kita harus mengerutkan kening untuk dapat memecahkannya. Tapi dari semua karya sastra itu kita bisa mendapatkan sebuah pelajaran yang sangat mahal tentang kebebasan perpikir, berpendapat dan demokrasi pada sebuah negara. Begitu juga dengan novel filsafat karya Jostein Gaarder dengan judul Dunia Sophie-nya yang memuat pelajaran tentang filsafat, semuanya jauh dari keindahan bahasa yang banyak diagung-agungkan oleh orang-orang hingga saat ini. Dengan adanya sebuah karya yang seperti itu apakah keindahan bahasa dalam sastra menjadi sebuah ciri khas yang tidak bisa dihilangkan?. Keindahan bahasa tidaklah mutlak harus ada pada sebuah karya sastra, yang terpenting adalah pesan yang dibawa oleh karya satra itu.

    II– Tulisan
    Definisi yang akan saya kupas adalah definisi yang menyatakan bahwa sastra adalah karya tulis, atau creative writing of recognized artistic value. Sastra adalah sebuah cerminan ide atau bahasa yang dituangkan lewat sebuah karya atau tulisan. Secara mutlak, patokan sastra tidak harus dituangkan dengan cara tulis, kenapa?. Karena menuangkan sebuah gagasan dalam otak manusia tidak hanya lewat tulisan, di sana masih ada banyak wahana yang bisa dibuat untuk wadah sebuah gagasan (karya sastra).
    Sarana yang dipakai manusia untuk mengaktualisasikan ide-ide, gagasan-gagasan dan hasil pikirannya tidak terbatas pada tulisan saja, sarana-sarana lainnya basih banyak sekali, diantaranya adalah bercerita dari mulut ke mulut (safawiyah/oral), tulisan, gambar (visual), suara (audio), audio-visual, gerakan, atau tidak gerak sama sekali. Jadi tulisan bukan satu-satunya sarana yang ada pada kehidupan kita, di sana masih ada puluhan, bahkan ratusan sarana lainnya yang terus menerus muncul di dalam kehidupan kita. Coba kita tengok sarana pertama kita ketika pertama kali kita lahir ke dunia ini, dengan menangis. Menangis adalah sarana pertama manusia untuk merealisasikan kedukaan dan kegembiraannya dan sarana komunikasi terhebat bagi manusia ke manusia lainnya.
    Mungkin, definisi itu bisa disepakati dan dipakai patokan bagi sastra pada zaman puluhan tahun silam, tapi untuk saat ini apakah definisi itu masih bisa berlaku, apakah definisi seperti itu masih bisa membuat seseorang diam?, tentu tidak. Mungkin pula, pada waktu itu media yang paling baik untuk mengaktualisasikan sastra adalah lewat tulisan, disamping mudah juga hasilnya cukup bagus dan bisa dijangkau oleh semua kalangan. Sedangkan media atau sarana yang lainnya sangat sulit didapatkan dan digunakan. Faktor sejarah seperti itu tidak bisa dipungkiri lagi, karena adanya saat ini adalah hasil dari masa silam, dan adanya saat ini akan membawa hasil di masa depan. Setiap sesuatu selalu berupa bersamaan dengan berubahnya arah jarum jam dari setik sampai jam. Begitupun dengan sastra dan definisi-definisinya, sudah selayaknya untuk diubah juga, karena definisi yang kita pakai sudah cukup tua, cukup untuk dipensiunkan dan dirubah dengan yang baru yang mampu mencakup semuanya.
    Dengan kenyataan saat ini, seperti sarana gambar (visual) misalnya, sastra semakin luas cakupannya. Dari gambar (visual) itu, seperti lukisan, karikatur, foto dan lain-lainnya telah mewakili sastra dan seni untuk mengaktualisasikan ide-ide dan gagasan-gagasan pada diri manusia, seperti halnya dengan novel, cerpen, puisi, naskah drama dan lain-lain yang dihasilkan lewat sarana tulisan. Begitu juga dengan sarana suara (audio) yang menghasilkan karya seni dan sastra lewat sandiwara, cerita dan lain-lainnya. Atau gabungan antara gambar (visual) dan suara (audio) yang diwakili oleh film, sinetron dan lain-lainnya. Dan masih banyak lagi sarana-sarana lainnya yang ada pada kehidupan kita saat ini.
    Tentang hubungan sastra dan seni, bisa dikatakan sebagai satu tubuh, karena kedua-duanya berjalan seiringan, seni seperti halnya keindahan. Kedua-duanya termasuk ciri dari sebuah sastra.
    Makanya dari itu semuanya, penulis mencoba untuk mendefinisikan sastra sebagai cerminanan dari kehidupan-baik dari sastrawan itu sendiri atau dari lainnya- yang direfleksikan melalui media-media, baik bahasa, tulisan, ataupun audio-visual dengan hiasan artistik, keindahan dan lainnya, dan dengan tujuan tertentu. Bukan sekedar mendefinisikan saja, tapi lebih banyak untuk mencoba melakukan rangkulan-rangkulan ke semua aspek. Walaupun penulis sendiri tidak memungkiri adanya kekurangan-kekurangan saat ini atau yang akan datang, karena penulis lebih suka tidak mendefinisikan sastra sesuai dengan pernyataan Ibn khaldun tentang sastra yang mengatakan, “Sastra tidak bisa didefinisikan dan tidak ada definisinya”.

    III– Obyek Sastra
    Obyek sastra bisa muncul dari dalam diri sastrawan sendiri atau dari luar, bisa berbentuk sebuah kritikan, emosi, informasi, pembelajaran dan lain-lainnya. Seperti yang dikatakan oleh Mahmud Stanie bahwa unsur pembangun sastra (obyek sastra) banyak sekali, bisa dari budaya dimana sastrawan itu tinggal, atau kebudayaan orang lain dimana sastrawan mendapatkan inspirasi darinya. Cara berfikir, tempat tinggal, budaya, geografis dan politik bisa memunculkan berbagai corak sastra. Makanya obyek sastra atau unsur pembangun sastra bisa dikatakan ada dua secara garis besarnya, yaitu intrinsik (unsur dalam) dan ekstrinsik (unsur dari luar). Maksud dari unsur intrinsik adalah bahwa obyek pembangun sastra ada pada diri sastrawan sendiri, di mana semua ide, gagasan dan khayalan keluar dari dalam diri sastrawam. Seperti ketika seseorang menulis sebuah novel yang diambil dari kisah perjalanan kehidupan sendiri atau dari buku hariannya, maka obyek sastra yang diambil adalah dirinya sendiri.
    Berbeda dengan ketika ada seseorang menulis sebuah sajak yang diambil dari cerita orang lain atau menceritakan orang lain, seperti sajak dari W. S. Rendra Paman Doblang, Rendra menceritakan tentang seorang yang dipenjara oleh penguasa yang diktator, ia ingin menceritakan tentang seorang penguasa yang diktator. Unsur yang ini dinamakan unsur ekstrinsik. “Sastra adalah cerminan dari kehidupan dari pernik-perniknya sampai yang besar”, kata Dr. Syafiq Abdur Razaq Abi Sa’dah dosen fakultas bahasa Arab universitas al-Azhar.
    Dari kedua unsur inilah ide-ide mengalir deras, ide dan gagasan akan datang bersamaan dengan kehidupan manusia dari zaman ke zaman, karena hakekat sastra adalah salinan atau cerminan sebuah kehidupan manusia, makanya benar apa yang dikatakan Plato, bahwa sastra adalah sebuah karya tiruan realitas, yang notebenenya adalah tiruan dari dunia ide.
    Makanya ada benarnya ketika ada seseorang mengatakan bahwa dengan membaca karya sastra, Anda sama dengan melihat dan membaca sebuah kehidupan manusia, bisa dibilang sastra mirip seperti surat kabar, cuma bedanya sastra dihiasi dengan berbagai perhiasan yang menarik. Ada juga yang mengatakan bahwa sastra adalah hasil karya berupa hayalan tingkat tinggi seseorang, dengan mengatakan seperti ini, Anda menyatakan kebenaran apa yang dikatakan oleh Plato, Anda menyetujui dan menyepakatinya, padahal tidak juga. Buktinya adalah tidak semua karya sastra berasal dari hayalan saja, ada juga yang berasal dari dunia realis dan benar-benar ada dalam kehidupan kita.
    Terus apa hubungan budaya dan sastra?, kalau saya bisa mengatakan, sastra muncul dari budaya, sastra juga bagian dari budaya. Begitu juga budaya kadang-kdang bisa tercipta karena budaya. Seperti novelnya Arthur C. Clarke yang berjudul Space Odyssey, Arthur mengkisahkan tentang sebuah komputer yang bisa menerima perintah-perintah manusia, komputer itu juga mampu diajak berbicang-bincang layaknya manusia. Dari novel Arthur ini, para ilmuan hingga saat ini mencoba membuat komputer semisal komputer yang ada di novelnya . Ini yang dinamakan sebuah karya sastra bisa membangun sebuah peradaban dan budaya, dan masih banyak karya sastra lainnya yang semisalnya.
    Hubungan sastra dan budaya bisa diibaratkan seperti seekor ayam dan sebutir telur. Kita akan sulit menentukan mana yang dahulu dari keduanya, karena keduanya saling berhubungan dan saling mempengaruhi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
    Budaya adalah obyek luar bagi sastra, ia juga bisa memunculkan corak yang bermacam-macam. Corak sastra ini akan muncul bersamaan dengan bermacam-macamnya budaya yang ada di bumi. Seperti budaya China yang membawa corak sastra China dengan peperangan-peperangannya. Juga budaya Arab yang membawa corak sastra Islam.
    Akhirnya sastra adalah karya terbesar, termulia, dan terhebat. Seorang sastrawan adalah seorang pencerita hebat, ia juga termasuk psikolog yang menghubungkan manusia dengan manusia.
    Sastra begitu besar, tidak mungkin manusia untuk mendefinisikannya, karena sastra tidak butuh didefinisikan dan tidak perlu didefinisikan.

    Bibliografi

    Abdur Razaq Abu Sa’dah, Syafiq, Muthalaat fil Adabil Umawi, al-Azhar, Kairo, 2006.
    Abdur Razaq Abu Sa’dah, Syafiq, Qithafun min Tsimaril Adabil Umawi, al-Azhar, Kairo, 1992.
    Al-Askandari, Ahmad, et. al. Al-Mufassil fi Tharikhil Adabil Arabi, Maktabah al-Adab, vol. 1, Kairo, 2005.
    Ahmad Badawi, Ahmad, Asasun Naqd al-Adab indal Arab , Nahdhah Misr, Giza, cet. VII, 2004.
    Hussain, Thaha, Fil Adabil Jahili, Dar el-Ma’arif, Kairo, cet. X, tanpa tahun terbit.
    Dhaif, Syauqi, Al-Ashrul Jahili, Dar el-Ma’arif, Kairo, cet. IV, tanpa tahun terbit.
    Gunawan, Adi, Kamus Praktis Ilmiah Populer, Kartika, Surabaya, tanpa tahun terbit.
    Afif, Hamid, Menyampaikan Ideologi Lewat Sastra, makalah kajian lepas Gamajatim pada tanggal 30 September, Kairo, 2006.
    Niswah el Fidaa, Dhoriefah, Problematika Definisi Sastra, makalah kajian lepas Gamajatim pada tanggal 30 September, Kairo, 2006.


    Baca Selanjutnya Bro..

    Kenapa Harus Menulis?

    Mungkin bagi sebagian orang yang pernah nonton film dengan judul Catatan Akhir Sekolah di sana, kita bisa menemukan sebuah jargon (Maksudnya pesan filmnya) atau idiologi dari film itu yang mengatakan bahwa kita hidup(seorang murid/mahasiswa) adalah hanya untuk mecatat. Mungkin bagi sebagian orang, pesan yang seperti itu tidak menimbulkan sesuatu yang perlu diingat atau diperhatikan lebih khusus, tapi bagiku pesan itu menjadi sesuatu yang dahsyat dan penuh makna tersendiri. Aku bisa mengatakan bahwa diriku ada sedikit kecondongan tentang masalah itu, tapi bukan berarti aku sepakat secara bulat-bulat terhadap pesan seperti itu. Menurutku kehidupan yang paling berarti adalah ketika kita bisa sedikit menulis bukan mecatat semua detik kehidupan kita sendiri atau yang berhubungan dengan alam lingkungan di samping kita hidup.




    Terdapat perbedaan mendasar antara menulis dan mecatat, kalau dalam bahasa Inggrisnya menulis diartikan write, sedangkan mecatat diartikan sebagai note. Ini menunjukkan bahwa dimanapun dan apapun bahasanya, antara menulis dan mecatat ada perbedaan yang sangat mendasar, baik dari segi penggunaan kata atau fungsi kata, arti, dan kekhasannya atau keunggulannya. Menulis adalah salah satu kata yang bisa digunakan dalam segala kondisi dengan aspek yang lebih luas dan merata, sedangkan penggunaan kata mecatat adalah sebuah kata yang digunakan dalam kondisi yang lebih khusus dengan kondisi yang sempit dan terbatas. Kata mecatat digunakan untuk istilah dalam sebuah kasus atau kondisi yang sempit dan dalam waktu yang pendek, seperti halnya catatan akhir sekolah. Ini berarti bahwa kondisi mecatat hanya dibataskan pada detik-detik dalam kehidupan bersekolah. Sering kali kata catatan dibataskan pada sesuatu yang lebih sempit dan pendek, karena memang makna asli dari kata itu menyempitkan dan mengkhusukan sesuatu yang disandarkan pada kata itu.

    Aku lebih senang menulis. Itu sudah jamak kalau kita mau berpikir ke masa depan. Aku mulai suka menulis ketika aku selesai ikut lomba karya ilmiah nasional di Malang, Jawa Timur. Waktu itu aku mewakili sekolahku untuk maju ikut lomba, setelah guru bahasa Indonesia dan sastra Indonesia mendesakku. Sebenarnya aku sendiri sudah tidak ada mood untuk mengikuti lomba atau menulis lagi, karena waktu itu aku harus konsen pada ujian akhirku. Dengan bekal bismillah aku pun terpaksa ikut. Sebelum menulis aku harus melakukan riset dan pengekploitasian data ke perpustakaan dan berbagai tempat. Waktu riset aku membutuhkan waktu sekitar satu bulan, sedangkan untuk menulis hanya membutuhkan waktu dua minggu. Setelah selesaid an diserahkan ke Malang, aku menunggu terus dengan hati agak khuwatir, maklum ini adalah lomba terbesar dalam hidupku waktu itu. Setiap satu minggu, aku mendapatkan surat dari Malang yang isinya hasil karyaku diterima. Aku mendapatkan empat kali surat, isi pertama menjelaskan bahwa karyaku telah sampai dan diterima. Isi ke dua menjelaskan tentang penyeleksian dari 150 peserta dari berbagai propinsi dan aku masuk pada 70 peserta terbaik, lalu isi ke tiga kuterima yang isinya menerangkan bahwa aku masuk pada 40 peserta yang diterima. Surat ke empat kuterima dengan hati getir, karena aku tidak bisa masuk dalam penyeleksian 12 peserta terbaik.

    Sampai di sini aku mules sekali. Di surat itu dijelaskan banyak sekali kekurangan, baik dari segi judul dan pendalaman riset. Aku bisa masuk ke dalam 40 besar, karena tata kebahasaan tulisanku bagus. Setelah kegagalanku ini, aku jadi pobia atau takut terhadap beberap perlombaan. Aku tidak mau lagi mengikuti perlombaan. Tapi dari segi menulis, aku semakin haus dan lapar. Setelah lulus dan aku mau meneruskan ke jenjang S1 di Mesir di saat itulah guru bahasa dan sastra Indonesiaku memberi pesan padaku untuk selalu menulis, karena katanya bakat ada pada penulisan. Sebenarnya aku tidka begitu percaya tentang bakatku itu, aku hanay percaya bahwa aku tidak mempunyai kemampuan dalam berbicara, sehingga membuatku harus belajar menulis dan menulis. Menulis bagiku adalah berbicara juga, bahkan lebih hebat lagi, karena kita akan mentransformasi keilmuan kita juga. Setelah aku berada di Mesir, aku sempat mengalami kecanduan untuk menulis, sehingga hari-hariku di Mesir tidak terlepas dari pena, tulisan dan buku bacaan. Kemana pun aku pergi, aku selalu membawa tiga teman setiaku itu.

    Untuk menemukan ide tentang apa yang akan kutulis, aku sering kali melakukan jalan-jalan. Entah ke mana, asalkan jiwa dan pikiranku bisa melayang bebas untuk menemukan pernik-pernik kehidupan yang bisa kutulis. Kadang dalam bis, aku terdiam seperti ornag melakukan meditasi, bukan melamun atau apa, tapi sengaja kulakukan untuk mencari ide tulisan. Hingga saat ini aku telah menulis banyak artikel, esai, puisi, cerpen dan bahkan novel. Walaupun tidka bagus amat tapu cukup memuaskan sebagai awla dari pena yang masih muda walaupun dengan umur yang tua. Hingga saat ini aku masih menulis, sebagai gerbang dan alat untuk berbicara dan memindah ilmu pengetahuan yang kumiliki. Sejak di Mesir, aku jadi tahu bahwa kalau harimau mati meninggalkan belang, gajah meninggalkan taring, maka aku akan meninggalkan karya tulisan ketika aku meninggal suatu saat. Setidaknya inilah yang kupahami dari seorang penyair Qus bin Sa’dah, bahwa seseorang harus membuat karya besar sebelum jiwanya melayang meninggalkan raga.




    Baca Selanjutnya Bro..

    Sunday, October 14, 2007

    Senyum Terindah


    Sepertinya, kehidupanku saat ini mulai tampak indah. Kulihat beberapa kali keindahan tersenyum kepadaku dengan senyumnya yang semerbak.terlihat bibir keindahan itu mungil menantang. Ah... benar-benar malam kemarin membuatku senang dan bahagia. Kerinduanku terhadap orang tua dan keluarga di Indonesia kali ini benar-benar terobati. Malam lebaran kemarin, aku bersama salah satu teman serumaku berjalan menuju kampung Gamalea sebelah Timur. Hampir setahun aku tidak menjenguk sebuah keluarga yang telah membuatku dapat menemukan oase kehidupan di Mesir. Beberapa bulan yang lalu aku hidup di sana selama sekitar enam bulan, di sana aku merasakan kehidupan yang begitu menyenangkan, sebuah kehidupan yang belum pernah kurasakan di tempat lainnya di Mesir, bahkan di tempat tinggalku saat ini, di Bathniyyah.

    Aku berjalan menelusuri gang-gang sempit dengan gedung-gedung yang sudah usang dimakan waktu. Penuh debu, sampah dan sangat jorok. Entah mengapa tiba-tiba aku merasakan rasa rinduku untuk berjalan menelusuri gang-gang sempit itu. Bahkan berkali-kali aku sempat menendang rol-rol kenangan beberapa bulan yang lalu, ketika aku masih bertempat tinggal di daerah ini. Sebuah daerah dimana kesempitan, debu, jorok dan kesunyinyan menjadi sebuah daerah paling berharga dan nyaman buatku.



    Entah bagaimana tiba-tiba saja aku merasa hidup di surga, padahal tempat di sini sangat memuakkan. Aneh memang kehidupan yang kurasakan beberapa bulan dulu. Kenangan-kenangan itu berkeliaran, seperti hantu mencari sukma.

    Aku datang kembali ke daerah ini dengan beberapa tujuan, diantara tujuan-tujuan itu yang terpenting adalah bersilaturahmi dengan keluarga yang dulu rumahnya kami sewa selama berbulan-bulan. Sebut saja Mama, karena hingga saat ini aku tidak pernah tahu siapa nama ibu dengan empat anak itu. Aku hanya tahu nama suaminya Ahmed, anak-anaknya, seperti Mohamed, Imad, Heba dan Suzane. Selain ingin bersilaturahmi, aku juga ingin mengembalikan sebuah buku yang sudah lama ikut bersamaku. Aku sendiri tidak tahu, sebenarnya buku yang ikut tercampur dengan buku-bukuku ketika pindahan itu milik siapa, apakah milik Mama atau milik seorang yang pernah menyewa falat sebelumku?. Yang kutahu bahwa aku harus mengembalikannya ke tempat semula.

    Selain itu, aku juga sudag rindu dengan lorong dan gang sempit kampung Gamalia, tempat bermain seorang novelis besar Mesir Naguib Mahfoudz. Aku juga rindu senyuman Mama, Heba, aplagi Suzane. Dan masih banyak sekali tujuan-tujuan yang lainnya selain itu. Dengan hati agak deg-degan, malam takbiran itu aku bergentayangan ke rumaha Mama. Baru saja sampai di bawah apartemen rumahnya, aku bertemu dengan anak laki-laki Mama yang bernama Imad. Pertama melihatnya aku kaget sekali, karena Imad sekarang sudah tampak lebih besar dan lebih tinggi dariku. Tiba-tiba pikiranku juga melayang ke Indonesia, dibenakku teringat adik laki-lakiku yang semurun dengan Imad. Apakah ia sudah sebesar Imad saat ini? Aku bertanya-tanya dan sesekali tersenyum kalau suatu saat bertemu dnegan adikku itu.

    Imad berkata dengan ramah dan masih ingat dengan kami, katanya ibunya ada di rumah dan kami disuruh langsung masuk ke rumah, sedangkan Imad sendiripergi meninggalkan kami. Kami melanjutkan perjalanan ke atas apartemen dan ketika kami sudah sampai di depan pintu yang sudah terbuka lebar. Ternyata Heba dan Suzane sudah menyongsong kami di tengah-tengah pintu. Mereka menyambut kedatangan kami dengan hangat dan lembut. Berkali-kali mereka mengatakan, syaraftumuna (kedatangan kalian memuliakan kami) dan dengan senyum terindah yang sering kulihat sebelumnya. Aku melihat dua puteri Mama itu, lalu mereka mempersilahkan kami masuk ke dalam rumah. Setelah kami duduk, Suzane masuk ke dalam kamar ibunya atas kedatangan kami.

    Kedatangan kami disambut baik oleh Mama, bahkan berkali-kali Mama mengatakan penyesalannya karena jarang menghubungi kami. Mama dan Heba bercerita berbarengan, mereka bercerita bahwa Heba sudah menikah beberapa bulan yang lalu. Aku senang mendengarnya. Heba dengan rasa bangganya bahkan memperlihatkan cincin pernikahannya. Belum pernah aku merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya, entah apakah karena aku sejak dahulu mereka adalah keluargaku juga. Sehingga pernikahan Heba yang sudah kuanggap kakak perempuanku itu sangat menggembirakanku. Temanku bertanya tentang pernikahan Suzane juga, kapan dia menikah. Mama mengatakan bahwa Suzane masih belum menikah dan Suzane tersenyum agak malu-malu mendengar pertanyaan kawanku itu. Memang Suzane masih terlalu muda untuk menikah bagi adat orang Mesir, ia baru saja lulus dari sekolah Aliyah. Mungkin umurnya baru sekitar 19 tahunan. Tapi kali ini aku memperhatikan dirinya dengan seksama, sepertinya dia sudah tampak besar dan lebih dewasa dari pada setahun yang lalu.

    Tubuhnya yang sudah berbau keibu-ibuan menunjukkan bahwa sebenarnya dia sudah layak untuk menentukan jodohnya terhadap seorang laki-laki. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara Heba dan Suzane. Heba memiliki tubuh yang sudah begitu sempurna dan matang, mukanya tampak bundar ovel dengan wajah yang manis, sedangkan Suzane mempunyai wajah yang lonjong dengan hidung yang snagat mancung. Melihat hidungnya yang meruncing itu, tiba-tiba terlintas gambar muka ratu kecantikan Mesir, Cleopatra. Apakah ratu Cleopatra yang digembar-gemborkan kecantikannya itu mirip dengan Suzane?. Aku tidak tahu!.

    Kami berbincang-bincang berlima saja. Mereka masih ingat nama satu persatu kami, hanya Mama dan Heba yang sudah lupa namaku yang sulit Angga!, nama yang sulit bukan?. Tapi aku mengatakan luar biasa pada Suzane yang ternyata masih ingat namaku dan cara menucapnya cukup tepat juga. Kami berbincang-bincang cukup lam dengan topik pembicaraan yang banyak sekali. Seputar pernikahan Heba, kenangan hidup kami dahulu, tentang tanah air, tentang perkuliahan, tentang Imad, sepak bola Mesir, artis Mesir sampai tentang persoalan bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri paginya.

    Berkali-kali aku dan kawanku harus tertawa terbahak-bahak ketika mendengar penuturan Mama yang lucu seperti seorang pelawak di televisi. Suatu ketika Mama mengatakan bahwa dirinya pernah kuliah di suatu Universitas, ketika kami ngobrol tentang perkliahan. Kami bertanya, di universitas mana Mama kuliah? Dia menjawab dengan enteng dan lucu. Ana kuliah fi kuliyatul manjil wal mathbakh! (Kuliah Rumah Tangga dan Dapur). Sepontan kami tertawa mendengar jawaban konyol itu, bahkan Heba dan Suzane ikut tertawa terbahak-bahak samapai memegangi perutnya. Luar biasa konyolnya orang Mesir.

    Lalu topik pembicaraan beralih ke artis-artis setelah kami berbincnag-bincang tentang sepak bola, khususnya Ahlawy (tim sepak bola Kairo) dan Zamalekawy (tim sepak bola Zamalek). Dalam hal ini kami ditanya pendukung yang mana antara tim sepak bola Mesir yang selalu melakukan petandingan dengan kemenangan bergantian itu. Lalu aku menjawab bahwa aku tidak mendukung siapa-siapa, keduanya adalah tim yang bagus. Pengakuanku ini aku kuatkan dengan mendedangkan lagu Nancy Agram berjudul Zamalek wal Ahly, sebuah lagu khusus untuk dua tim sepak bola terbesar di Mesir. Bahkan akhirnya aku bertanya apakah mereka kenal dengan Nancy Agram, mereka menjawab bahwa mereka sangat mengenal penyanyi pelarian Libanon itu. Lalu mereka menyebutkan sederetan nama-nama penyanyi yang sudah kueknal akrab, bahkan aku sampai hapal beberapa lagunya. Heba ternyata sangat suka dengan penyayi Libanon Elliza dan Suzane menyukai penyanyi Ashala Nashry asal Syiria. Lalu aku bislang bahwa aku suka penyanyi Mesir Sheren yang saat ini lagi hamil dua bulan. Mereka kaget mendengar pengakuanku itu. Ternyata mereka juga menyukai Sheren yang katanya suaranya sangat merdu. Lalu Heba bertanya apakah aku keal dengan penyanyi Heifa dan bagaimana pendapatku. Aku mengatakan bahwa penyanyi ini tidak begitu baik, karena kepopuleran Heifa bukan dari suara tapi goyangan mautnya, seperti Inul. Dan Heba manggut-manggut membetulkan pendapatku.

    Setelah lama kesana kemari bercerita, ternyata tidak terasa aku telah beridam di sana kurang lebih sekitar dua jam. Cukup lama untuk sekedar melepas rindu. Ketika kami ingin minta pamit, berkali-kali Mama masih ingin ngobrol dan masih merasa rindu kepada kami, tapi kami memaksa untuk pergi karena sudah terlalu lama kami di sana. Akhirnya kami pulang dengan puas dan buku yang akan kami kembalikan itu ternyata diberikan kepadaku sebagai hadiah. Senyum manis Heba dan Suzane mengawal kepulangan kami dengan hati gembira, karena sepertinya aku telah mendapatkan kehangat keluarga di Mesir. Kehangatan kelaurgaku yang sudah lama kuimpikan sejak aku tinggal di negeri orang ini. Senyum indah dan ramah itu tidak akan pernah terlupakan. Dan akhirnya semoga suatu saat aku bisa menyambung silaturahmi dengan keluarga itu seterunya, bahkan sampai nanti kepulanganku ke Indonesia.

    Baca Selanjutnya Bro..

    Sinopsis Novel Senja Di Kornish Nil


    Seperti juga senja yang ada di Kornish Nil, yang lama-kelamaan akan hilang ditelan kegelapan. Seperti itu juga hakikat dari sebuah kegembiraan yang akan sirna oleh kesedihan, keduanya akan berganti sesuai hukum Tuhan. Kegembiraan tidak ubahnya seperti keindahan senja yang hanya mampir sebentar dalam kehidupan, hanya beberapa detik, setelahnya akan datang masa gelap atau kesedihan. Sebenarnya kalau kita mau membuka sedikit mata, akan terlihat jelas bahwa diantara keduanya ada semacam keseimbangan yang tidak akan pernah terpisahakan, adanya keindahan senja karena adanya kegelapan malam, begitu pun dengan kegembiraan karena adanya kesedihan. Manusia bisa mengenal apa itu gembira, itu bukan lain karena manusia pernah merasakan sedih. Gembira dan sedih hakikatnya adalah gula-gula dan kenikmatan hidup terbesar yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Seperti halnya keindahan senja dan kegelapan adalah keindahan dan dibaliknya ada manfaat yang besar untuk manusia juga.



    Semuanya diciptakan oleh Tuhan untuk manusia, supaya manusia tidak bosan dengan kehidupan ini. Karena manusia mempunya nafsu yang selalu ingin perubahan, bukan suatu ketetapan yang membosankan. Tuhan menciptakan sedih setelah gembira atau sebaliknya, pada dasarnya untuk memberikan kenikmatan hidup bagi nafsu manusia. Maha besar Tuhan yang menciptakan segalanya dengan teratur!.

    Senja di Kornish bukanlah sekedar sebuah senja biasa. Keindahan senja di tempat ini, bagi orang-orang Mesir dan orang yang pernah melihatnya dikatakan tidak kalahnya dengan keindahan senja di sungai Seine, Perancis. Warna keemasannya mampu membuat orang terhanyut ke sebuah dunia dengan keindahan tanpa batas. Matahari yang bulat berwarna merah kemas-emasan itu tidak hanya membuat Kornish Nil menjadi lebih indah, tapi juga membuat badan menjadi agak lebih hangat. Walaupun begitu, embun dan halimun putih tipis yang ada di permukaan sungai Nil tidak mau kalah dengan cahaya senja yang keemas-emasan. Kaliborasi antara warna merah keemas-emasan dengan halimun putih tipis menghasilkan paduan warna dan keindahan tersendiri, keindahan-keindahan itu tidak akan bisa diperlihatkan di tempat lainnya, belum lagi ditambah pergerakan air sungai Nil yang bergerak santun, membuat kondisi di Kornish Nil tidak bedanya dengan surga yang pernah diimpi-impikan oleh setiap orang.

    Ketika berjalan atau berhenti sambil menikmati udara dan keindahan warna senja kemerah-merahan bercampur keemas-emasan itu, suasana hati akan ikut berbunga-bunga. Hati yang gelisah, lelah, penat, marah, atau lagi lesu akan segera terhempas hilang semuanya. Kata orang Mesir, berjalan di pinggiran sungai Nil atau di Kornis Nil akan membuat jiwa seseorang melayang-layang diantara hamparan keindahan tanpa batas, makanya tidak heran jika ada seorang pendatang mengatakan bahwa keindahan Kornish Nil seperti sebuah replika dari surga.

    Cerita ini dimulai dengan kedatangan seorang pemuda berdarah Indonesia-Mesir yang bernama Khalil di Mesir, ia datang dengan mengemban amanat dan wasiat terakhir dari mendiang ayahnya. Ia datang ke Mesir untuk mencari dan menyatukan keluarganya yang sudah terpisah slama dua puluh tahun silam. Setibanya di Mesir, ternyata tidak mudah untuk mencari jejak ibu dan adik-adiknya yang sudah dua puluh tahun terpisah darinya itu. Selama berbulan-bulan ia berusaha terus-menerus mencari kalurganya itu, tapi tetap sulit mencari jejak keberadaan mereka. Hingga hari-harinya di Mesir membuatnya mengenang kembali kisah sedih dua puluh tahun silam. Akibat salah paham dan fitanah dari orang lain, kedua orang tuanya harus berpisah selama itu. Karena mengenang kisah sedih inilah, tanpa sengaja ia mulai putus asa dan selalu murung. Hampir hari-harinya selalu ia gunakan untuk melihat keindahan senja di Kornish Nil, tapi kenyataanya ia tidak mendapatkan apa-apa di sana, hanya membuat serpihan luka lama menjadi terkuak kembali.

    Apakah Khalil bisa mengobati luka-lukanya yang terkuak kembali akibat sulitnya mencari keluarganya itu? Dan apakah Khalil mampu menemukan dan menyatukan kembali keluarganya yang terpisah? Dalam perjalanan ini, Khalil banyak sekali menemukan rintangan, termasuk keadaannya sendiri yang selalu bersedih hati dan tentang kisah cintanya dengan dua orang gadis Sophie dan Yasmin yang membuatnya bingung untuk memilih, disamping misteri sulitnya mendapatkan informasi keberadaan keluarganya di Mesir. Apakah Khalil mampu menyelesaikan semua masalahnya itu?. Tentunya semua akan terjawab di dalam kisah Senja di Kornish Nil.





    Baca Selanjutnya Bro..