Friday, August 01, 2008

Nefertiti; Pesona Telah Datang




Di depan Istana Putih terdapat taman yang sangat indah. Taman itu ditumbuhi oleh rumput yang hijau, terhampar seperti permadani berwarna hijau. Selain beberapa pohon kurma dan pohon palem, di dalam taman terdapat beratus-ratus bunga dengan warna yang bermacam-macam. Ada bunga teratai dengan berbagai warna dan ukuran, mawar dan lain-lainnya. Di samping taman itu, tidak terlalu jauh dari Istana Putih, terlihat anak sungai Nil meliuk-liuk, menari dan berirama dengan merdunya. Airnya bergelombang santun. Matahari yang sedang tersenyum malu-malu itu terlihat enak dipandang. Wajahnya bagai dihamburi oleh jutaan intan yang berkilauan indah. Kilauan air anak sungai Nil pun memancar seperti hamparan jamrud.

“Matahari itu yang membuat semuanya tampak hidup. Air sungai Nil berkilauan bah ditaburi intan-berlian. Kumbang datang menyapa bunga-bunga yang sedang mekar indah itu. Manusia mendapatkan kehangatan dan kehidupan. Matahari yang menghidupkan segala-galanya di bumi itu. Ya, matahari yang menghidupi segala makhluk, bukan Osiris, Horus, bahkan Seth atau dewa-dewa lainnya.” Di dalam dada anak kecil itu bergemuruh kata-kata yang memeberontak. Sungguh aneh, anak sekecil itu sudah mampu memikirkan hal yang sebesar itu. Anak kecil itu menoleh, ketika ia mendengar ada suara langkah kaki dari belakangnya.



“Nefertiti, apa yang sedang engkau lakukan di sini?” Gadis kecil yang dipanggil Nefertiti itu hanya diam. Kepalanya di balikkan kembali. Dua matanya yang selalu berbinar-binar terang tak jemuh-jemuhnya melihat matahari di timur itu. Seakan ia sedang menjawab, “aku sedang melihatnya. Melihat Dewa segala alam. Dewa yang memberi kenikmatan kepada semua makhluk di bumi ini.”

“Engkau menyukainya? Apakah engkau tahu, bahwa ia adalah Dewa Aten?” Kata anak laki-laki di sampingnya. Anak laki-laki itu sudah duduk di samping Nefertiti. Dua mata Nefertiti tiba-tiba terlihat lebih terang dari matahari yang ditatapnya itu.

“Aten?” Tanya Nefertiti tidak mengerti. Anak laki-laki yang ada di sampingnya tidak menjawab. Tiba-tiba saja anak laki-laki itu menjadi bisu. Tidak bisa bicara.

“Amenhotep, apa maksud perkataanmu itu? Setahuku, tidak ada Dewa bernama Aten dalam keyakinan kita. Bukankah begitu, Amenhotep? Ibu Tiye belum pernah memberi tahu kepadaku, bahwa dewa matahari itu bernama Aten. Mereka memang pernah bercerita, bahwa dewa matahari bernama Ra dan dewa bulan bernama Amon. Bukan dewa Aten! Lalu apa dewa Aten yang engkau maksud itu?” Nefertiti memburu. Anak laki-laki yang dipanggilnya Amenhotep itu tetap membungkam mulutnya. Mukanya ditekuk ke bawah.

Sebelum Amenhotep menjawab pertanyaan Nefertiti, ia terlebih dahulu melirikkan matanya ke kiri dan kanan. Tidak ada!, teriak hati kecil Amenhotep yang mempunyai nama lengkap Amenhotep IV. “Nefertiti, apakah engkau mau menjaga rahasia terbesarku?”

“Rahasia apa?” Tuntut Nefertiti. “Apakah engkau mau? Kalau mau, saya akan menceritakannya kepadamu.” Potong cepat Amenhotep. Nadanya memaksa. Dua matanya menyala seperti ada api di dalamnya. Nefertiti hampir terlonjak kaget ketika menemukan dua mata menyala itu. Setahunya, belum pernah ia melihat dua mata Amenhotep IV menyala seperti api. Ini pertama kalinya ia melihat. Namun, dua tangan Amenhotep memegang erat tangan Nefertiti. “Kalau tidak. Jangan banyak bicara. Dan lupakan perkataanku tadi. Jangan engkau sebarkan kepada orang lain. Mengerti!?!”

“Baiklah, saya akan menjaga rahasiamu,” Jawabnya kemudian. Itupun setelah ia berpikir, bahwa ada sesuatu yang unik dalam pikiran Amenhotep dan ada sesuatu yang ia ingin ketahui. Bukankah ia sendiri mengkultuskan matahari? Tidak ada salahnya untuk mengetahui rahasai terbesar seorang yang ia kagumi. Mungkinkah ia akan mengatakan bahwa Amenhotep menyukaiku?, kata hati kecilnya berharap-harap.

“Engkau mau bersumpah?” Ucap Amenhotep IV untuk menyakinkan. “Saya bersumpah demi para dewa; Isis, Nephthys, Hator, Osiris dan Horus, bahwa saya akan menyimpan rahasiamu, Amenhotep.” Sumpah Nefertiti sambil mengangkat tangan kanannya ke langit. Dua mata Amenhotep yang tadi membara, tiba-tiba padam seperti terkena air es oleh sumpah Nefertiti.

Wajah Amenhotep IV yang tadi tampak garang, tiba-tiba bercahaya oleh sebuah senyuman puas. Amenhotep IV telah berubah menjadi anak laki-laki kecil yang lugu, polos dan biasa. Semua pikiran, ambisi, dan keyakinannya dihalangi oleh sifat kekanak-kanakannya, kepolosannya dan keluguannya. Orang-orang disekitarnya tidak tahu, bahwa Amenhotep mempunyai gagasan, bisa disebut ambisi, yang berbeda dengan pendahulunya, atau bahkan ayahnya Amenhotep III sebagai Pharaoh di Mesir yang menguasai Nil dari hulu sampai hilir. Ayahnya adalah Pharaoh terbesar yang pernah menyatukan berbagai bangsa di dalam kekuasaannya dan memajukan roda pemerintahannya bersama ibunya Ratu Tiye. Kekuasaannya yang luas, meliputi berbagai bangsa dan ras menjadi damai dan tenang dalam pemerintahan ayahnya Raja Amenhotep III.

Ia sendiri adalah anak sulung dari Raja Amenhotep III dan akan menjadi pewaris kerajaannya setelah kakaknya Tuthmose meninggal di usia muda. Ia mempunyai tiga saudari yaitu Beketaten, Sitamun, and Isis. Kelak ia akan menjadi Pharaoh terkenal dan diingat banyak orang. Gayanya yang nyentrik, penuh seni, pembaharuan dan satu-satunya Pharaoh Mesir yang tidak mau disembah, dan pembaharuannya dalam keyakinan dinasti ke-18 akan banyak diingat orang setelahnya.

Sambil berucap, Amenhotep menatap matahari yang sedang bersinar terang-terangnya itu. Tatapan matanya kadang-kadang jatuh ke arah wajah Nefertiti yang sedang mekar-mekarnya. “Wajahnya tiap hari tambah sedap dipandang, benar-benar sesuai dengan namanya. Nefer-titi, Pesona Telah Datang! Suatu hari nanti, saya ingin dia yang mendampingiku duduk di kursi singgasanah kerajaan ini.” Bisik hati Amenhotep saat matanya jatuh di pipi kanan Nefertiti.

Nefertiti menoleh seakan merasakan debaran jantung Amenhotep. Ia merasakan ‘sinyal-sinyal cinta’ Amenhotep. Sebuah kesepakatan suci yang tersimpan rapi di dalam hati Amenhotep. Begitu pun Amenhotep, Nefertiti pula tidak mampu menyembunyikan rasa sukanya kepada Amenhotep. Bukti rasa sukanya adalah sumpahnya untuk menyimpan rahasia Amenhotep. Sumpah yang baru diucapkannya bukan sekali-kali karena ia takut dengan ancaman Amenhotep, namun itulah lagu hatinya, pengakuan cintanya. Ia merasakan betapa berharganya suatau saat jika ia bisa memimpin rakyat Mesir bersama Amenhotep. Menjadi Ratu yang ikut serta dalam pemerintahan seperti halnya Ratu Hatshepsut. Ratu Mesir terhebat dalam sejarah Pharaoh di Mesir selama berabad-abad. Hatshepsut adalah Pharaoh perempuan yang pernah memegang kerajaan di Mesir paling lama dan hebat dari Pharaoh-pharaoh perempuan lainnya. Walaupun ambisi Nefertiti tidak sebanding dengan Amenhotep, namun ambisi dua anak baru memasuki dunia dewasa itu bisa dikatakan sepadan, bahkan sama. Membangun keyakinan baru dan menghapus keyakinan-keyakinan lama.

“Suatu saat nanti, ketika saya sudah memegang Waas –tongkat kekuasaan atau simbol kekuasaan- maka pertama-tama yang ingin kulakukan adalah menjadikan Aten sebagai satu-satunya dewa bagi seluruh makhluk di bumi. Semua dewa yang disembah oleh nenek moyang kita hanyalah fiksi. Tidak nyata. Dewa matahari Aten-lah yang tampak dan jelas fungsinya.”

“Ya, akhir-akhir ini saya juga memikirkannya ketika sedang duduk di sini disaat matahari baru muncul atau terbenam. Di otakku sering bermunculan pertanyaan, siapa sebenarya dewa bagi bumi dan makhluk yang mendiaminya ini? Apakah Isis yang menciptakan air sungai Nil dari tetesan air matanya, atau Osiris yang menjaga Nil dari kehancuran oleh Seth, ataukah Horus yang menjaga dari datangnya kegelapan dan utusannya Apeb makhluk paling menakutkan itu. Saya tidak tahu dan percayalah, bahwa saya adalah orang pertama yang akan mendukung keinginanmu itu, Amenhotep.”

Dua mata Amenhotep berkaca-kaca mendengar jawaban tidak terduga-duga Nefertiti. Hampir saja ia memeluk Nefertiti seandainya ia tidak cepat-cepat menyadari, bahwa dewa Aten melihatnya. Betapa malu dirinya dilihat dewa Aten. Ingin rasanya ia mengajak Nefertiti lari ke dalam Istana Putih dan memeluknya di sana. Menciumnya dan berterima kasih atas dukungannya. “Inilah ratuku nanti!” Hati Amenhotep berteriak kencang. Ia berharap dewa Aten tidak mengetahui bahasa hatinya.

<><><><><><><><><><>

Tidak ada yang tahu bagaimana isi otak Amenhotep. Jalinan pemikirannnya dan ambisisusnya. Beberapa tahun kemudian, ketika ayahnya Amenhotep III memaksanya menikah, sebenarnya, yang ingin ia pilih adalah Nefertiti. Namun sang ayah, memilihkan adiknya Sitamun sebagai calon permaisuri untuknya. Tidak mungkin ia menolaknya. Adat istiadat keluarganya memang harus dinomor satukan, kecuali apa yang sudah diyakininya tentunya, akhirnya ia menerima walaupun dengan hati gunda dan tidak senang. Nefertiti yang mengetahui perjodohan itu memilih mengurung di dalam kamar dan jarang keluar. Di dalam kamarnya itu, ia bisa menumpahkan semua kesedihannya melalui air mata. Kadang-kadang ia berdoa kepada dewa Aten yang telah diyakininya, berharap perjodohan itu gagal dan berpindah kepadanya. Apakah ada keajaiban seperti itu?

Jalinan asmaranya dengan Amenhotep IV semakin kuat di dalam penderitaan. Bukan ia semakin kecewa atau putus asa, akan tetapi ia semakin kuat berdoa kepada dewa Aten, ketika matahari pagi menyinari kamarnya lewat jendela. Ia tahu, kejaiban akan datang kalau keyakinananya kuat dan landasan pikirannya benar. Semakin kuat ia berdoa. Semakin ia jarang bertemu dengan Amenhotep IV, kekasihnya. Ia hanya bertemu beberapa kali dalam sehari yaitu ketika makan bersama atau ketika ia sedang keluar kamar untuk mencari bunga lotus, bunga kesukaannya dan lambang kecantikannya.

“Nefertiti, apakah engkau marah kepadaku? Sehingga engkau selalu berdiam di dalam kamar dan tidak pernah mau menemuiku.” Tanya Amenhotep IV suatu sore hari ketika mereka bertemu di pinggir anak sungai Nil.

Nefertiti menghindari pandangan Amenhotep IV yang tampak selalu memaksa. Ia tahu bahwa, bagaimana pun juga, ia akan tetap bisa berdampingan dengan Amenhotep IV. Tadi malam ia diberi tahu oleh ibu tirinya Ratu Tiye, bahwa ia akan dicalonkan sebagai selir bagi Amenhotep IV. Ia selalu mengatakan kepada dirinya sendiri, bahwa selir lebih baik daripada ia sama sekali tidak berdampingan dengan Amenhotep IV. Ia tidak bisa hidup tanpa Amenhotep IV, seperti halnya ia tidak akan pernah bisa hidup tanpa dewa Aten. Ia tidak menjawab pertanyaan Amenhotep IV. Ia memilih pergi menghindar. Hatinya sepertinya hancur berkeping-keping. Panggilan Amenhotep IV tidak dihiraukan lagi.

<><><><><><><><><><>

Suatu hari, ketika Amenhotep IV sudah memegang Waas dan menikah dengan adiknya Sitamun, hati Nefertiti semakin hancur. Ingin rasanya ia menceburkan dirinya ke dalam sungai Nil, berharap ular raksasa sebagai lambang kegelapan yaitu Apeb melahapnya. Menguasainya. Dan jiwa jahatnya memasukinya untuk membalas dendam atas sakit hatinya, karena Amenhotep IV memungkiri janjinya. Namun dewa Horus dengan lambang burung elang yang dijadikan lambang di mahkotanya masih membukakan jalan untuknya. Menjernihkan otaknya dan memberinya ide baru.

Beberapa bulan kemudian, Sitamun meninggal setelah menderita sakit cukup lama. Kematian Sitamun memberinya lowongan untuk mendapatkan Amenhotep IV seutuhnya. Dan benar saja, bahwa permaisuri yang dipilih oleh Amenhotep IV sendiri adalah dirinya. Amenhotep IV telah menjadi Pharaoh dan siapa pun tidak berhak memaksanya, menyruhnya atau menggertaknya. Ayahnya Amenhotep III pun tidak berhak memaksanya untuk menikah kepada siapapun, bahkan ibunya Tiye sekalipun, apalagi para rakyatnya.

Nefertiti sekarang menjadi perempuan pertama di Mesir. Kekuasannya hanya terbatas atas suaminya, bahkan kadang-kadang suaminya menurut kepadanya. Ambisi Nefertiti semakin melambung. Suaminya Pharaoh Amenhotep IV telah mengubah namanya menjadi Akhenaten (Jiwa dari Aten) dan nama Ratu Nefertiti menjadi Neferneferuaten-Nefertiti (Dewa Aten Memancarkan Sinarnya, kerana Pesona Telah Datang). Agama baru telah dihidupkan. Rakyat Mesir tidak lagi beragama politeis akan tetapi menjadi agama monoteis. Mereka mengikuti cara sembahyang Akhenaten ketika menyembah Dewa Matahari Aten, satu-satunya dewa yang disembah dan dipercaya. Kalau Akhenaten hanya memperbaiki dalam hal cara ibadah kepada Dewa Aten, berbeda dengan Nefertiti yang membangun dan memajukan hal-hal lainnya. Ia yang mampu meredam gejolak pemberontakan para pendeta Amon yang kehilangan pekerjaannya akibat pergantian agama oleh Akhnaten. Bahkan setelah suaminya Akhenaten meninggal, nanti ia akan bertahta sendirian dan merajai Mesir dengan nama lain yaitu Smenkhkare. Di waktu akhir pemerintahan Akhnaten pun, nama Nefertiti sudah tidak lagi terdengar, hanya nama Smenkhkare yang menjadi mashur dan banyak dikenal orang.

Setelah suaminya Pharaoh Akhnaten meninggal, ia mengubah namanya dan memindahkan kota pemerintahannya dari Amarna ke Memphis. Dialah Nefertiti yang agung dan Pesona Telah Datang yang pernah memerintah dengan Akhnaten sebelum masa pemerintahan putra tirinya Tutankhamen. Ia menghilang setelah berkuasa bersama suaminya Akhnaten dan mengubah kultur Mesir menjadi baru. Perkawinan Nefertiti dengan Pharaoh Akhnaten hanya dikaruniai enam anak perempuan, yaitu Meritaten, Meketaten, Ankhesenepaten (Berubah Ankhesenamun), Neferneferuaten, Neferneferure, Setepenre. Ia pergi bersama angin dan hilang ditelan ombak Nil. Jiwanya terbang dan bersinar seperti Dewa Matahari Aten yang diyakininya. Menyinari bangsanya. Mengontrol kekuasaannya di Dunia Kematian. Nefertiti dan Akhnaten tetap hidup dengan wajah baru yang bersinar-sinar terang.

NB; Banyak teori mengenai Nefertiti. Identias asli Nefertiti juga masih dalam perdebatan para Arkeolog di dunia. Apakah ia asli orang Mesir atau orang Mittani (Iran) yang didatangkan untuk perjodohan. Siapa nama orang tuanya, apakah ia putra dari Ay yang mempunyai istri bergelar ‘Ibu Susuan Nefertiti’. Atau konspirasi lainnya. Hingga sekarang, Nefertiti menjadi bacaan paling unik dan mengesankan. Jasadnya tidak ditemukan seperti jasad-jasad para Pharaoh lainnya. Ia terkenal dengan patung kepalanya yang ada di Musium Berlin, Jerman.


Baca Selanjutnya Bro..

Monday, February 25, 2008

Film Ayat Ayat Cinta, between realism and shortcut to money Bg 1

Film Ayat Ayat Cinta;
Between realism and shortcut to money Bg 1

Oleh; Elfenan


Novel Ayat Ayat Cinta atau biasa disingkat dengan AAC karya Kang Abik, siapa yang tidak tahu?. Bahkan setiap orang yang ditanya akan mengacungi jempol atau bahkan memberikan keempat jempol kedua kaki dan tangannya sekaligus. Bahkan seandainya saya ditanya tentang AAC, mungkin saya akan menambah dengan sepuluh jempol lagi dengan meminjam jempol kaki dan tangan orang lain. Itulah fenomena dari sebuah novel yang telah berhasil mendobrak sejarah kesusasteraan Indonesia akhir-akhir ini. Entah berap puluh kali novel itu dicetak ulang dan entah berapa ratus ribu eksemplar yang telah dicetaknya?.





Pada tanggal 24 Pebruari 2008 pagi, saya sempat mengobrol lewat sms dengan ‘kekasih’. Yang saya obrolkan bukan soal apa atau siapa, namun tentang film AAC yang kabarnya akan segera ditayang lebarkan di Indonesia (bahkan sudah ditayangkan). Sebelumnya saya sempat berpikir bahwa film ini tidak akan bagus, karena pembuatannya tidak benar-benar pada tempatnya. Pada tahun 2007 kru yang dipimpin oleh sutradara Hanung Bramantyo tiba di Mesir, kegiatan pra-produksi film ini ujung-jungnya kandas di tengah jalan. Padahal semuanya sudah dipersiapkan, dari mulai riset tempat sampai mau mulai mengkontrak artis Mesir. Lebih jauh lagi, aktor Fedi Nuril pun sempat bertempat tinggal lama di Mesir, bahkan dia belajar untuk mempelajari kehidupan mahasiswa Indonesia di Mesir.

Namun, semuanya gagal, karena ada sedikit masalah antara pihak perfileman Indonesia dengan Mesir. Hanung mengatakan bahwa kegagalan itu karena adanya miskomunikasi antara kedua pihak. Dalam wawancara Gatra dia mengatakan, “Maksudnya kecurangan: kami belum kontrak, belum ada kesepakatan, tapi mereka sudah men-support kami. Ngajak kami makan, hunting lokasi, akhirnya di-charge mahal,”. Lalu masalah mulai berbelit ketika pihak Mesir meminta uang yang banyak kepada pihak Indonesia. Ternyata, untuk membuat film di Mesir tidak muda. Setidaknya tidak hanya Hanung saja yang mengalami. Pihak lain, seperti pembuatan film ‘The Librarian’ juga mengalami hal senada. Ujung-ujungnya mereka membuat film dengan latar belakang Mesir, namun tempta suttinya tidak pada tempatnya.

Mungkin karena sudah terlanjur mengekpos ke luar, sehingga proyek film Ayat Ayat Cinta mau tidak mau harus digarap juga, walaupun tidak pada tempatnya. Setidaknya itulah yang mungkin dilakukan. Akhirnya baru pertengahan tahun 2007 terdengar kabar bahwa Hanung mencoba membuat replika setting dengan berleyar di tiga tempat, yaitu Indonesia (Semarang), Malaysia dan terakhir India. Ini tidak heran kalau produsernya masih ada keturunan India, yaitu Punjabi.

Apa yang saya pikirnya sebelumnya ternyata benar, bahwa berurusan dengan Mesir tidak lah mudah. Apalagi novel itu ada ‘bau kritik pedas untuk Mesir’. Belum lagi, Mesir memang mata duitan dan menganggap negaranya adalah negara yang paling maju, beradab, tinggi, aman dan seterusnya. ‘Kesombongan’ Mesir seperti itu tidaklah aneh bagi mahasiswa Indonesia di Mesir.

Akhirnya proyek film Ayat Ayat Cinta jadi juga setelah emngarungi tiga negara. Ketika saya melihat triler film ini, saya sempat tertawa terbahak-bahak dengan teman-teman. Bahkan ada teman-teman yang berkata dengan nada sini. “Wah, orang-orang ini memang edan. Hanya dengan biaya sedikit, mereka ingin mengeruk keuntungan sangat banyak.” Perkataannya ini membuatku agak aneh dan tidak paham. Akhirnya ia menjelaskan dengan detail. Kata teman saya itu, biaya membuat film di Mesir tidak murah, dari perizinan sampai hanting lokasi dan peminjaman alat-alat perfileman sangat mahal. Kata dia, para sutradara dan produser Indonesia masih belum siap dengan keadaan ini. Lalu ia berseloroh begini, “ Bagaimana perfileman Indonesia maju, kalau mereka tidak berani membuat film yang bagus, walaupun dengan biaya yang sangat mahal.”

Ujung-ujungnya trailer Ayat Ayat Cinta menjadi bahan tertawaan, apalagi banyak tempat yang diperlihatkan di film itu yang salah atau setidaknya kurang pas dan memuaskan. Saya lihat dengan seksama trailer dan klip Ayat Ayat Cinta, dan ternyata memang terdapat banyak kenyataan yang mengiriskan dna ambigu. Setidaknya ada beebrapa yang kalau dihubungkan dengan kenyataan di Mesir atau di novelnya tidak pas. Seperti tempatnya tidak di Helwan, namun berada di kawasan Nasr City, atau lebih tepatnya di daerah hayl Asyir di daerah Gami’. Alamat Swesri B Hayl Asyir jelas berada di daerag Gami’, Nasr City atau tepatnya berada di apartemen yang pernah saya tinggali. Lalu keadaan Nil, memang kawasan sungai Nil yang ada di film itu bukan aslinya, karena suttingya berada di Sungai Gangga, India.

Apa yang dikatakan Maria tentang Nil. “Kalau tidak ada Nil, pasti tidak ada Mesir” kata Maria kepada Fahri. Atau ucapan senada pernah diucapkan seorang sejarawan dan filosof Hirodotus ratusan tahun yang lalu, bahwa Mesir adalah hadiah dari sungai Nil. Kalau keadaan sungai Nil di film AAC terlihat sangat sepi dan tidak didapati perumahan, padahal hakikat dan kenyataannya sungai Nil selalu ramai dan dipinggirnya dipenuhi bangunan pencakar langit. Kawasan Nil atau akrap disapa Kornish Nil tidka pernah lenggang dan sepi, jadi bagaimana dengan film ini. Apakah hal itu tidak lucu dan akan dibuat lelucon dan bahan tertawaan orang.

Ditambah lagi tentang sebuah tanda salib yang berada di tangan Maria. Tanda salib memang akrap terlihat menempel ditangan kiri setiap penduduk Mesir yang beragama Kristen atau Koptik, namun letaknya salah. Kalau kita pernah ke Mesir, maka tidak akan pernah dijumpai ada tanda salib yang menempel di tangan kiri seperti itu, yang ada hanya terletak di luar telapak tangan kiri, atau tepatnya berada di atas ibu jari, itupun ukurannya kecil tidak sebeasar itu.

Lalu beranjak dari tato Hena atau Nuba yang terlihat menghiasi tangan Aisha. Kalu dilihat secara detail, maka akan terlihat perbedaan antara benar-benar tato perempuan Nuba dengan tato India, baik dari corak gambarnya atau warna yang dihasilkan. Lalu jendela yang ada di rumah Maria, jendela dengan ornamen seperti itu jarang ditemui di apartemen-apartemen Mesir, kecuali apartemen kuno yang sudah berumuran ratusan tahun. Jendela dengan ornamen seperti itu banyak ditemui di daerah Khan el-Khalili dan el-Khalifa atau di tempat-tempat bersejarah lainnya, namun di derah seperti Nasr City atau lainnya sangat jarang.

Beranjak lebih jauh lagi, cara pengkisahan yang ada di fil Ayat Ayat Cinta ternyata berbeda dari novel aslinya, bahkan ada penambahan yang ambigu dan pengurangan sesuatu yang mestinya lebih penting. Ada kelakar teman lainnya ketika nonton film ini, kata dia, “Film ini membuat image mahasiswa Indonesia akan hancur, bahkan akan menghancurkan reputasi dan pesona asli novelnya.”. Saya sepakat dengan perkataan teman saya itu, bahkan film yang sealiran dengan fil ini, seperti The Da Vinci Code, Imarah Ya’kubiyan (Apartemen Yakub) dan lainnya saja selalu diperfilemkan sama dengan asli novelnya. Sehingga keaslian film itu terjaga dan aura pesona novelnya tidak keganggu dengan munculnya penggambaran lewat audio-visual. Kalau dipikir-pikir memang lucu dan membuat hati jadi geli.

Apa yang saya tulis dahulu ternyata tidak omong kosong dan terbukti bahwa film ini tidak akan membuat tahjub mala menjadi bahan tertawaan orang. Bahkan kemungkinan akan ada sebagian para pengagum novelnya yang tidak puas. Namun apa yang telah dilakukan Hanung dan krunya memang hebat, patut mendapatkan ancungan jempol. Saya hanya berharap semoga suatu saat ada film Ayat Ayat Cinta dengan edisi revisi atau barunya. Diamana filmnya benar-benar sesuai dengan jalan cerita novelnya yang mengagumkan.

Akhirnya, saya berdoa semoga para penonton tidak mempunyai pikiran seperti saya terhadap film ini. Semoga penduduk Indonesia memberikan anugerah sebesar-besarnya terhadap film ini, bukan anugerah pelecehan. Dan selamat menikmati film ini walaupun hakikatnya para penonton ‘dikibulin’.

Khan el-Khalili, 25 Pebruari 2008

Baca Selanjutnya Bro..

Wednesday, February 13, 2008

Pram dan Kegelisahannya


Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), sebuah nama yang masih terngiang-ngiang ‎di gendang telingaku. Masih terbayang senyumnya yang telah merasakan ‎kemenangan atas segala usahanya selama ini. Ya-ya, Pram menjelma menjadi ‎sosok yang menyenangkan bagiku- getaran jiwanya yang kumaksud -. Masih ‎ingat sekali kapan pertama kali nama Pram kudengar, saat ia ditangisi oleh ‎setiap anak bangsa. Ketika itu banyak teman-teman menyebut namanya seperti ‎mengalahkan sebuah dzikir kepada Tuhannya sendiri. Apakah saat itu Pram ‎telah sedemikian terkenal sehingga Tuhan pun bisa dilupakan? Tentunya tidak! ‎Beberapa hari ini, setelah aku selesai membaca serial novel sejarah Gajah Mada ‎milik Langkit Kresna Hariadi, aku berestafet membaca karya Pram. Bergetar dan ‎berdegup kenjang jantungku ketika baru menginjak lima halaman pertama. ‎Salah satu Roman tetraloginya yang berjudul BUMI MANUSIA atau This Earth ‎of Mankind telah habis kulalap. Kecepatan membacaku terhadap roman ini tidak ‎secepat ketika membaca novel-novel yang lain, karena aku banyak menemukan ‎perkataan Pram bah seperti intan. Berkilau indah dan menarik perhatian. Dan ‎sangat ambigu jika dipikirkan dengan terperinci.‎





Gaya berceritanya cukup mengalir dan perkataannya hampir tidak ada ‎kemandekan. Ini adalah karya yang unik sekaligus jarang. Aku menemukan ‎keunikan pada karya Pram yang satu ini dan (Apakah semua karyanya sama ‎seperti Bumi Manusia, akupun belum tahu). Karyanya ini ternyata pernah ‎dioralkan sebelum ditulis pada tahun 1973 dan ditulis dalam bentuk cerita ‎Roman pada tahun 1975. Ini adalah dasar yang unik yang pernah kubaca dan ‎kuketahui selama ini.‎

Melihat tulisannya yang tampak menggebu-gebu dan berkobar-kobar, tentu ‎tidak akan jauh dari sebuah psikitis sang penulis. Mungkin, Pram adalah ‎manusia yang super, bukan saja ia seorang penulis ulung, namun lebih jauh lagi ‎ia seorang Psikolog atau psikater hebat yang pernah kuketahui. Seorang penulis ‎memang harus mampu mempengaruhi pembacanya, sehingga bagi seorang ‎penulis sangat dibutuhkan sebuah ilmu psikolog. Ilmu ini akan dapat ‎menunjang terjadinya pengaruh terhadap pembaca.‎

Pram telah mampu lebih jauh dari pada hanya seorang penulis kawakan dan ‎psikater, ia juga seorang yang selalu mengedepankan ideologi keadilan, ‎kejujuran, kebersihan hati dan pemberontakan atas ketidak-benaran segala apa ‎yang ada di bumi. Setidaknya roman BUMI MANUSIA telah memuat berbagai ‎macam sindiran terhadap politik kolonial Belanda zaman dahulu (Dan apakah ‎hanya kolonial Belanda saja yang menjadi sasaran kepedasannya. Ini tentu ‎tidak!). Roman ini tidak hanya membelejeti sebuah kesalahan konsep kolonial ‎Belanda, namun juga dapat dijadikan tamparan pemerintahan saat. ‎

Kisah cinta yang dipaparkan cukup membuat bulu ronaku merinding. Bahkan ‎aku begidik ketika sampai pada babak pertentangan dan akhir dari buku ini. ‎Aku hampir menjerit ketika secara beruntun Pram menuturkan keadaan yang ‎serba tidak pasti dan permasalahan. Memang itulah sebuah permasalahan yang ‎hingga saat ini belum juga tuntas. Dari perbudakan, perebutan kekuasaan, ‎kesemena-menaan, kekuasaan otoriter, poligami, cinta, penghianatan dan ‎kesetiaan. Tentang kesamaan hak tanpa dipengaruhi oleh warna kulit, agama, ‎ras, dan lain-lain adalah bumbu yang selalu membuat batuk setiap orang. Inilah ‎Roman yang membuat hatiku terguncang dahsyat ketika membacanya.‎

Kalau dilihat dari segi tulisan, apa yang kukatakan di awal tulisan sebenarnya ‎tidak sebuah pujian omong kosong belaka. Tulisannya yang tampak tegas dan ‎terasa menggebu-gebu sangat mewakili apa itu sebuah roman pemberontakan. ‎Ya-ya, pemberontakan tentang ketidak-benaran sebuah konsep umum dan ‎konsep perbedaan atau perbedaan tatanan kehidupan di dalam sebuah ‎kehidupan. Kalau tulisan Pram bisa disandarkan dengan ilmu BALAGHA di ‎Arab, maka tulisan Pram sudah mewakili apa yang dinamakan IJAZ dan I’NAB. ‎Apa itu Ijaz? Ijaz adalah sebuah tulisan yang sedikit namun sarat makna yang ‎banyak dan luas. Sedangkan I’nab adalah memperpanjang sebuah tulisan ‎berdasarkan makna yang dibutuhkan. Tulisan Pram yang tampak ringkas, padat, ‎dan pendek itu telah mewakili makna yang luas. Ambigu yang dimainkan oleh ‎Pram dalam tulisannya patut dicermati dan dinikmati. Kalau mengingat tulisan ‎Pram yang ambigu, setidaknya aku mengingat sosok novelis tua asal Mesir. ‎Naguib Mahfouz (1911-2006) mungkin bisa dikatakan sebagai sosok yang tidak ‎kalah dengan Pram. ‎

Novelis Naguib Mahfouz mendapatkan nobel sastra Swedia lantaran tulisannya ‎yang ambigu, seperti halnya Pram yang mendapatkan penghargaan besar ‎melalui menjadi nominator nobel sastra Swedia. Ada satu perkataannya yang ‎hingga saat ini masih mendengung di telinga, yaitu ketika Pram menulis sebuah ‎perkataan yang tidak kalah indahnya dengan intan dan berlian. Pram berkata; ‎TANPA SEMANGAT, TAK AKAN ADA API. Perkataannya ini sangat ringkas ‎dan padat, namun penuh makna yang panjang dan luas sekali. Setidaknya ‎perkataannya itu telah mewakili sebuah ideologi yang mutlak telah dimiliki oleh ‎seorang Pram. ‎

Begitu pun dengan tulisannya yang berbunyi; Hidup bisa memberikan segala ‎pada barang siapa tahu dan pandai menerima. Tulisannya yang satu ini bisa ‎dikatan akan menjadi sebuah catatan emas bagiku. Lalu datang yang lain; ‎Seseorang harus adil sudah sejak dalam pikiran, jangan ikut-ikutan jadi hakim ‎tentang perkara yang tidak diketahui benar-tidaknya. Atau; Seorang terpelajar ‎harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.‎

Mungkin, yang mendasari lahirnya Roman BUMI MANUSIA adalah ketidak-‎puasannya tentang ketidak-adilan Orde Baru saat itu. Cerita yang dikisahkan ‎oleh Pram, kalau bisa ditarik benang merahnya, maka akan bisa mewakili cerita ‎ketidak-enakan Pram ketika menjadi tahanan atas ketidak-salahannya. Menjadi ‎tahanan yang tidak mempunyai kebebasan ternyata tidak enak dan menyakitkan. ‎Bahkan aku yakin, bahwa Pram tidak akan pernah memaafkan atas ketidak-‎adilan ini. Bahkan aku sendiri tidak rela atas semua itu terjadi. Ketika membaca ‎Roman ini, aku bisa merasakan dengan pasti bagaimana rasanya KETIDAK-‎BEBASAN, padahal raga dan tubuh ini milik diri sendiri, bukan milik orang lain. ‎Setidaknya Pram mengajarkan kepadaku, bahwa setiap manusia memiliki hak ‎yang sama dan kebebasan yang sama, jangan sok menjadi TUHAN yang otoriter. ‎Bahkan Tuhan pun bukan sosok yang otoriter dalam segala hal, Tuhan adalah ‎yang memberi pilihan pada setiap makhluknya. Dan bagaimana ada manusia ‎yang berani sesombong itu mencoba bersaing dengan Tuhan sendiri?.‎

Roman yang mengikuti madzab romantisme ini membuatku banyak ‎mengumpat, lantaran endingnya yang menyakitkan. Setidaknya tokoh Minke ‎‎(baca; Mingke) dengan Annelies membuat hati ini ketar-ketir sedak dini. Pram ‎juga dapat menggambarkan setiap tokoh dalam Roman ini sedemikian jelas, dari ‎Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh, tuan Mellema, dua Robert dan lain-lainnya.‎

Akhir ceritanya cukup menyayat hati, tidak kalah dengan cerita Layla dan ‎Majnun, namun lebih menyyat hati lagi. Kalau Layla dan Majnun bisa bertemu ‎lagi walaupun dalam kematian, namun cerita ini diakhiri dengan perpisahan ‎antara Minke dan Annelies. Sungguh menyakitkan.‎

Melihat ini, aku bisa melihat bahwa sosok Pram selalu gelisah, baik tentang ‎masalah kehidupannya sendiri, atau ketika dia melihat kehidupan orang lain. ‎Kegelisahannya itu ditulis dan akhirnya bisa dinikmati oleh orang lain. Tidak ‎nyana, bahwa sebuah kegelisahan yang berkobar-kobar akhirnya bisa ‎mempengaruhi orang lain hingga begitu rupa. Ah, aku berharap kegelisahan itu ‎akan mendapatkan obatnya.‎

Dan akhirnya aku bisa berbangga bahwa aku pernah mengenal seorang Pram. ‎Entah apakah di tanah air sudah bisa melahirkan Pram ke dua. Dan apakah ‎suatu saat akan ada sastrawan tanah air yang bisa menembus nobel sastra ‎Swedia setelah Pram?. Semoga saja tingkat imajinasi di tanah air meninggat ‎setelah ditinggal Pram.‎

Bathniyyah, tanggal 12 Pebruari 2007 ‎



Baca Selanjutnya Bro..

Saturday, February 02, 2008

Dongeng Mahapatih Gajah Mada; Pak Langit Kresna Hariadi



Hampir saya tidak mengenal apa itu lelah, penat, capek, tidur, ngantuk, makan, bahkan buang hajat sekalipun. Adalah tiga seria novel Gajahmada milik Langit Kresna Hariadi (LKH) habis saya santap mulai dari seri pertamanya; Gajahmada, lalu seri ke dua Gajahmada; Bergelut dalam Kemelut TAHTA dan ANGKARA, lalu seri ke tiga-nya Gajahmada; Hamukti Palapa, selama lima hari berturut-turut tidak ada hentinya. Kalau bisa digambarkan dalam bentuk makanan, tentu tiga novel sejarah yang berlatar belakang tentang MAHAPATIH AMANGKUBUMI GAJAH MADA itu bisa dikatakan makanan yang sangat lezat, tidak hanya menjadikan perut yang tadinya lapar menjadi kenyang, namun menjadikan tubuh sehat, segar, dan menambah gizi yang banyak, bahkan menjadikan otak menjadi sedemikian segar.





Buku pertamanya dengan judul, Gajahmada; menceritakan tentang kisah pergolakan pada zaman Majapahit atau Wiwatika berlangsung. Pada saat itu terjadi makar atau pemberontakan yang dilakukan oleh Rakrian Kuti dan teman-temannya yang ingin berangan-angan menjadi raja Majapahit. Pemberontakan yang akan dilakukan oleh Ra Kuti dengan teman-temannya itu berhasil diendus oleh bekel Gajahmada. Pimpinan pasukan prajurit istimewa Bhayangkara itu berhasil menyelamatkan Raja Majapahit Prabu Sri Jayanegara dari percobaan pembunuhan dengan di bawa ke Bedander (LKH menyebutnya Bedadu yang akhirnya diluruskan oleh para sejarawan). Keberhasilan Gajahmada tidak hanya berhasil menyelamatkan Prabu Sri Jayanegara atau Kalagemet dari pembunuhan, namun berhasil merebut kembali tahta kerajaan dan berhasil membungkam pemberontakan Ra Kuti untuk selamanya.

Pada buku ke-dua dengan judul Gajahmada Bergelut dalam Kemelut TAHTA dan ANGKARA, menerangkan tentang kisah meninggalnya Prabu Sri Jayanegara diracun oleh Ra Tanca. Kematian Prabu Sri Jayanegara ini diikuti oleh beberapa misteri siapa yang berhak menempati damar kencana atau kursi kerajaan. Sekali lagi Gajahmada ternyata mempunyai andil yang tdak sedikit dalam perubahan kerajaan Majapahit, dia dengan kecerdasan dan penglihatan masa depannya memberikan pendapatnya kepada Ibu Suri Gayatri untuk memilih dua adik mendang Prabu Sri Jayanegara, yaitu putri Sri Gitarja dan putri Dyah Wiyat. Dia juga berhasil memadamkan beberapa pemberontakan kecil dan misteri-misteri pembunuhan yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk mengail ikan di tempat yang keruh. Keberhasilannya kali ini membuat pangkatnya diangkat lagi dan bahkan ditarik dari Daha ke istana kembali.

Pada buku ke-tiga dnegan judul Gajahmada; Hamukti Palapa; menerangkan tentang kisah sepak terjang Mahapatih Amangkubumi Gajahmada lebih hebta lagi. Pada kisah ini Gajahmada dibantu oleh pasukan Bhayangkara, Jalapati dan Sapu Bayu. Dan lebih-lebih atas bantuan temannya Aditiawarman putera Raja Melayu dan termasuk sepupu dari Prabu Sri Jayanegara. Pemberontakan Keta dan Sadeng dapat diselesaikan oleh Gajahmada dengan harga yang snagat murah, karena memang itulah kejeniusan berperang Gajahmada. Bahkan lebih jauh lagi dua pusaka Cihna gringsing lobheng lewih laka dan songsong Udan Riwis yang semula hilang berhasil didapatkan kembali. Dari keberhasilan demi keberhasilan itu, Gajahmada yang semula hanya berpangkat bekel dinaikkan menjadi Mahapatih Amangkubumi Mahapatih Amangkubumi. Di sini diterangkan pula bagaimana Mahapatih Gajahmada nebgucapkan Sumpah Palapa-nya.

Gaya bahasa yang dipakai oleh pak LKH sangat lugas, cair, dan tidak menyesatkan. Membaca tulisannya seraya saya seperti menontot film dengan adegan-adegannya yang terlihat jelas dipelupuk mata, baik adegan yang paling kecil pun. Setiap kata perkata dirangkai seperti mantra yang dapat mengantar pembacanya masuk ke sebuah dunia yang dihuni oleh pusaran badai, badai yang dapat menyeret pembacanya untuk semakin penasaran dan hanyut di sebuah dunia ratusan tahun silam.

Bagaimana tidak? Kalau setiap perkataan (tulisan) yang disajikan oleh LKH selalu menjajikan sebuah kegairahan untuk segera dapat menyelesaikan setiap detail rancangannya. Kejelasan dan sihir tulisannya membuat pembaca semakin bergairah untuk segera me-blejeti ¬setiap pakaian intrik di dalamnya, bahkan kejelasan tulisannya membuat saya seperti hadir dan melihat dengan dua mata kepala kisah di masa silam itu.

Sempat berkali-kali saya dibuat heboh dengan tulisannya, hingga saya berkali-kali harus bergumam sendiri hampir tidak percaya apa yang saya baca. “Luar biasa tulisannya, seperti sihir. Entah bagaimana ada seorang penulis mampu menulis sampai sedetail ini?!!!”, gumamku sendiri dan menekuri keganjilan tulisan LKH.

Terus terang, belum pernah saya membaca tulisan guru LKH, yaitu SH MINTARDJA. Apakah gaya bahasa yang dipakai cukup memukai seperti LKH. Mungkin butuh waktu untuk membaca karya SH Mintardja dan melihat koherensi antara keduanya. Karya-karya SH Mintardja yang pernah saya kenal adalah Nagasasra dan Sabuk Inten, Suramnya Bayang-Bayang, Tanah Warisan dan Api di Bukit Menoreh Menoreh yang disebut sebagai novel the never ending story, lantaran ditinggal meninggal sebelum selsai jalan ceritanya.

Setidaknya LKH yang sedang berselancar dalam dunia imajinasi dengan mengambil latar belakang sejarah, harus mendalami litertur lebih banyak, atau berkunjung langsung ke lokasi, atau bertanya pada sejarawan Indonesia. Setelah buku pertamanya dihujat habis-habisan oleh para pengkaji dan ahli sejarawan di tanah air.

Tulisan yang memukai itu sampai saat ini belum bernjak dari kehangatan ingatan saya. Bayangan adegan bagaimana Mahapatih Gajahmada memberi tugas kepada anak buahnya atau bagaimana menyebarkan telik sandi, membuat saya teringat-ingat terus. Setelah membaca tiga bukunya dan entah apakah suatu saat nanti saya bisa membaca sambungannya lagi apa tidak. Paling tidak saya berharap suatu saat nanti saya bisa menuntaskan segala penasaran saya dengan membaca sambungannya.

Banyak manfaat yang bisa didapatkan lewat sebuah novel sejarah atau kalau saya bisa menyebut dengan novel realis-history (Novel fakta yang berlatar-belakang sejarah). Seperti saya bisa memahami sebuah alur sejarah di masa Majapahit tanpa lelah dan bingung. Atau boleh dikatakan membaca novel tanpa diketahui dan dirasakan pembacanya mempelajari juga sejarah yang semstinya memusingkan kepala. Dalam bukunya yang ke-dua, LKH tidak main-main lagi dalam penulisannya, karena berbagai data telah dilengkapinya. Bahkan kalau ada sebuah nama yang hanya karya imajinasinya, LKH akan langsung mengatakan bahwa itu nama buatannya sendiri dan tidak ada dalam sejarah. Begitu hati-hati LKH dalam memungut perjengkal tulisannya, hiingga membuat saya harus menggeleng-ngeleng kepala karena tahjub. Semua itu tidak dia dapatkan tanpa memeras keringat, karena sebelumnya ia pernah mengalami kesalahan dan menunai protes oleh kalangan banyak.

Semua itu menunjukkan bahhwa, ternyata sejarawan Indonesia tidak diam saja ketika ada sebuah kesalahan sejarah dilakukan oleh sebagian orang. Dan ini juga menjadi dalih bahwa geliat keilmuan di Indonesia menjadi semakin maju. Bahkan kritik sastra mulai berkembang semarak.

Setidaknya dari pengamatan saya terhadap sebuah novel, baik Indonesia atau manca-negara, saya menemukan sebuah kenyataan, bahwa LKH mempunyai gaya penyampaian dan karakteristik tersendiri di dalam novelnya ini. Entah apa gaya penulisan novelnya ini termasuk dari hasil belajarnya kepada SH Mntardja apa tidak, saya masih belum bisa menjawab. Gaya penyampaian itu menjadi kian terperinci, ketika sebuah aspek cerita dalam cerita diceritakan atau dikisahkan dalam bentuk nyata kembali. Seperti halnya yang dilakukannya ketika Ibu Suri Gayatri dan Kiai Maling Wiragati bercerita tentang masa lalunya, ternyata penulis tidak mengkisahkan dengan hanya melalui perkataan langsung Ibu Suri gayatri dan Kiai Wiragati, namun penulis langsung menceritakannya dan ini bisa dinamakan cerita di dalam cerita, yaitu ketika menceritakan sesuatu kisah ketika tokoh yang dikisahkan bercerita juga. Ciri seperti ini baru saya temukan pada diri LKH dan mungkin inilah gaya disiplinnya dalam menulis.

Kalau boleh menulis komentar lebih jauh, LKH dalam mengkisahkan ceritanya bisa disandingkan dengan novelis China Gu Long yang agak-agak njelimet dan menegangkan. Setidaknya LKH masih mempunyai kelebihan sedikit, yaitu ia berani atau mungkin mampu menggunakan perahu dan layar atas nama sejarah dalam penyampaian ceritanya, sedangkan Gu Long jarang sekali menyentu aspek sejarah. Lebih jauh lagi, novel sejarahnya yang panjang dan enam buku serinya itu, ternyata sulit disejajarkan dengan novelis-novelis lainnya. Seorang novelis besar Naguib Mahfouz-pun belum tentu akan mampu menulis novel sejarah sampai enam jilit atau serial. Padahal ia termasuk novelis mendunia, dan ternyata seorang LKH mampu berlayar di lautan fiksi dan imajinasi sampai sejauh itu melebihinya. Itu bisa dikatakan sangat luar biasa. Banyak orang mengetahui bahwa novelis Naguib Mahfouz (1911-2006) hanya mampu membuat novel sejarah menjadi trilogi saja. Seperti ‘Abs el-Aqdar, Radubis, dan Kafah Theba.

Kalau bercerita tentang novel sejarah atau sebuah novel berlatar belakang sebuah sejarah. Saya ingat dengan raja dirajanya CERSIL (Cerita Silat) Asmaraman Kho Ping Hoo yang mampu menulis cerita silat bersambung hingga sampai 17 seri. Ceritanya yang berlatar belakang sejarah dinasti China dari zaman lima wangsa (907- 960 )- dinasti Manchu atau Qing (1644-1911). Novel yang begitu panjang dan entah berapa puluh ribu halaman itu pun mempunyai kejeniusan sendiri dan akan menjadi catatan sendiri bagi saya. Bebeda dengan LKH, seorang Asmaraman Kho Ping Hoo yang buta huruf China mampu menulis dengan gaya yang berbeda dari novelis lainnya, karena yang disuguhkannya ternyata tidak hanya fantastiknya, romantisnya, khayalnya, sejarahnya, bahkan lebih dari itu. Di sana Asmaraman Kho Ping Hoo mampu menjelmakan tulisannya sebagai bahan kajian filsafat yang akan menjadikan pembacanya menjadi orang baru dengan pemandangan hidup yang lebih baru. Kalau Asmarman Kho Ping Hoo mampu menghadirkan sebuah perenungan berupah perkataan filsafat terhadap pandangan, hidup, politik, negara, budaya, agama, percintaan sampai pada alam bawah sadar manusia dan lebih-lebih kelebihannya dalam menyeret pembacanya ke alam bawah sadar. Itulah LKH yang saya kira tidak kalah jeniusnya dengan seorang KPH sekalipun.

Dari itu, saya berpendapat bahwa tulisan LKH tidak hanya akan mendapatkan atau bisa dikaji tentang novel sejarahnya, namun sajian gaya kepenulisannya yang berbeda bisa dikatakan akan mampu membawa madzab abru terhadap sebuah novel. Saya tidak akan kaget, jika suatu saat novel LKH akan menjelma sebagai buku sejarah yang wajib dibaca oleh generasinya. Dan saya berpendapat, nama Langit Kresna Hariadi atau LKH bisa disejajarkan dengan para novelis seperti Naguib Mahfouz atau KPH, atau bahkan gurunya seklalipun yaitu SH Mintardja.

Novel tentang Mahapatih Gajahmada yang ditulisnya, jangan hanya dibuat sebagai bahan bacaan yang biasa karena di dalamnya memuat pesan moral yang begitu banyak. Namun yang paling besar daris egala pesan adalah, bahwa negara Indonesia harus tetap bersatu jangan sampai terpecah belah oleh hanya sebuah TAHTA. Kalau kita sedikitboleh melihat Indonesia saat ini, maka kita akan merasakan apa itu sedih dan renyuh, karena gejala perpecahan itu mulai ada di setiap jengkal tanah air Indonesia. Sehingga saya berharap akann lahir seorang GAJAHMADA kedua yang dapat menyatukan kesatuan NUSANTARA.

Dari segi nama para tokoh yang disebutkan LKH bisa dikatakan masuk akal, karena memang pada zaman itu banyak sekali para penduduk Jawa yang memakai nama-nama binatang atau benda-benda, seperti Gajah Enggon, Gagak Bongol, Lembu Peteng, dan lain-lain. Karena pemakaian nama-nama itu memang pernah saya jumpai, bahkan hingga saat ini. Lebih menarik dan mempesona lagi, ternyata LKH tidak keluar dari ke-jawa-annya ketika menulis novelnya, karena dari segi gaya tulisan yang dihadirkan terlihat sekali bahwa ia termasuk orang Jawa yang sangat memahami adat dan kebudayaannya. Itu terlihat dari berbagai tulisannya yang banyak ditemui berbahasa Jawa kuno dan adat-adat seperti ilmu titen-nya dan adat-adat lainnya bisa diceritakan dengan mengalir tanpa kemandekan.
Akhirnya saya harus menyelesaikan komentar pendek saya bahwa LKH adalah novelis sejarah yang namanya bisa disejejarkan dengan novelis besar seperti, Naguib Mahfouz (Mesir), Asmaraman Kho Ping Hoo (Indonesia), Gu Long (China), Jin Yong (China) dengan novel triloginya Rajawali, Alexander Solzhenistsyn dengan novelnya August), Eiji Yoshikawa (dengan novelnya Mushashi), Luo Guanzhong (dengan novelnya Romance of the Three Kingdoms), Pramoedya Ananta Tour dengan Roman Tetralogi Buru-nya (Bumi Manusia, Anak Semua Bnagsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), John Shors dengan novelnya Beneath A Marble Sky, dan masih banyak para novelis lainnya yang mengusung karya fiksi dengan bumbu sejarah atau berlayar sejarah. Akhirnya saya harus mengakui bahwa LKH adalah novelis yang saya kagumi. Semoga saya bisa menjadi penulis bisa menelurkan tulisan-tulisan menggugah seperti dirinya dan saya saat ini juga akan menganggap LKH adalah salah satu guru, walaupun belum pernah bertemu, seperti halnya dirinya yang menganggap SH Mintardja sebagai gurunya.
Dan akhirnya lagi, selamat atas kesuksesan. Semoga LKH masih diberi hati yang suci, sehingga semua tulisannya yang dibaca ribuan bahkan kemungkinan jutaan orang termasuk karya suci darinya.
Sampai saat ini saya penasaran kisah selanjutnya, entah apakah Mahapatih Gajah Mada dapat melaksanakan Hamukti Palapa-nya apa tidak?.

”untuk mewujudkan mimpi
kita semua, aku bersumpah akan menjauhi hamukti wiwaha sebelum
cita-citaku dan cita-cita kita bersama itu terwujud. Aku tidak akan
bersenang-senang dahulu sebagaimana hakikat arti dari hamukti wiwaha.
Aku memilih kebalikannya. Aku akan hamukti palapa sampai kapan pun,
sampai Majapahit yang aku inginkan dan kita inginkan bersama menjadi
kenyataan. Aku akan tetap berprihatin dalam puasa tanpa ujung, yang
itulah hakikat arti dari sumpahku, Sumpah Palapa, semata-mata demi
kebesaran Majapahit.”

”Aku bersumpah untuk tidak akan beristirahat,” Gajah Mada
berteriak. ”Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah
ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali,
Sunda, Palembang, Tumasek, samana ingsun amukti palapa.”

Atau artinya;
Sumpah Palapa tersebut berarti, jika telah berhasil menundukkan
Nusantara, aku baru akan beristirahat. Jika Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasek, telah tunduk, barulah aku akan beristirahat.


Kairo, 01 Pebruari 2008
Oleh; Elfenan



Baca Selanjutnya Bro..