Wednesday, June 27, 2007

Ayat-Ayat Cinta antara Realis dan Daya Hayal Tinggi


Ayat-Ayat Cinta
antara Realis dan Daya Hayal Tinggi

By : Elfenan

Novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Syirazi, aktifis Sanggar Seni, Sastra dan Budaya KiNANAH dan FLP Cabang Kairo, Mesir yang saat ini telah tercetak yang ke-20 dan menjadi novel remaja best seller dari tahun ke tahun hingga tahun ini telah banyak merubah banyak pandangan para pembacanya. Novel yang banyak membuat penasaran orang ini dianggap sebagai salah satu karya sastra terhebat dan paling sempurna pada masa kini, yang mana kebanyakan karya sastra yang disuguhkan oleh penulis-penulis Indonesia sudah jauh dari nilai-nilai plus.

Sejak munculnya novel yang membuat deg-degan bagi pembacanya dan tidak pernah ada klise dalam setiap katanya ini, para penulis muda maupun tua Indonesia serasa dicoreng mukanya. Apalagi bagi para penulis sastra Islami yang menganggap dunia Islam adalah segala-galanya. Karena sejak awal munculnya 'sastra Islami' di Indonesia, para penulisnya belum bisa menulis karya sastra Islami yang benar-benar Islami, mungkin sebab dari itu adalah kurangnya penulis dalam memahami agama Islam, sehingga dalam pengamalannya pada dunia karya sastra kurang juga. Semua itu beda dengan Kang Abik yang menurut penulis adalah sosok seorang yang sangat memahami agama secara sempurna, bahkan ada kemungkinan sosok tokoh yang ada pada novel A2C adalah sosok penulis sendiri.

Disamping seorang penulis yang ber-agamis, juga Kang Abik dikenal di dunia Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir) sebagai senior di Sanggar Seni, Sastra dan Budaya KiNANAH sebelum akhirnya ia mendirikan FLP cabang Cairo, Mesir. Dalam dunia kepenulisan ia memang dianggap sebagai moyang dari para penulis muda di Mesir. Dari sini tidak bisa disangkal lagi bagaimana keahliannya dalam dunia tulis menulis. Sehingga ia mampu memunculkan tulisan yang sangat menggugah jiwa.

Lebih jauh lagi, setelah kemunculan novel di Indonesia, para pembaca banyak yang masih mempertanyakan apakah tokoh-tokoh yang ada dalam novel A2C ini benar-benar ada, sesuai dengan kenyataan settingnya?. Mungkin Kang Abik akan menjawab belum pernah ada seorang yang sehebat itu, atau barangkali ada seseorang yang sangat mirip dengan tokoh Fahri yang dikisahkan di novel A2C. Selama ini penulis memang belum pernah bertemu dengan Kang Abik untuk menanyakan kebenaran itu, tapi penulis mempunyai pengalaman menarik yang mungkin ada hubungan dengan tokoh Fahri di dalam A2C.








Pada awal-awal tahun 2005, penulis membicarakan tentang novel A2C dengan seorang teman yang sangat tahu tentang sosok Kang Abik. Ia berkomentar bahwa tokoh dalam novel A2C mirip dengan sosok seorang mahasiswa di Mesir yang hampir setiap harinya talaqqi (mengaji) al-Qur'an Qira'ah Sab'ah di Shubra el-Khima kepada seorang syaikh di sana dan ia dikenal sebagai seorang sosok orang yang sudah lama di Mesir. Walaupun tidak semuanya mirip dengan tokoh Fahri, tapi dalam hal belajar al-Qur'an ia sama dengan tokoh Fahri. Waktu itu memang Shubra el-Khaima adalah tempat yang paling nyaman untuk belajar qira'ah Sab'ah selain propinsi Thanta yang lebih dikenal sebagai gudangnya ahli qura' el Asrah (al-Qur'an dengan sepuluh riwayat), karena di sana ada universitas al-Azhar yang khusus untuk mempelajari qira'ah al Asyrah. Begitu juga dengan tokoh teman-teman Fahri, seperti Saiful dan lain-lainnya. Semua sosok itu ada dalam dunia nyata, mungkin Kang Abik dalam membuat novel ini sedang membayangkan teman-temannya dulu di Mesir. Shubra el-Khaima yang digambarkan dalam A2C memang bisa dikatakan cocok, walaupun ada sedikit tambahan hayalan yang sangat menggelikan, seperti si Fahri yang belajar di seorang syaikh dan menjadi satu-satunya murid yang dari Indonesia, belum lagi dalam belajar di sana tidak pernah ada biaya. Padahal dalam kenyataanya, Shubra el-Khaima dalam pembelajaran bacaan al-Qur'an dengan delapan riwayat ada sekolahnya sendiri yang dalam pengajarannya memungut biaya yang tidak sedikit, hingga saat ini mahasiswa dari Indonesia sudah tidak ada lagi yang belajar di sana, yang hanya ada mahasiswa-mahasiswa dari Malaysia. Akan tetapi akhir-akhir ini ada beberapa syaikh yang menerima pelajar dari Indonesia tanpa memungut biaya sepeser pun.

Menurut penulis, novel A2C ditulis dengan pendekatan kehidupan nyata dan dibumbuhi dengan hayalan-hayalan tingkat tinggi. Ada beberapa komentar yang mengatakan bahwa novel A2C adalah novel yang paling sempurna tanpa ada kesalahan dan anggapan ini banyak kita temui pada teman-teman kita yang sangat mengagungkan novel ini, seakan-akan novel itu telah menjelma sebagai buku tuntunan hidup para pembacanya. Sebenarnya ada beberapa catatan penting untuk novel A2C, catatan-catatan itu diantaranya adalah :

- Kesalahan Kang Abik dalam menjelaskan, bahwa karcis metro anfak 80 piester. Padahala karcis metro pada tahun 2000-2005 adalah 75 pisters dan pada tahun 2006 karcis metro naik menjadi 1 pound. Kesalahan data seperti ini sangat disayangkan, padahal dalam bentuk tempat novel A2C bisa dibilang nyata.
- Adanya kesalahan lain mengenai miftah el Nil (kunci Nil) dalam halaman 20, dalam novel A2C disebutkan bahwa kunci Nil adalah kunci Pyiramid. Kesalahan seperti ini juga akan berakibat fatal dalam novel yang cukup baik itu. Di Mesir tidak akan pernah ditemukan adanya kunci Pyramid yang berbentuk salib, yang ada hanya kunci Nil atau kalau orang Mesir menyebutnya dengan miftah el Nil.
- Berkenanan dengan penjarah bawah tanah, sampai sekarang Mesir adalah Negara yang sangat rapat dalam menyimpan data-data kenegaraannya. Bagaimana bisa seorang yang kesalahanya memperkosa saja langsung dijebloskan dalam satu tempat dengan seorang tawanan Ikhwanul Muslimin. Mengacu pada seorang mahasiswa yang sampai sekarang tidak tahu kabarnya, karena kesalahannya membunuh orang Malaysia ia dijebloskan ke penjarah bawah tanah. Menurut penulis, penjarah bawah tanah yang ada di Mesir hanya untuk tahanan khusus saja dan selnya pun bermacam-macam sesuai dengan kesalahan orang itu. Tidak mungkin seorang pemerkosa ditempatkan pada satu tempat dengan tawanan yang lebih berbahaya menurut Negara Mesir.
- Mobil yang disebutkan dalam A2C terlalu mengada-ngada, mobil seperti itu sangat jarang ditemukan di Mesir. Mungkin yang paling banyak adalah Daewoo, Hyundai, el-Masria dan lain-lain. Dari sini tampak sekali bagaimana penulis dalam penghayalannya terlalu tinggi.
- Jarak antara Cairo-Alexandria tidak 177 km, bahkan lebih dari itu. Kesalahan data juga sangat berbahya.
- Undang-undang Mesir tidak pernah menyatakan bahwa seorang pemerkosa dihukum gantungan. Setidaknya ini yang diketahui oleh penulis.
- Kang Abik sekan-akan menyatakan bahwa orang Mesir adalah orang-orang yang suka mengeluarkan cacian, padahal kenyataan hidup di Mesir tidak seperti itu, bahkan sebaliknya. Orang-orang Mesir banyak mengeluarkan do'a kepada teman yang lainnya.
- Kesalahan Fahri dalam menyalakan api permusuhan antara orang Mesir dengan orang Amerika adalah sebuah bukti bahwa tokoh Fahri tidak begitu sempurna.
- Kang Abik salah tangkap terhadap sifat orang-orang Mesir, tidak semua orang Mesir membenci orang-orang Amerika, dalam artian menampakkan permusuhan seperti pada kejadian di metro. Ada pepatah dalam dunia Mesir yang mungkin sudah dilupakan oleh Kang Abik, yaitu "para turis adalah termasuk penduduk Mesir". Dari sini bisa dilihat bahwa orang-orang Mesir sangat menghormati para turis, walaupun dari Amerika.
- Kesalahan penulis pada penyebutan desa Tafahna el-Asyraf yang mengikuti propinsi Zagaziq, padahal Tafahna mengikuti daerah Dakahleya, sedangkan Zagaziq mengikuti el-Syarkeya.

Dari catatan-catatan itu penulis hanya ingin menjelaskan bahwa novel A2C masih sangat jauh sekali dari kesempurnaan. Dan masih banyak kesalahan yang ada pada novel itu. Begitu juga daya hayal penulis yang terlalu tinggi hingga membuat seorang pembaca harus tertawa. Walaupun begitu, daya hayal tinggi yang dibungkus dengan latar belakang indah dan komplek akan membuat karya sastra semakin enak dipelajari dan dibaca.

Tetap penulis ikut bangga atas berhasilnya novel itu menjadi novel Islami terhebat pada masa saat ini, memang tidak berlebihan apa yang dikatakan penulis besar Mohamad Fauzil Adhim yang mengatakan bahwa ia meragukan adanya kemunculan karya sastra serupa dari penulis muda Indonesia lainnya, saat ini bahkan mungkin hingga beberapa puluh tahun ke depan. Bahkan dari penulis tua pun tidak akan pernah mampu membuat karya sastra yang begitu cerdas dan bisa dibaca oleh semua kalangan.

Dan penulis sangat menolak apa yang dikatakan Cerpenis Joni Ariadianata bahwa ia menyerupakan dengan novelis besar Naguib Mahfoudz dalam pemahaman seluk beluk Mesir, padahal tidak seperti itu. Bagi Kang Abik sangat jauh untuk bisa menjadi seorang Naguib, baik dalam dunia kepenulisan atau yang lainnya.

Dan akhirnya sangat yakin akan bertambahnya pembaca bagi novel A2C, selagi film A2C belum digarap, jika film itu benar-benar akan digarap di Mesir, ada kemungkinan novel ini akan turun pamornya, atau akan bertambah pamornya. Dan sepandai-pandainya tupai melompat tetap akan terpeleset juga.

Cairo, 19 Mei 2007

Penulis adalah aktifis Sanggar Seni, Sastra dan Budaya KiNANAH dan FLP cabang Cairo, Mesir. Juga seorang yang menyukai dunia sejarah sastra dan kritik sastra.





Baca Selanjutnya Bro..

Dauroh El-Lughatul Al-Arabiah I


Dauroh El-Lughatul Al-Arabiah I
Pendidikan Kilat untuk Mengasa Keahlian Bahasa Arab)



Rasa bahagia yang ada pada diri ini tidak bisa kuungkapkan dalam bentuk apapun, bahkan kata-kata pun tidak bisa untuk merangkai rasa bahagia yang kurasakan saat ini. Sudah lama sekali aku kagum pada Universitas Cairo Mesir, salah satu universitas di Mesir yang banyak telah mencetrak kader-kader bangsa yang berintelektual, mungkin dalam segi pembelajaran keagamaannya tidak sebagus Universitas al-Azhar sebagai satu-satunya universitas di Mesir yang berbasis agama Islam dan termasuk universitas tertua di dunia setelah Universitas Oxford di Inggris. Sejak lama ingin sekali hati ini untuk belajar di sana, tapi tidak mungkin bisa tercapai keinginan besar ini, dari segi uang tidak akan mampu membayar pembayaran yang begitu besar, begitu juga dari segi keahlian bahasa yang begitu rendah. Tapi kemarin hari Sabtu tanggal 24 Mei 2007 aku bersama tiga teman mendaftarkan diri untuk mengikuti Dauroh El-Lughatul Al-Arabiah (Pendidikan Kilat untuk Mengasa Keahlian Bahasa Arab). Diklat (Pendidikan Kilat) ini bekerja sama antara Cairo University dengan The King Abdel Aziz Babthin dalam hal karya sastra dan pendalaman syair Arab. Diklat ini diberikan untuk para pelajar di Mesir sebagai pelajaran untuk pembuatan karya sastra dan pendalaman syair secara gratis.

Mungkin diantara tujuan diklat ini adalah supaya para pelajar Arab mampu membuat karya sastra (syair) dan dapat mendalaminya, karena sejak akhir beberapa tahun ini karya sastra Arab dalam bentuk syair mulai turun, kebanyakan orang Arab sudah beralih ke syair modern yang sudah mengindahkan qawafi-aturan syair-. Maka dari sini raja Saudi Arabia memberi biaya untuk memberi pelajaran secara singkat tentang dunia keahlian membuat syair dan membenarkan kesalahan-kesalahan bahasa Arab yang saat ini banyak terjadi pada kalangan orang-orang Arab. Diktat yang diberikan oleh Cairo University dan King Abdel Aziz ada dua bentuk, yang pertama adalah keahlian berbahasa Arab Fusha dan keahlian Arudhiah atau ilmu yang menerangkan kaidah-kaidah dalam pembuatan syair Arab dan musik-musik yang dikeluarkan oleh syair-syair itu. Ilmu Arudh diciptakan oleh Khalil bin Ahmad (100-170 H), sedangkan kata Arudh diambil dari salah satu nama Saudi Arabia, ilmu ini dinamakan Arudh karena Khalil bin Ahmad ingin supaya ilmu ini bisa memberi berkah kepada siapa saja yang menpelajari dan mendalaminya. Di dalam ilmu Arudh dijelaskan kaidah-kaidah dasar sebuah syair Arab dan lagu-lagu yang dikeluarkan oleh syair tersebut, seperti Bahr Rajaz ¬(lagu Rajaz) yang syairnya selalu berbentuk sedikit, lagunya tampak ringan dan lincah, karena biasanya orang Arab melagukan syair dalam bentuk lagu Rajaz untuk menggembalakan kambing, sehingga lagu-lagunya selalu lincah selincah larinya kambing-kambing.

Dari dua macam diklat itu, saya mengambil diklat keahliah bahasa Arab-nya, saya ingin memiliki keahlian dalam hal kebahasaannya. Baru tanggal 26 Mei 2007 saya dan teman-teman mengikuti diklat yang pertama, ternyata anak Indonesia yang mengikuti tidak begitu banyak, bisa dihitung. Yang mengikuti diklat ini luar biasa banyaknya, kalau diitung-itung ada sekitar 200 mahasisiwa, mahasiswa-mahasiswi tumplek-amblek jadi satu dalam ruangan yang cukup besar itu. Untuk mahasisiwa menempati deretan bangku sebelah kiri dan untuk mahasisiwinya menempati deretan sebelah kanan. Dalam perteman pertama ini saya dan temen-temen terlambat masuk sekitar setengah jam-an, saya mendapatkan bangku dibelakang mahasiswi yang ada pada belakang sendiri, rasanya malu dan gerogi menyerang diriku. Selama sekolah di Mesir, saya sendiri belum pernah belajar dalam satu ruangan dengan mahasiswi, apalagi mahasisiwi Mesir yang membuat merinding. Dalam sepuluh menit itu, saya tidak bisa konsentrasi mendengarkan penjelasan dari Dr. Ibrahim Dhouah, rasa grogi dan malu masih membuatku tidak tenang. Akhirnya lama-kelamaan rasa itu hilang bersamaan dengan enaknya penjelasan yang dibawa oleh Dr. Ibrahim. Dr. Ibrahim menjelaskan tentang kesalahan-kesalahan kebahasaan yang ada pada nas-nas syair dan beberapa naskah pers. Penjelasannya hanya gelobal saja, untuk penjelasan secara mendetail akan diterangkan pada pertemuan mendatang. Diklat yang akan memakan waktu sekitar tiga bulan ini akan dibawakan oleh dosen-dosen yang sudah pakar dalam bidang kebahasaan dan kesusasteraan.




Yang membuatku tahjub dan senang adalah kecakapan dan keaktifan dari para mahasiswa Cairo University Mesir yang mengikuti diklat ini, keaktifan seperti ini jarang saya lihat pada mahasiswa al-Azhar, setiap saya mengikuti pelajaran di kelas dan beberapa diklat seperti ini di al-Azhar, jarang sekali melihat mahasiswa yang aktif. Dari sini saya bisa melihat keunggulan mahasiswa dan manajemen pendidikan yang diberikan oleh universitas Cairo. Ternyata benar apa yang dikatakan oleh orang-orang bahwa Cairo Universitas adalah tempat para mahasiswa yang aktif, kreatif dan sensitif, sedangkan al-Azhar University adalah tempat para pelajar yang tawadhu’. Dari sekelumit pengalaman ini juga saya bisa sedikit membenarkan kata-kata Dr. Thaha Husyan selaku mantan menteri pendidikan Mesir beberapa tahun silam, Dr. Thaha mengatakan bahwa al-Azhar terlalu mengungkung para mahasiswanya sehingga tidak bisa maju ke permukaan, hanya para syaikhnya saja yang maju digaris terdepan. Sedangkan Cairo University selalu menjunjung kebebasan (bukan pergaulan bebas) mahasiswanya dan mendukung mereka untuk maju digaris terdepan, sedangkan para dosennya hanya dibelakang mereka sebagai penggerak dan peneliti. Perbedaan anatara kedua universitas ini sangat mencolok sekali, bahkan saya merasakan apa yang dikatakan oleh Dr. Thaha setelah merasakan pendidikan kedua universitas ini, walaupun baru sebentar.

Dr. Ibrahim mengatakan bahwa kesalahan yang sering terjadi pada koran-koran, syair, danmajalah-majalah adalah karena telah tercemari oleh bahasa ‘Amiyah (bahasa pasaran), bahasa ‘Amiyah Mesir sangat merusak bahasa Arab Fusha (pemersatu atau fasih). Pendapat seperti ini pernah saya dengar juga dari Dr. Hani Muhammad Mahdi dalam diklatnya setahun yang lalu, walaupun bahasa Arab ‘Amiyah Mesir masih tergolong bahasa yang paling dekat dengan bahasa Arab aslinya. Memang bahasa Arab ‘Amiyah Mesir adalah bahasa yang paling dekaty dengan bahasa aslinya, bahasa Arab Fusha. Hanya saja dialek yang digunakan oleh orang-orang Mesir berbeda jauh dengan bahasa aslinya, begitu juga denagn susunan kaidah-kaidahnya sangat berbeda dengan bahasa aslinya. Walaupun dekat tapi tetap jauh, kedekatan bahasa Arab ‘Amiyah dengan bahasa Arab Fusha hanya dilihat dari segi kata-katanya saja, bukan dari segi susunan dan dialektikalnya. Kalau kita mau mendengar dengan jelas, bahasa Arab ‘Amiyah yang ada di Mesir sebenarnya terbagi menjadi dua , yaitu bahasa Arab ‘Amiyah Selatan dan Utara, kedua bahasa ini pun berbeda dalam segi dialektikal.

Dua jam diklat berlangsung, selama dua jam itu Dr. Ibrahim hanya memperlihatkan kesalahan-kesalahan dalam penggunaan bahasa saja, tanpa memberi penjelasan secara mendetai, untuk penjelasannya akan disampaikan dalam pertemuan selanjutnya. Diklat ini akan berlangsung selama tiga bulan dan akan diadakan ujian diakhir pertemuan, bagi para mahasiswa yang ikut akan diberi syahadah (ijazah) dari Universitas Cairo dan The King Abdel Aziz Saudi Babthin. Setelah selesai diklat ini juga, The King Abdel Aziz akan mengadakan perlombaan pembuatan sayair dengan hadiah yang cukup besar. Selesai diklat, saya dan teman-teman jalan-jalan melihat-lihat gedung Cairo University. Dalam perjalanan keliling-keliling itu sempat beberapa kali hati saya harus berdebar-debar kencang, rasa tahjub, bangga, senang, dan malu cempur aduk semua. Dari mulai gedung, ternyata Cairo University mempunyai kesamaan dengan universitas-universitas yang lainnya, bangunannya cukup tua kecoklat-coklatan dan besar-besar. Bangunan yang mengingatkanku pada bentuk arsitektur bangunan kuno Yunani dan Romawi itu membuatku semakin suka, apalagi ketika kulihat sebuah monumen yang dipinggirnya melekat jam dalam ukuran yang besar sekali, luar biasa hebatnya.

Dari segi luasnya, Universitas Cairo tidak kalah dengan Universitas al-Azhar pada fakultas umumnya, sedangkan dari segi kebersihan pun cukup membuat bangga dan senang orang yang datang menjenguknya. Di dalamnya dihiasi dengan berbagai tumbuhan dan pohon yang hijauh dan segar, di bawah pohon-pohon besar dengan daunnya yang hijauh dan rindang dipasangi beberapa bangku untuk beristirahat. Belum lagi ada beberapa Kantin di dalamnya, walaupun kecil tapi makanan dan minuman yang disajikan cukup elit juga, ini menambah nilai plusnya. Taman yang ada di dalam Universitas Cairo juga dijaga dengan baqik, dipinggirannya dipasangi juga beberapa bangku untuk beristirahat dan belajar bagi para mahasiswa. Yang membuat hati-hati iniberdebar-debar adalah disetiap bangku di bawa pohon dan taman itu duduk beberapa mahasiswa dan mahasiswi, kebanyakan berkelompok, ada juga yang berduaan saja. Sepertinya mereka habis belajar dan mendiskusikan sesuatu, atau hanya sekedar bercanda bersama teman-temannya. Hatiku bertambah berdebar-debar ketika ada beberapa mahasiswi yang sedang duduk itu melihat dengan matanya yang indah kepada kami, sepertinya mereka agak kaget dengan kehadiran kami di situ, atau mungkin sepertinya mereka ingin mengajak kenalan kami. Karena setahu saya hanya ada beberapa orang Indonesia saja yang berhasil mendapatkan beasiswa untuk belajar di sana, sehingga kehadiran kami di sana membuat mereka bertanya-tanya.

Untuk menutupi betapa geroginya diri ini, saya hanya pasang senyum ke sana ke mari sambil mengalihkan pandangan ke arah lainnya. Pengalaman sekelumit ini akan menjadi pengalaman yang menggembirakan buatku, walaupun hanya bisa belajar di Cairo University tiga bulan saja, ini pun cukup memuaskan hati untuk melegahkan rasa penasarnku pada Universitas favorit ini. Dari jalan-jalan ini saya banyak mendapatkan inspirasi, semoga novel yang masih saya kerjakan ini segera selesai, karena kebanyakan setting yang ada pada novelku ini ada pada Cairo University. Semoga Allah mengabulkan do’a dan keinginanku ini, amin.

Bathniyyah, 26 Mei 2007



Baca Selanjutnya Bro..