Monday, March 26, 2007

Pelangi Definisi Sastra, Antara Versi Arab dan Indonesia



Tulisan ini akan mencoba untuk menelaah ulang tentang definisi sastra yang hingga saat ini belum ada kata kesepakatan pasti, definisi yang pas untuk kata ’sastra’ masih belum ditemukan, dari dekade-ke dekade definisi untuk sastra selalu berubah-ubah dan berkembang. Hingga para pakar bahasa dan sastrawan sendiri sebagai pelaku dan pembuat sastra (walaupun penulis tidak menyetujui sebutan ini) masih belum bisa menemukan definisi sastra, baik secara konklusif atau formalitatif. Meminjam kata seorang teman ketika ditanya tentang apa definisi sastra, ia menjawab bahwa mencari definisi sastra bisa dikatakan sama sulitnya dengan mencari jarum ditumpukan jerami. Apakah mencari definisi untuk sastra sesulit itu?.






Tulisan ini akan mencoba untuk menelaah ulang tentang definisi sastra yang hingga saat ini belum ada kata kesepakatan pasti, definisi yang pas untuk kata ’sastra’ masih belum ditemukan, dari dekade-ke dekade definisi untuk sastra selalu berubah-ubah dan berkembang. Hingga para pakar bahasa dan sastrawan sendiri sebagai pelaku dan pembuat sastra (walaupun penulis tidak menyetujui sebutan ini) masih belum bisa menemukan definisi sastra, baik secara konklusif atau formalitatif. Meminjam kata seorang teman ketika ditanya tentang apa definisi sastra, ia menjawab bahwa mencari definisi sastra bisa dikatakan sama sulitnya dengan mencari jarum ditumpukan jerami. Apakah mencari definisi untuk sastra sesulit itu?.

Dari dulu sampai sekarang, tidak ada kata sepakat dalam pendefinisian sastra, baik di dunia Indonesia ataupun di dunia Arab, karena arti sastra sendiri selalu berubah-ubah sesuai perkembangan zaman. Makanya penulis memakai judul untuk tulisan ini dengan pelangi definisi sastra, antara versi Indonesia dan Arab, dengan tujuan untuk menelaah ulang definisi-definifi yang diberikan para pakar bahasa dan sastrawan kita untuk sastra dan membandingkannya dengan definisi sastra yang diberikan para pakar bahasa dan sastrawan di dunia Arab. Sehingga dari sini kita bisa membandingkan dan menarik benang merah (kata sepakat) dari keduanya.

Kita mulai mendefinisikan kata sastra dengan mengambil artinya lewat KBBI (kamus besar bahasa Indonesia), menurut KBBI arti sastra adalah:
Þ Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari).
Þ Karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.
Arti yang diberikan KBBI ini sama dengan arti yang diberikan Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono. Sedangkan dalam kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai kitab; tulisan; karangan; buku ilmu; dan kesusastraan. Dari definisi yang diberikan kamus kita ini, kita bisa mengartikan sastra sebagai bahasa yang diungkapkan dalam bentuk tulisan atau karangan dengan memiliki daya artistik dan keindahan, baik dalam isi atau ungkapannya. Arti dari kedua kamus itupun tidak jauh dari arti asal sastra dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai makna huruf, bahasa dan karya. Arti yang kita dapatkan dalam dua kamus ini adalah definisi secara minimum, yakni minim-minimnya sastra itu berkisar tentang tulis-menulis. Bagaimana dengan adanya teater, drama, film, nyanyian, pembacaan puisi dan sinetron, apakah semua ini tidak termasuk katagori dalam sastra?.

Sekarang kita coba melihat definisi sastra secara maksimum. Plato dalam bukunya republic, ketika ia menjelaskan tentang dunia ide, ia sedikit menerangkan tentang fungsi sastra. Ia mengatakan bahwa sastra adalah sebuah karya tiruan realitas, yang nota bene adalah wujud tiruan dari dunia ide. Dengan ini Plato mengatakan bahwa sastra jauh dari kebenaran, dalam artian sastra jauh dari dunia nyata kehidupan kita, semuanya hanya daya hayal yang tidak bisa dipegang dan dijadikan poatokan. Beda dengan muridnya, Aristoteles. Ia lebih menempatkan sastra sebagai sesuatu yang agung. Ia berpendapat bahw sastra, terutama tragedi, adalah dunia kemungkinan yang ditemukan dan diciptakan secara nyata oleh pengarangnya. Dengan kata lain, seeorang sastrawan bisa membuat karya sastra yang sangat mirip dengan kehidupan seseorang atau mengambil contoh kehidupan seseorang untuk dijadikan karya sastra.

Dr. Syafiq Abdul Razzaq Abu Sa'dah dosen fakultas Bahasa Arab universitas al-Azhar mengartikan sastra umumnya dan puisi khususnya adalah cerminan kehidupan manusia, ia juga refleksi dari perkembangan kehidupannya dari yang kecil sampai yang besar. Atau Hernowo dalam salah satu tulisannya pernah mengatakan bahwa sastra adalah bagian dari kehidupannya, ini tidak jauh dari definisi yang diberikan Marcel Proust, ia mengatakan bahwa sastra adalah masa lalunya. Dari definisi di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa sastra adalah refleksi dari kehidupan seseorang yang ditulis dengan menggunakan bahasa yang menggugah.
Kalau menurut Nio Joe Lan beda lagi, ia mendefinisikan sastra sebagai cerminan segala apa yang berada dalam sanubari manusia. Dengan definisi ini bisa dikatakan Nio Joe Lan lebih mendekati definisi yang diberikan oleh Hernowo dan Marcel Proust, inti dari sastra ada pada diri sastrawan itu. Mungkin definisi akan tampak bertentangan dengan definisi yang diberikan Dr. Syafiq yang obyek dari sastra lebih banyak dari luar sastrawan itu sendiri.
Di sisi yang lain, orang-orang bayak yang menghubungkan sastra dengan keindahan, kata orang-orang sastra itu harus indah, terus pertanyaannya apakah sastra itu harus indah?. Menurut penulis sastra tidak harus indah, karena letak inti dari sastra pada dasarnya adalah bukan pada keindahan saja, tapi harus didukung dengan tujuan sastra itu. Sebelum kita melangkah lebih jauh lagi, alangka baiknya kalau kita menengok sebentar tentang sastra dalam bahasa Arab (adab), dengan begitu kita bisa mengambil kesimpulan dari keduanya.
Ibn Mnadzur dalam kamusnya Lisanul Arab dan Zubaidi dalam kamusnya Tajul ‘Arusy mengatakan bahwa kata asal adab diambil dari kata adbu atau adb yang bermakna undangan atau ajakan untuk makan. Dari kata itu muncullah kata adab yang diartikan sebagai mengajak seseorang untuk berbuat baik, jadi muaddib adalah seseorang yang mengajak kepada kebaikan dan menyuruh meninggalkan kejelekan. Lamaban laun arti adab menjadi bergeser dari undangan atau ajakan untuk makan menjadi budaya. Sedangkan pada abad ke-3 makna adab digunakan hanya untuk karya prosa dan puisi.

Sedangkan Ibn Khuldun mengartikan adab sebagai mutu (hasil) pada keindahan prosa dan puisi dengan gaya orang-orang Arab. Syamsuddin as-Syakhawi berpendapat bahwa adab adalah sebuah disiplin ilmu yang menerangkan tentang apa-apa yang ada di sanubari seseorang dengan kata-kata atau tulisan. Ada juga yang mengartikan adab sebagai setiap makna kehidupan yang diungkapkan dengan gaya bahasa yang indah.
Begitu juga kata literature dalam bahasa Inggris mempunyai arti creative writing of recognized artistic value. Dalam bahasa Inggris sastra lebih didefinisikan sebgai tulisan yang indah.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa semua definisi tentang sastra dari Indonesia dan Arab hanya berkisar tentang cermin kehidupan-baik seseorang atau secara umum-, tulisan, bahasa, dan keindahan. Dari masa ke masa arti sastra sendiri selalu berubah-ubah mengikuti perubahan dunia. Mungkin orang-orang Indonesia dan Arab mengartikan sastra sebagai bahasa, tulisan dan keindahan, karena pada zaman itu masih belum ada audio dan visual. Hingga saat ini arti sastra masih tersangkut pada masa itu, sehingga banyak orang yang tidak puas dengan definisi sastra yang diberikan para pakar bahasa dan sastrawan sendiri.
Adapun menurut mereka yang mengatakan bahwa sastra itu harus ditulis dengan bahasa yang indah, itu juga bukan sebagai patokan sastra untuk saat ini. Banyak juga karya sastra yang keluar dari batasan keestetikaan yang kita dapatkan pada dunia sastra saat ini. Seperti karya novelis Naguib Mahfouz (1911-2006) yang kental dengan simbolisnya, ia lebih mendekati arti dan tujuan karyanya dari pada keindahan kata-kata dalam karya-karyanya. Sastra seperti juga manusia, keindahan bisa diibaratkan sebagai bentuk tubuh manusia, sedangkan tujuan dan arti dari sastra lebih bisa dibiratkan sebagai dalaman manusia. Saya tidak menafikan keindahan yang digembar-gemborkan sebagian orang, tapi saya lebih memandang perlunya kedua-duanya jalan bersama, dengan begitu mutu sastra itu akan lebih tampak berganda.
Dari semua definisi di atas dan permasalahannya dalam kehidupan era-sekarang, saya bisa menyimpulkan bahwa sastra adalah cerminan dari kehidupan-baik dari sastrawan itu sendiri atau dari lainnya- yang direfleksikan melalui media-media, baik bahasa, tulisan, ataupun audio-visual dengan hiasan artistik, keindahan dan lainnya, dan dengan tujuan tertentu.
Pelangi definisi sastra telah banyak membuat bingung para pakar bahasa dan sastrawan di mana-mana, sejak dahulu hingga sekarang belum ada kata sepakat di dunai sastra untuk mendefinisikan. Mungkin sastra tidak perlu didefinisikan, seperti yang pernah dikatakan Ibn Khuldun. Karena sastra tidak perlu didefinisikan dan tidak butuh pada definisi-definisi, ia akan lebih bebas tanpa baju definisi. Jika orang mendefinisakan sastra, berarti tanpa sengaja ia membatasi ruang cakupan sastra itu sendiri. Sastra itu tidak ada batasannya.



Baca Selanjutnya Bro..

Penjegalan Karya Sastra



"Tidak ada suatu kebenaran yang mutlak kecuali hanya milik-Nya"

Pada tahun 1911, tepatnya tanggal 11 Desember 1911 lahir sastrawan besar Mesir di sebuah kota yang penuh debu dan kotor. Kota Gamaleya yang berada di belakang Khan el-Khalily di sebelah mantiqah al-Azhar dan Husain. Kota itu pernah menjadi ibu kota pada kekhalifaan Fathimiyyin, dari tempat itu muncul ulama'-ulama' dan sastrawan besar. Seorang sastrawan besar berkembagsaan Arab yang bernama Naguib Mahfouz (1911-2006) mendapatkan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra pada tahun 1988, sastrwan inilah yang membuat harum bangsa Arab, karena ia adalah orang Arab yang pertama mendapatkan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra. Ia telah menolehkan tinta emas pada bengsanya yang telah dikenal beribu-ribu tahun dengan keindahan sastranya.




"Tidak ada suatu kebenaran yang mutlak kecuali hanya milik-Nya"

Pada tahun 1911, tepatnya tanggal 11 Desember 1911 lahir sastrawan besar Mesir di sebuah kota yang penuh debu dan kotor. Kota Gamaleya yang berada di belakang Khan el-Khalily di sebelah mantiqah al-Azhar dan Husain. Kota itu pernah menjadi ibu kota pada kekhalifaan Fathimiyyin, dari tempat itu muncul ulama'-ulama' dan sastrawan besar. Seorang sastrawan besar berkembagsaan Arab yang bernama Naguib Mahfouz (1911-2006) mendapatkan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra pada tahun 1988, sastrwan inilah yang membuat harum bangsa Arab, karena ia adalah orang Arab yang pertama mendapatkan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra. Ia telah menolehkan tinta emas pada bengsanya yang telah dikenal beribu-ribu tahun dengan keindahan sastranya.

Ia mulai karirnya menulis Novel dan Cerpen semenjak kecil dan mulai dikenal oleh orang luar berkat sebuah penyataan langsung dari pemikir dan sastrawan Mesir Dr. Thaha Husain. Ia dinyatakan mempunyai tulisan yang indah dan bakat yang tinggi, ia mendapatkan pernyataan itu ketika sebuah cerpennya dibaca oleh Dr. Thaha Husain di sebuah majalah di Cairo. Setelah membaca tulisan Naguib ini, Dr. Thaha Husain langsung menulis sebuah pernyataan langsung berupa resensi cerpennya, bukan main akibat dari tulisan dari Sang Pemikir itu, orang-orang Mesir berbondong-bondong membeli dan membaca tulisannya. Dari situ nama Dr. Naguib Mahfouz melecit jauh melebihi Dr. Thaha Husain sendiri. Kemudian pada tahun 1959 ia menulis sebuah novel yang berjudul "Anak-anak Gebelawii (Children of Gebelawii/Aulad Harrtina)", novel ini ia kirmim ke sebuah majalah untuk diterbitkan secara berkala, baru satu kali saja penerbitan Dr. Naguib Mahfouz dan penerbitnya diperotes oleh kaum agamis, khususnya dari al-Azhar yang pada waktu itu masih kuat-kuatnya memegang pemerintah. Dari mulut Presiden Gamal Abdul Nasir langsung Dr. Naguib Mahfouz mendapatkan kecaman, karena hampir setiap hari sang Presiden mendapatkan telpon protes dari syaikh-syaikh al-Azhar.

Kenapa novel Anak-anak Gebelawii mendapatkan kecaman yang begitu keras dari kaum agamis?, tidak lain karena novel itu dianggap menghujat dan menghina Allah dan agama-agama Abrahamik monoteistik, Yudaisme, Kristen dan Islam sendiri. Setelah mendapatkan kecaman dan protes dari mana-mana itulah nevel Anak-anak Gebelawii tidak jadi diteruskan dan tidak boleh diterbitkan kembali dalam bentuk apapun. Pada tahun 1988 novel ini mendapatkan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra. Tapi begitu pun, novel ini tetap tidak boleh diterbitkan, bahkan kecaman malah menjadi-jadi, beberapa kalangan Mesir yang agamis menjatuhi hukuman "mati" dan murtad, ini mengingatkan kepada seorang penulis asal India yang bernama Salman Rushdie, ia mengarang sebuah buku berjudul "Satanic Verses (1988)", karena dalam buku ini Allah dijadikan tokoh utamanya. Berbagai negara melarang dan memprotes terbit dan beredarnya buku ini. Bahkan pemimpin Iran pada waktu itu Ayatollah Khomeini berpidato pada sebuah radio tentang Rushdie, ia berkata bahwa Rushdie telah keluar dari Islam (Murtad) dan perkataan itu disebut sebagai sebuah fatwa pada waktu itu, padahal Ayatollah sendiri belum pernah membaca bukunya itu.

Begitu juga dengan Dr. Naguib, ia sendiri mendapatkan berbagai tentangan dan protes dari berbagai kalangan, bahkan pernah ia akan dibunuh di dalam rumahnya, sejak itulah kemana pun ia pergi selalu dikawal. Namanya diabadikan dalam sebuah judul lagu milik pemain terompet dan komponis AS Dave Doglas. Pada dasarnya pengalaman Dr. Naguib yang berwarna-warni itu adalah sebuah kehidupan yang wajar dan penuh gairah untuk menangkap pernik-pernik kehidupan, karena itu adalah sebuah tntunan alami seorang sastrawan. Penjegalan terhadap karya sastra seperti inilah yang akan membuat orang semakin menurunkan nilai kemanusiaan, karena hasil karya yang begitu hebat itu tidak mampu dinikmati orang lain yang mestinya akan menikmatinya. Begitu banyak kita jumpai seseorang yang telah mengungkap sebah kenyataan hidup dijadikan bahan guncangan dan bahan tertawaan orang, begitu banyak orang yang telah mampu membuat hidup ini semakin hidup, tapi dijadikan sasaran kebodohan mereka sendiri. Salah satunya adalah karya sastra Dr. Naguib Mahfouz sendiri, banyak orang yang belum mampu menikmati karyanya yang banyak mengangkat tentang kehidupan menengah ke bawah dengan tpendekatan dan gaya surelis. Bagaimana seseorang bisa menhukumi sesuatu yang belum mutlah kesalahan dan kebenarannya itu, novel Anak-anak Gebelawii yang dilarang terbit selama beberapa puluh tahun ini dianggap menyimpang jauh, bahkan menghina Allah, karena di situ dianggap membawa tokoh Allah. Penulis kira Dr. Naguib sendiri tidak bermaksut untuk membawa tokoh Allah dalam novelnya itu, karena tidak pernah dijumpai tokoh yag bernama "Allah" di situ, walaupun penulis tidak menafikan sebuah tokoh yang mempunyai kekuasaan besar di situ. Memang arti Gabalawii sendiri bermakna Pencipta, Penguasa dan Pemaksa, karena kata Gabalawii sendiri dari kata Jabala.

Gabalaweii sendiri mempunyai beberapa anak yang bernama Idris, Abbas, Ridhwan, Jalil dan Adam, mereka semua berasal dari satu ibu, kecuali Adam yang terlahir dari seorang budak. Cerita novel Anak-anak Gabalaweii mirip seperti cerita Nabi Adab, Iblis, dan Hawa di Syurga di awal penciptaan manusia. Novel ini menceritakan tentang keserakahan dan kekuasaan seseorang yang selalu memaksa kehendak orang lain yang lebih lemah, pernah ada orang yang menyerupakan tokoh novel ini (Gabalaweii) dengan presiden Gamal Abd Naseer sehingga ia marah besar. Mungkin saja novel ini akan menjadi sebuah novel pengkritik bagi siapa saja yang selalu memaksakan kehendaknya terhadap si lemah. Dari anak-anak Gabalaweii itu, hanya Adab yang diberi kepercayaan untuk memegang dan mengelola badan wakaf milik ayahnya itu, karena hanya dia saja yang mampu membaca, menulis dan berhitung. Dari sini timbul rasa iri dan dendam pada saudara-saudar lainnya seperti Idris dan lainn-lainnya. Tidak lama kemudian Adam menikah dengan Umaimah, sekali lagi dari nama ini muncul dugaan bahwa ia adalah simbol dari Hawa sendiri, karena Umaymah berasal dari kata Um yang berarti Ibu. Tidak lama kemudian keduanya diusir oleh keluarganya karena telah berani membaca surat rahasia rancangan masa depan dari sang Ayah. Cerita ini sangat mirip dengan cerita nabi Adab dan Hawa, maka banyak sekali orang-orang yang menganggap bahwa Gabalaweii adalah simbol dari Tuhan, sedangkan Adab dan Umaymah adalah simbol dari nab Adab dan Siti Hawa, begitu juga dengan Idris dan saudara-saudaranya lannya dianggap sebagai simbol dari Iblios dan anak cucunya. Hingga saat ini novel ini banyak diteliti oleh para pemikir dan sastrwan. Novel ini mempunyai makna yang ganda, karena setiap orang bisa menafsirkannya dengan seenak hati dan sesuai kadar pemikiran dan pengetahuan masing-masing.

Dalam sejarah kehidupan Dr. Naguib Mahfouz, kita dapat menemukan bahwa ia pernah menjadi pengikut Saad Zaghlul Pasha, pemimpin partai Wafd yang berhaluan nasionalis. Keterlibatan politik itu diakui oelh Naguib sendiri dengan bangga dalam wawancaranya di majalah Eropa. Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa Naguib sendiri mungkn berkeinginan untuk menyindir dan memperbaiki sebuah pemerintahan yang otoriter seperti di Mesir ini. Ia mungkin tidak bermaksut untuk menjadikan Tuhan sebagai tokoh dalam novelnya ini, arti seperti inilah yang belum diktehui oleh orang-orang ada sat itu, itu semua karena mereka menghukumi sesuatu dengan membabi-buta tanpa memeriksa dan mempelajari bahan itu sendiri. Pada awal tahun 2006 novel Anak-anak Gebalawii telah diterbitkan kembali atas pengantar Ahmad Abdul Kamal Abu Ahmad, bahkan tidak diketahui bahwa pada tahun yang sama Dr. Naguib Mahfouz meninggal dunia.

Kairo, 02 Desember 2006



Baca Selanjutnya Bro..

Catatan Akhir di Gamalea



Kisah hidup di Gamalea memang penuh dengan kisah menyenangkan, di sana aku bisa merasakan ketinggian budaya Mesir. Dari sana aku mendapatkan banyak kenangan, baik manis atau pahit. Dari sana juga aku jadi tahu, bahwa novelis besar Naguib Mahfouz Rahimahumullah memang benar-benar novelis realis, aku mendapatkan kenyataan bahwa ia benar-benar novelis yang hebat. Mungkin dalam sejarah kenovelan belum pernah ditemukan sosok seorang novelis kedua setelah Naguib.

Kisah hidup di Gamalea memang penuh dengan kisah menyenangkan, di sana aku bisa merasakan ketinggian budaya Mesir. Dari sana aku mendapatkan banyak kenangan, baik manis atau pahit. Dari sana juga aku jadi tahu, bahwa novelis besar Naguib Mahfouz Rahimahumullah memang benar-benar novelis realis, aku mendapatkan kenyataan bahwa ia benar-benar novelis yang hebat. Mungkin dalam sejarah kenovelan belum pernah ditemukan sosok seorang novelis kedua setelah Naguib.


Gamalea telah banyak mengajariku tentang kehidupan, tentang arti kehidupan ini. Bagiku kehiupan adalah sebuah novel terpanjang, yang di dalamnya kita bisa menemukan semuanya dan memungkin segala sesuatu untuk berubah begitu saja sesuai dengan jalan ceritanya.

Seperti diriku saat ini, aku hidup di daerah Gamalea hanya sekitar tiga bulan. Padahal sejujurnya aku ingin sekali berada di sana sampai belajarku tuntas. Di sana aku bisa belajar melihat kultur budaya Mesir yang tinggi, bisa hidup dengan manusia-manusia yang berbeda dengan lainnya, di sana ada jutaan manusia yang berbeda-beda watak dan karakteristik, sangat unik sekali. Di sana pengalamanku semakin bertambah, ide yang kudapatkan mengalir deras dan bahan untuk tulisan tidak pernah habis.


Naguib memang tidak salah menempati tempat di sana, semua jalan cerita yang ada pada novel-novelnya benar-benar bisa kutemukan di Gamalea. Luar biasa. Aku juga jadi tahu bahwa di sana masih ada orang yang buta huruf, aku kira di kota Kairo ini tidak akan pernah ditemukan seorang pun yang buta huruf, ternyata di Gamalea yang dekat dengan Khan el-khalily dan al-Azhar Area itu terdapat banyak orang yang buta huruf. Padahal di sana ada berjuta-juta manusia yang hebat, yang menarik lagi adalah hampir penduduk Gamalea menguasai bahasa Inggris, walaupun itu hanya sekedarnya. Aku sering disapa dengan menggunakan bahasa Inggris, hingga anak kecil yang baru berumur sekitar lima tahunan sudah mampu ngomong dengan menggunakan bahasa Inggris, bahasanya bagus lagi.

Di apartemenku ada seorang anak kecil yang baru berumur sekitar lima tahunan, setiap ia bertemu denganku, ia selalu berucapa "Hallo, i love you", dengan bahasa yang renyah dan enak didengar, aku geli sekali mendengarnya. Aku pun menjawab dan mengajaknya bicara dengan sekedarnya, ternyata ia mampu mengimbangiku, benar-benar gadis cilik yang hebat.

Itu semua hanya bagian kisahku di Gamalea saja, untuk yang lainnya mungkin aku akan mengabadikannya lewat sebuha novel atau hanya sekedar catatan harian. Sejak hidup di sana, aku memang jarang menyentuh inmternet, makanya ceritaku tidak mampu kutulis dan kupasang di blog (maaf bagi teman-teman yang lagi menuggu). Hari ini aku ingin menuangkan semuanya di sini, mumpung ada kesempatan.

Sekarang langsung saja aku akan mengisahkan perpisahanku dengan mama dan anak-anknya (tuan rumah). Setelah sekitar satu bulan aku dan temen-temen muter-muter untuk mencari rumah kos baru, akhirnya pencarianku membawa hasil, aku dan temen-temen mendapatkan rumah kos baru di daerah yang bernama Bathniyyah di belakang masjid al-Azhar, cukup enak dan strategis. Kami pindah rumah karena memang teman-teman sudah malas jalan dari Gamelai ke Kampus, jaraknya cukup jauh dan melelahkan. Kita ingin mencari rumah yang dekat dengan Kampus dan lebih besar, rumah yang kami tempati di Gamalea itu cukup sesak juga, tidak cocok untuk kehidupan seorang mahasiswa.

Di malam perpisah kami dengan tuan rumah di Gamalea, kami harus menitikkan air mata, sedih sekali. Terus terang saja, belum pernah aku menemukan tuan rumah yang begitu baik daripadanya. Kehidupan mereka cukup harmonis, supel dan menyenangkan. Hingga malam itu kami bertiga meminta izin untuk pergi dari rumah itu, kami disuruh masuk dan disuguhi dengan minuman. Di dalam rumahnya hanya ada mama dan anak-anknya Hebah, Suzan dan Hamid. Suaminya lagi keluar. Ketika kami ngomong mau pergi, mereka semuanya kaget, karena selama ini kami belum pernah mengatakan akan pergi.

Mama mendengar ini pun nangis, terlihat matanya langsung merah dan suaranya serak seklai, begitupun Suzan yang cantik dan imut-imut tak mau kalah dengan ibunya, mbaknya Hebah juga begitu. Untuk menengkan kekagetan mereka, aku harus mengalihkan pembicaraanku dari mulai menanyakan kabar satu persatu, tentang kabar sekolah Hamid dan Suzan juga. Dalam pembicaraanku dengan mereka, aku tahu bahwa Hamid termasuk orang yang cukup terpelajar juga, ia dapat mengikuti kabar-kabar terbaru, sedangkan Suzan diam tidak mengikuti arah pembicaraan kita. Ia hanya sesekali tanya ke mabaknya Hebah yang cukup pintar juga. Sebenarnya Suzan mempunyai tampang yang cantik, tapi agak kurang baik dalam segi pengetahuan saja. Tema yang kami bicarakan waktu itu adalah tentang gempa di Aceh dan Jawa, juga tentang Naguib Mahfoz, dan tentang bahasa ‘amiyah (pasaran) Mesir dan bahasa Indonesia.

Setelah agak lama, kami akhirnya bisa mnetralisir keadaan, dari kesedihan menjadi kelakar yang menyenangkan. Lucunya, temanku ada yang mengatakan kepada mereka bahwa aku adalah penulis, aku bisa menulis novel, cerpen dan puisi. Hingga Suzan berkata, "Apa benar kamu bisa menulis puisi?"
"Coba buatkan puisi untukku"mintanya padaku, semuanya diam.
"Wah, aku hanya bsia membuat puisi berbahasa Indonesia, puisi dalam bahasa Arab sangat sulit"kayaku padanya.
Ia juga menanyakan cita-citaku, aku menjawabnya bahwa cita-citaku adalah bisa mengabdikan diriku untuk masyarakat Indonesia, baik dengan wasilh tulisan atau lainnya. Aku juga bercerita bahwa kebanyakan mahasiswa Indonesia yang belajar di Mesir ketika pulang akan menjadi seorang guru, itu minim-minimnya.

Selanjutnya aku mengalihkan tema perbincangan kita ke Naguib Mahfouz, ternyata mama adalah orang yang bisa diajak bediskusi, ia mengenal dan mengatakan kepada kami.
"Ia orang yang besar dan mulia"katanya setelah menceritakan sedikit tentang Naguib.
"Banyak karyanya yang kita baca di sekolah"kata Hamid tidak mau kalah dengan ibunya.
Dari tema Naguib, kita alihkan ke bahasa amiyyah dan bahasa Indonesia. Dari mulut mama aku mendapatkan banyak mufradat bahasa amiyyah Mesir. Ketika membicarakan bahasa Indonesia dan tentang bangsa Indonesia, mereka mendengarkan dengan seksama, seperti seorang guru menerangkan materi pelajarannya ke murudnya, seperti itulah kami menerangkan tentang keindonesiaan. Dalam akhir perbincangan kami dengan mereka, aku menanyakan kepada mereka untuk jalan-jalan ke Indonesia.
"Ngak mau, di sini enak"kata Suzan ketika kami tanya apakah ia mau diajak ke Indonesia.
Semunaya tertawa dengan jawaban Suzan, memang negara Mesir adalah negara yang enak, indah dan asyik. Kata orang-orang Mesir, Mesir adalah syurga dunia. Perkataan itu memang agak bernada sombong dan mau menang sendir, tapi jiga kita pernah hidup di Mesri, maka akita akan dapat merasakan apa yang dikatakan orang-orang Mesir itu, memang benar dan di dalamnya banyak bidadari-bidadari yang membuat kita lupa segalanya.

Akhirnya kami diizini untuk peergi walaupun dengan berat hati, tapi sebelum kami kembali ke flat kami. Mama bepesan bahwa jika kami ingin kembali lagi, mereka mempersilahkan. Sekarang kami hidup di Bathniyyah dengan kebiasaan yang berbeda,dan kebudayaan yang berbeda pula, walaupun jarak antara Gamalea dengan Bathniyya hanya sekitar limja kilo-an, tapi perbedaan kebudayaan sangat berbeda dan dapat kurasakan perbedaan itu. Kalau di Gamalea, suasannya bising dan keras, sedangkan di Bathniyyah suasananya tenang dan enak untuk belajar, lagi dekat dengan univesitas al-Azhar.


Puisi Untuk Suzan


Bulu mata lentik berseri
Bagai rumput panjang di pagi hari
Sepasang alis hitam kecil melengkung
Menggeliat-liat malas di kedua ujung
Bibir merah basah menantang
Bentuk indah gendewa terpentang
Hangat lembut mulut juwita
Sarang madu sari puspita
Senyum dikulum bibir gemetar
Tersingkap mutiara indah berjajar
Segar sedap lekuk di pipi
Mengawal suara merdu sang dewi!



Puisi Untuk Gamalea


Kekosongan tiba
Saat meninngalkanmu wahai Gamalea
Di sana kudapat berjuta rasa
Kisah penuh kebudayaan buatan para dewa
Di sana kujadi dewasa
Matang dalam berfikir dan asa
Cita-cita juga tampak jelas di mata
Gamalea...
Berjuta-juta bidadari menari di sana
Bersama lantunan ramai anak bangsa
Di sana Naguib mengabadikan rasa
Dari sana Taufiq Hakim belajar bahasa
Juga mengajarkannya untuk anak bangsa
Di sana para mufti berfatwa
Di sana ilmu memancar dari dua menara
Gamalea...
Realis dan tampak ceria
Dengan Khan el-Khalili dan masjid Hussainnya
Juga kebudayaannya
Gamalea...
Di dalamnya penuh misteri
Dari perabotan cantik sampai anak dekil kecil

Kumengenalmu karena agungmu
Kumengertimu karena hidup di dalammu
Kumenyanjungmu karena ada Naguib besarmu
Di sana ada ceritaku yang tidak pernah habis
Walau umur terus terkikis
Gamalea...
Tempat kisah, budaya, ilmu dan mengertiku
Baca Selanjutnya Bro..