Monday, February 25, 2008

Film Ayat Ayat Cinta, between realism and shortcut to money Bg 1

Film Ayat Ayat Cinta;
Between realism and shortcut to money Bg 1

Oleh; Elfenan


Novel Ayat Ayat Cinta atau biasa disingkat dengan AAC karya Kang Abik, siapa yang tidak tahu?. Bahkan setiap orang yang ditanya akan mengacungi jempol atau bahkan memberikan keempat jempol kedua kaki dan tangannya sekaligus. Bahkan seandainya saya ditanya tentang AAC, mungkin saya akan menambah dengan sepuluh jempol lagi dengan meminjam jempol kaki dan tangan orang lain. Itulah fenomena dari sebuah novel yang telah berhasil mendobrak sejarah kesusasteraan Indonesia akhir-akhir ini. Entah berap puluh kali novel itu dicetak ulang dan entah berapa ratus ribu eksemplar yang telah dicetaknya?.





Pada tanggal 24 Pebruari 2008 pagi, saya sempat mengobrol lewat sms dengan ‘kekasih’. Yang saya obrolkan bukan soal apa atau siapa, namun tentang film AAC yang kabarnya akan segera ditayang lebarkan di Indonesia (bahkan sudah ditayangkan). Sebelumnya saya sempat berpikir bahwa film ini tidak akan bagus, karena pembuatannya tidak benar-benar pada tempatnya. Pada tahun 2007 kru yang dipimpin oleh sutradara Hanung Bramantyo tiba di Mesir, kegiatan pra-produksi film ini ujung-jungnya kandas di tengah jalan. Padahal semuanya sudah dipersiapkan, dari mulai riset tempat sampai mau mulai mengkontrak artis Mesir. Lebih jauh lagi, aktor Fedi Nuril pun sempat bertempat tinggal lama di Mesir, bahkan dia belajar untuk mempelajari kehidupan mahasiswa Indonesia di Mesir.

Namun, semuanya gagal, karena ada sedikit masalah antara pihak perfileman Indonesia dengan Mesir. Hanung mengatakan bahwa kegagalan itu karena adanya miskomunikasi antara kedua pihak. Dalam wawancara Gatra dia mengatakan, “Maksudnya kecurangan: kami belum kontrak, belum ada kesepakatan, tapi mereka sudah men-support kami. Ngajak kami makan, hunting lokasi, akhirnya di-charge mahal,”. Lalu masalah mulai berbelit ketika pihak Mesir meminta uang yang banyak kepada pihak Indonesia. Ternyata, untuk membuat film di Mesir tidak muda. Setidaknya tidak hanya Hanung saja yang mengalami. Pihak lain, seperti pembuatan film ‘The Librarian’ juga mengalami hal senada. Ujung-ujungnya mereka membuat film dengan latar belakang Mesir, namun tempta suttinya tidak pada tempatnya.

Mungkin karena sudah terlanjur mengekpos ke luar, sehingga proyek film Ayat Ayat Cinta mau tidak mau harus digarap juga, walaupun tidak pada tempatnya. Setidaknya itulah yang mungkin dilakukan. Akhirnya baru pertengahan tahun 2007 terdengar kabar bahwa Hanung mencoba membuat replika setting dengan berleyar di tiga tempat, yaitu Indonesia (Semarang), Malaysia dan terakhir India. Ini tidak heran kalau produsernya masih ada keturunan India, yaitu Punjabi.

Apa yang saya pikirnya sebelumnya ternyata benar, bahwa berurusan dengan Mesir tidak lah mudah. Apalagi novel itu ada ‘bau kritik pedas untuk Mesir’. Belum lagi, Mesir memang mata duitan dan menganggap negaranya adalah negara yang paling maju, beradab, tinggi, aman dan seterusnya. ‘Kesombongan’ Mesir seperti itu tidaklah aneh bagi mahasiswa Indonesia di Mesir.

Akhirnya proyek film Ayat Ayat Cinta jadi juga setelah emngarungi tiga negara. Ketika saya melihat triler film ini, saya sempat tertawa terbahak-bahak dengan teman-teman. Bahkan ada teman-teman yang berkata dengan nada sini. “Wah, orang-orang ini memang edan. Hanya dengan biaya sedikit, mereka ingin mengeruk keuntungan sangat banyak.” Perkataannya ini membuatku agak aneh dan tidak paham. Akhirnya ia menjelaskan dengan detail. Kata teman saya itu, biaya membuat film di Mesir tidak murah, dari perizinan sampai hanting lokasi dan peminjaman alat-alat perfileman sangat mahal. Kata dia, para sutradara dan produser Indonesia masih belum siap dengan keadaan ini. Lalu ia berseloroh begini, “ Bagaimana perfileman Indonesia maju, kalau mereka tidak berani membuat film yang bagus, walaupun dengan biaya yang sangat mahal.”

Ujung-ujungnya trailer Ayat Ayat Cinta menjadi bahan tertawaan, apalagi banyak tempat yang diperlihatkan di film itu yang salah atau setidaknya kurang pas dan memuaskan. Saya lihat dengan seksama trailer dan klip Ayat Ayat Cinta, dan ternyata memang terdapat banyak kenyataan yang mengiriskan dna ambigu. Setidaknya ada beebrapa yang kalau dihubungkan dengan kenyataan di Mesir atau di novelnya tidak pas. Seperti tempatnya tidak di Helwan, namun berada di kawasan Nasr City, atau lebih tepatnya di daerah hayl Asyir di daerah Gami’. Alamat Swesri B Hayl Asyir jelas berada di daerag Gami’, Nasr City atau tepatnya berada di apartemen yang pernah saya tinggali. Lalu keadaan Nil, memang kawasan sungai Nil yang ada di film itu bukan aslinya, karena suttingya berada di Sungai Gangga, India.

Apa yang dikatakan Maria tentang Nil. “Kalau tidak ada Nil, pasti tidak ada Mesir” kata Maria kepada Fahri. Atau ucapan senada pernah diucapkan seorang sejarawan dan filosof Hirodotus ratusan tahun yang lalu, bahwa Mesir adalah hadiah dari sungai Nil. Kalau keadaan sungai Nil di film AAC terlihat sangat sepi dan tidak didapati perumahan, padahal hakikat dan kenyataannya sungai Nil selalu ramai dan dipinggirnya dipenuhi bangunan pencakar langit. Kawasan Nil atau akrap disapa Kornish Nil tidka pernah lenggang dan sepi, jadi bagaimana dengan film ini. Apakah hal itu tidak lucu dan akan dibuat lelucon dan bahan tertawaan orang.

Ditambah lagi tentang sebuah tanda salib yang berada di tangan Maria. Tanda salib memang akrap terlihat menempel ditangan kiri setiap penduduk Mesir yang beragama Kristen atau Koptik, namun letaknya salah. Kalau kita pernah ke Mesir, maka tidak akan pernah dijumpai ada tanda salib yang menempel di tangan kiri seperti itu, yang ada hanya terletak di luar telapak tangan kiri, atau tepatnya berada di atas ibu jari, itupun ukurannya kecil tidak sebeasar itu.

Lalu beranjak dari tato Hena atau Nuba yang terlihat menghiasi tangan Aisha. Kalu dilihat secara detail, maka akan terlihat perbedaan antara benar-benar tato perempuan Nuba dengan tato India, baik dari corak gambarnya atau warna yang dihasilkan. Lalu jendela yang ada di rumah Maria, jendela dengan ornamen seperti itu jarang ditemui di apartemen-apartemen Mesir, kecuali apartemen kuno yang sudah berumuran ratusan tahun. Jendela dengan ornamen seperti itu banyak ditemui di daerah Khan el-Khalili dan el-Khalifa atau di tempat-tempat bersejarah lainnya, namun di derah seperti Nasr City atau lainnya sangat jarang.

Beranjak lebih jauh lagi, cara pengkisahan yang ada di fil Ayat Ayat Cinta ternyata berbeda dari novel aslinya, bahkan ada penambahan yang ambigu dan pengurangan sesuatu yang mestinya lebih penting. Ada kelakar teman lainnya ketika nonton film ini, kata dia, “Film ini membuat image mahasiswa Indonesia akan hancur, bahkan akan menghancurkan reputasi dan pesona asli novelnya.”. Saya sepakat dengan perkataan teman saya itu, bahkan film yang sealiran dengan fil ini, seperti The Da Vinci Code, Imarah Ya’kubiyan (Apartemen Yakub) dan lainnya saja selalu diperfilemkan sama dengan asli novelnya. Sehingga keaslian film itu terjaga dan aura pesona novelnya tidak keganggu dengan munculnya penggambaran lewat audio-visual. Kalau dipikir-pikir memang lucu dan membuat hati jadi geli.

Apa yang saya tulis dahulu ternyata tidak omong kosong dan terbukti bahwa film ini tidak akan membuat tahjub mala menjadi bahan tertawaan orang. Bahkan kemungkinan akan ada sebagian para pengagum novelnya yang tidak puas. Namun apa yang telah dilakukan Hanung dan krunya memang hebat, patut mendapatkan ancungan jempol. Saya hanya berharap semoga suatu saat ada film Ayat Ayat Cinta dengan edisi revisi atau barunya. Diamana filmnya benar-benar sesuai dengan jalan cerita novelnya yang mengagumkan.

Akhirnya, saya berdoa semoga para penonton tidak mempunyai pikiran seperti saya terhadap film ini. Semoga penduduk Indonesia memberikan anugerah sebesar-besarnya terhadap film ini, bukan anugerah pelecehan. Dan selamat menikmati film ini walaupun hakikatnya para penonton ‘dikibulin’.

Khan el-Khalili, 25 Pebruari 2008

0 comments: