Saturday, February 02, 2008

Dongeng Mahapatih Gajah Mada; Pak Langit Kresna Hariadi



Hampir saya tidak mengenal apa itu lelah, penat, capek, tidur, ngantuk, makan, bahkan buang hajat sekalipun. Adalah tiga seria novel Gajahmada milik Langit Kresna Hariadi (LKH) habis saya santap mulai dari seri pertamanya; Gajahmada, lalu seri ke dua Gajahmada; Bergelut dalam Kemelut TAHTA dan ANGKARA, lalu seri ke tiga-nya Gajahmada; Hamukti Palapa, selama lima hari berturut-turut tidak ada hentinya. Kalau bisa digambarkan dalam bentuk makanan, tentu tiga novel sejarah yang berlatar belakang tentang MAHAPATIH AMANGKUBUMI GAJAH MADA itu bisa dikatakan makanan yang sangat lezat, tidak hanya menjadikan perut yang tadinya lapar menjadi kenyang, namun menjadikan tubuh sehat, segar, dan menambah gizi yang banyak, bahkan menjadikan otak menjadi sedemikian segar.





Buku pertamanya dengan judul, Gajahmada; menceritakan tentang kisah pergolakan pada zaman Majapahit atau Wiwatika berlangsung. Pada saat itu terjadi makar atau pemberontakan yang dilakukan oleh Rakrian Kuti dan teman-temannya yang ingin berangan-angan menjadi raja Majapahit. Pemberontakan yang akan dilakukan oleh Ra Kuti dengan teman-temannya itu berhasil diendus oleh bekel Gajahmada. Pimpinan pasukan prajurit istimewa Bhayangkara itu berhasil menyelamatkan Raja Majapahit Prabu Sri Jayanegara dari percobaan pembunuhan dengan di bawa ke Bedander (LKH menyebutnya Bedadu yang akhirnya diluruskan oleh para sejarawan). Keberhasilan Gajahmada tidak hanya berhasil menyelamatkan Prabu Sri Jayanegara atau Kalagemet dari pembunuhan, namun berhasil merebut kembali tahta kerajaan dan berhasil membungkam pemberontakan Ra Kuti untuk selamanya.

Pada buku ke-dua dengan judul Gajahmada Bergelut dalam Kemelut TAHTA dan ANGKARA, menerangkan tentang kisah meninggalnya Prabu Sri Jayanegara diracun oleh Ra Tanca. Kematian Prabu Sri Jayanegara ini diikuti oleh beberapa misteri siapa yang berhak menempati damar kencana atau kursi kerajaan. Sekali lagi Gajahmada ternyata mempunyai andil yang tdak sedikit dalam perubahan kerajaan Majapahit, dia dengan kecerdasan dan penglihatan masa depannya memberikan pendapatnya kepada Ibu Suri Gayatri untuk memilih dua adik mendang Prabu Sri Jayanegara, yaitu putri Sri Gitarja dan putri Dyah Wiyat. Dia juga berhasil memadamkan beberapa pemberontakan kecil dan misteri-misteri pembunuhan yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk mengail ikan di tempat yang keruh. Keberhasilannya kali ini membuat pangkatnya diangkat lagi dan bahkan ditarik dari Daha ke istana kembali.

Pada buku ke-tiga dnegan judul Gajahmada; Hamukti Palapa; menerangkan tentang kisah sepak terjang Mahapatih Amangkubumi Gajahmada lebih hebta lagi. Pada kisah ini Gajahmada dibantu oleh pasukan Bhayangkara, Jalapati dan Sapu Bayu. Dan lebih-lebih atas bantuan temannya Aditiawarman putera Raja Melayu dan termasuk sepupu dari Prabu Sri Jayanegara. Pemberontakan Keta dan Sadeng dapat diselesaikan oleh Gajahmada dengan harga yang snagat murah, karena memang itulah kejeniusan berperang Gajahmada. Bahkan lebih jauh lagi dua pusaka Cihna gringsing lobheng lewih laka dan songsong Udan Riwis yang semula hilang berhasil didapatkan kembali. Dari keberhasilan demi keberhasilan itu, Gajahmada yang semula hanya berpangkat bekel dinaikkan menjadi Mahapatih Amangkubumi Mahapatih Amangkubumi. Di sini diterangkan pula bagaimana Mahapatih Gajahmada nebgucapkan Sumpah Palapa-nya.

Gaya bahasa yang dipakai oleh pak LKH sangat lugas, cair, dan tidak menyesatkan. Membaca tulisannya seraya saya seperti menontot film dengan adegan-adegannya yang terlihat jelas dipelupuk mata, baik adegan yang paling kecil pun. Setiap kata perkata dirangkai seperti mantra yang dapat mengantar pembacanya masuk ke sebuah dunia yang dihuni oleh pusaran badai, badai yang dapat menyeret pembacanya untuk semakin penasaran dan hanyut di sebuah dunia ratusan tahun silam.

Bagaimana tidak? Kalau setiap perkataan (tulisan) yang disajikan oleh LKH selalu menjajikan sebuah kegairahan untuk segera dapat menyelesaikan setiap detail rancangannya. Kejelasan dan sihir tulisannya membuat pembaca semakin bergairah untuk segera me-blejeti ¬setiap pakaian intrik di dalamnya, bahkan kejelasan tulisannya membuat saya seperti hadir dan melihat dengan dua mata kepala kisah di masa silam itu.

Sempat berkali-kali saya dibuat heboh dengan tulisannya, hingga saya berkali-kali harus bergumam sendiri hampir tidak percaya apa yang saya baca. “Luar biasa tulisannya, seperti sihir. Entah bagaimana ada seorang penulis mampu menulis sampai sedetail ini?!!!”, gumamku sendiri dan menekuri keganjilan tulisan LKH.

Terus terang, belum pernah saya membaca tulisan guru LKH, yaitu SH MINTARDJA. Apakah gaya bahasa yang dipakai cukup memukai seperti LKH. Mungkin butuh waktu untuk membaca karya SH Mintardja dan melihat koherensi antara keduanya. Karya-karya SH Mintardja yang pernah saya kenal adalah Nagasasra dan Sabuk Inten, Suramnya Bayang-Bayang, Tanah Warisan dan Api di Bukit Menoreh Menoreh yang disebut sebagai novel the never ending story, lantaran ditinggal meninggal sebelum selsai jalan ceritanya.

Setidaknya LKH yang sedang berselancar dalam dunia imajinasi dengan mengambil latar belakang sejarah, harus mendalami litertur lebih banyak, atau berkunjung langsung ke lokasi, atau bertanya pada sejarawan Indonesia. Setelah buku pertamanya dihujat habis-habisan oleh para pengkaji dan ahli sejarawan di tanah air.

Tulisan yang memukai itu sampai saat ini belum bernjak dari kehangatan ingatan saya. Bayangan adegan bagaimana Mahapatih Gajahmada memberi tugas kepada anak buahnya atau bagaimana menyebarkan telik sandi, membuat saya teringat-ingat terus. Setelah membaca tiga bukunya dan entah apakah suatu saat nanti saya bisa membaca sambungannya lagi apa tidak. Paling tidak saya berharap suatu saat nanti saya bisa menuntaskan segala penasaran saya dengan membaca sambungannya.

Banyak manfaat yang bisa didapatkan lewat sebuah novel sejarah atau kalau saya bisa menyebut dengan novel realis-history (Novel fakta yang berlatar-belakang sejarah). Seperti saya bisa memahami sebuah alur sejarah di masa Majapahit tanpa lelah dan bingung. Atau boleh dikatakan membaca novel tanpa diketahui dan dirasakan pembacanya mempelajari juga sejarah yang semstinya memusingkan kepala. Dalam bukunya yang ke-dua, LKH tidak main-main lagi dalam penulisannya, karena berbagai data telah dilengkapinya. Bahkan kalau ada sebuah nama yang hanya karya imajinasinya, LKH akan langsung mengatakan bahwa itu nama buatannya sendiri dan tidak ada dalam sejarah. Begitu hati-hati LKH dalam memungut perjengkal tulisannya, hiingga membuat saya harus menggeleng-ngeleng kepala karena tahjub. Semua itu tidak dia dapatkan tanpa memeras keringat, karena sebelumnya ia pernah mengalami kesalahan dan menunai protes oleh kalangan banyak.

Semua itu menunjukkan bahhwa, ternyata sejarawan Indonesia tidak diam saja ketika ada sebuah kesalahan sejarah dilakukan oleh sebagian orang. Dan ini juga menjadi dalih bahwa geliat keilmuan di Indonesia menjadi semakin maju. Bahkan kritik sastra mulai berkembang semarak.

Setidaknya dari pengamatan saya terhadap sebuah novel, baik Indonesia atau manca-negara, saya menemukan sebuah kenyataan, bahwa LKH mempunyai gaya penyampaian dan karakteristik tersendiri di dalam novelnya ini. Entah apa gaya penulisan novelnya ini termasuk dari hasil belajarnya kepada SH Mntardja apa tidak, saya masih belum bisa menjawab. Gaya penyampaian itu menjadi kian terperinci, ketika sebuah aspek cerita dalam cerita diceritakan atau dikisahkan dalam bentuk nyata kembali. Seperti halnya yang dilakukannya ketika Ibu Suri Gayatri dan Kiai Maling Wiragati bercerita tentang masa lalunya, ternyata penulis tidak mengkisahkan dengan hanya melalui perkataan langsung Ibu Suri gayatri dan Kiai Wiragati, namun penulis langsung menceritakannya dan ini bisa dinamakan cerita di dalam cerita, yaitu ketika menceritakan sesuatu kisah ketika tokoh yang dikisahkan bercerita juga. Ciri seperti ini baru saya temukan pada diri LKH dan mungkin inilah gaya disiplinnya dalam menulis.

Kalau boleh menulis komentar lebih jauh, LKH dalam mengkisahkan ceritanya bisa disandingkan dengan novelis China Gu Long yang agak-agak njelimet dan menegangkan. Setidaknya LKH masih mempunyai kelebihan sedikit, yaitu ia berani atau mungkin mampu menggunakan perahu dan layar atas nama sejarah dalam penyampaian ceritanya, sedangkan Gu Long jarang sekali menyentu aspek sejarah. Lebih jauh lagi, novel sejarahnya yang panjang dan enam buku serinya itu, ternyata sulit disejajarkan dengan novelis-novelis lainnya. Seorang novelis besar Naguib Mahfouz-pun belum tentu akan mampu menulis novel sejarah sampai enam jilit atau serial. Padahal ia termasuk novelis mendunia, dan ternyata seorang LKH mampu berlayar di lautan fiksi dan imajinasi sampai sejauh itu melebihinya. Itu bisa dikatakan sangat luar biasa. Banyak orang mengetahui bahwa novelis Naguib Mahfouz (1911-2006) hanya mampu membuat novel sejarah menjadi trilogi saja. Seperti ‘Abs el-Aqdar, Radubis, dan Kafah Theba.

Kalau bercerita tentang novel sejarah atau sebuah novel berlatar belakang sebuah sejarah. Saya ingat dengan raja dirajanya CERSIL (Cerita Silat) Asmaraman Kho Ping Hoo yang mampu menulis cerita silat bersambung hingga sampai 17 seri. Ceritanya yang berlatar belakang sejarah dinasti China dari zaman lima wangsa (907- 960 )- dinasti Manchu atau Qing (1644-1911). Novel yang begitu panjang dan entah berapa puluh ribu halaman itu pun mempunyai kejeniusan sendiri dan akan menjadi catatan sendiri bagi saya. Bebeda dengan LKH, seorang Asmaraman Kho Ping Hoo yang buta huruf China mampu menulis dengan gaya yang berbeda dari novelis lainnya, karena yang disuguhkannya ternyata tidak hanya fantastiknya, romantisnya, khayalnya, sejarahnya, bahkan lebih dari itu. Di sana Asmaraman Kho Ping Hoo mampu menjelmakan tulisannya sebagai bahan kajian filsafat yang akan menjadikan pembacanya menjadi orang baru dengan pemandangan hidup yang lebih baru. Kalau Asmarman Kho Ping Hoo mampu menghadirkan sebuah perenungan berupah perkataan filsafat terhadap pandangan, hidup, politik, negara, budaya, agama, percintaan sampai pada alam bawah sadar manusia dan lebih-lebih kelebihannya dalam menyeret pembacanya ke alam bawah sadar. Itulah LKH yang saya kira tidak kalah jeniusnya dengan seorang KPH sekalipun.

Dari itu, saya berpendapat bahwa tulisan LKH tidak hanya akan mendapatkan atau bisa dikaji tentang novel sejarahnya, namun sajian gaya kepenulisannya yang berbeda bisa dikatakan akan mampu membawa madzab abru terhadap sebuah novel. Saya tidak akan kaget, jika suatu saat novel LKH akan menjelma sebagai buku sejarah yang wajib dibaca oleh generasinya. Dan saya berpendapat, nama Langit Kresna Hariadi atau LKH bisa disejajarkan dengan para novelis seperti Naguib Mahfouz atau KPH, atau bahkan gurunya seklalipun yaitu SH Mintardja.

Novel tentang Mahapatih Gajahmada yang ditulisnya, jangan hanya dibuat sebagai bahan bacaan yang biasa karena di dalamnya memuat pesan moral yang begitu banyak. Namun yang paling besar daris egala pesan adalah, bahwa negara Indonesia harus tetap bersatu jangan sampai terpecah belah oleh hanya sebuah TAHTA. Kalau kita sedikitboleh melihat Indonesia saat ini, maka kita akan merasakan apa itu sedih dan renyuh, karena gejala perpecahan itu mulai ada di setiap jengkal tanah air Indonesia. Sehingga saya berharap akann lahir seorang GAJAHMADA kedua yang dapat menyatukan kesatuan NUSANTARA.

Dari segi nama para tokoh yang disebutkan LKH bisa dikatakan masuk akal, karena memang pada zaman itu banyak sekali para penduduk Jawa yang memakai nama-nama binatang atau benda-benda, seperti Gajah Enggon, Gagak Bongol, Lembu Peteng, dan lain-lain. Karena pemakaian nama-nama itu memang pernah saya jumpai, bahkan hingga saat ini. Lebih menarik dan mempesona lagi, ternyata LKH tidak keluar dari ke-jawa-annya ketika menulis novelnya, karena dari segi gaya tulisan yang dihadirkan terlihat sekali bahwa ia termasuk orang Jawa yang sangat memahami adat dan kebudayaannya. Itu terlihat dari berbagai tulisannya yang banyak ditemui berbahasa Jawa kuno dan adat-adat seperti ilmu titen-nya dan adat-adat lainnya bisa diceritakan dengan mengalir tanpa kemandekan.
Akhirnya saya harus menyelesaikan komentar pendek saya bahwa LKH adalah novelis sejarah yang namanya bisa disejejarkan dengan novelis besar seperti, Naguib Mahfouz (Mesir), Asmaraman Kho Ping Hoo (Indonesia), Gu Long (China), Jin Yong (China) dengan novel triloginya Rajawali, Alexander Solzhenistsyn dengan novelnya August), Eiji Yoshikawa (dengan novelnya Mushashi), Luo Guanzhong (dengan novelnya Romance of the Three Kingdoms), Pramoedya Ananta Tour dengan Roman Tetralogi Buru-nya (Bumi Manusia, Anak Semua Bnagsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), John Shors dengan novelnya Beneath A Marble Sky, dan masih banyak para novelis lainnya yang mengusung karya fiksi dengan bumbu sejarah atau berlayar sejarah. Akhirnya saya harus mengakui bahwa LKH adalah novelis yang saya kagumi. Semoga saya bisa menjadi penulis bisa menelurkan tulisan-tulisan menggugah seperti dirinya dan saya saat ini juga akan menganggap LKH adalah salah satu guru, walaupun belum pernah bertemu, seperti halnya dirinya yang menganggap SH Mintardja sebagai gurunya.
Dan akhirnya lagi, selamat atas kesuksesan. Semoga LKH masih diberi hati yang suci, sehingga semua tulisannya yang dibaca ribuan bahkan kemungkinan jutaan orang termasuk karya suci darinya.
Sampai saat ini saya penasaran kisah selanjutnya, entah apakah Mahapatih Gajah Mada dapat melaksanakan Hamukti Palapa-nya apa tidak?.

”untuk mewujudkan mimpi
kita semua, aku bersumpah akan menjauhi hamukti wiwaha sebelum
cita-citaku dan cita-cita kita bersama itu terwujud. Aku tidak akan
bersenang-senang dahulu sebagaimana hakikat arti dari hamukti wiwaha.
Aku memilih kebalikannya. Aku akan hamukti palapa sampai kapan pun,
sampai Majapahit yang aku inginkan dan kita inginkan bersama menjadi
kenyataan. Aku akan tetap berprihatin dalam puasa tanpa ujung, yang
itulah hakikat arti dari sumpahku, Sumpah Palapa, semata-mata demi
kebesaran Majapahit.”

”Aku bersumpah untuk tidak akan beristirahat,” Gajah Mada
berteriak. ”Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah
ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali,
Sunda, Palembang, Tumasek, samana ingsun amukti palapa.”

Atau artinya;
Sumpah Palapa tersebut berarti, jika telah berhasil menundukkan
Nusantara, aku baru akan beristirahat. Jika Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasek, telah tunduk, barulah aku akan beristirahat.


Kairo, 01 Pebruari 2008
Oleh; Elfenan



0 comments: