Monday, March 26, 2007

Pelangi Definisi Sastra, Antara Versi Arab dan Indonesia



Tulisan ini akan mencoba untuk menelaah ulang tentang definisi sastra yang hingga saat ini belum ada kata kesepakatan pasti, definisi yang pas untuk kata ’sastra’ masih belum ditemukan, dari dekade-ke dekade definisi untuk sastra selalu berubah-ubah dan berkembang. Hingga para pakar bahasa dan sastrawan sendiri sebagai pelaku dan pembuat sastra (walaupun penulis tidak menyetujui sebutan ini) masih belum bisa menemukan definisi sastra, baik secara konklusif atau formalitatif. Meminjam kata seorang teman ketika ditanya tentang apa definisi sastra, ia menjawab bahwa mencari definisi sastra bisa dikatakan sama sulitnya dengan mencari jarum ditumpukan jerami. Apakah mencari definisi untuk sastra sesulit itu?.






Tulisan ini akan mencoba untuk menelaah ulang tentang definisi sastra yang hingga saat ini belum ada kata kesepakatan pasti, definisi yang pas untuk kata ’sastra’ masih belum ditemukan, dari dekade-ke dekade definisi untuk sastra selalu berubah-ubah dan berkembang. Hingga para pakar bahasa dan sastrawan sendiri sebagai pelaku dan pembuat sastra (walaupun penulis tidak menyetujui sebutan ini) masih belum bisa menemukan definisi sastra, baik secara konklusif atau formalitatif. Meminjam kata seorang teman ketika ditanya tentang apa definisi sastra, ia menjawab bahwa mencari definisi sastra bisa dikatakan sama sulitnya dengan mencari jarum ditumpukan jerami. Apakah mencari definisi untuk sastra sesulit itu?.

Dari dulu sampai sekarang, tidak ada kata sepakat dalam pendefinisian sastra, baik di dunia Indonesia ataupun di dunia Arab, karena arti sastra sendiri selalu berubah-ubah sesuai perkembangan zaman. Makanya penulis memakai judul untuk tulisan ini dengan pelangi definisi sastra, antara versi Indonesia dan Arab, dengan tujuan untuk menelaah ulang definisi-definifi yang diberikan para pakar bahasa dan sastrawan kita untuk sastra dan membandingkannya dengan definisi sastra yang diberikan para pakar bahasa dan sastrawan di dunia Arab. Sehingga dari sini kita bisa membandingkan dan menarik benang merah (kata sepakat) dari keduanya.

Kita mulai mendefinisikan kata sastra dengan mengambil artinya lewat KBBI (kamus besar bahasa Indonesia), menurut KBBI arti sastra adalah:
Þ Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari).
Þ Karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.
Arti yang diberikan KBBI ini sama dengan arti yang diberikan Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono. Sedangkan dalam kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai kitab; tulisan; karangan; buku ilmu; dan kesusastraan. Dari definisi yang diberikan kamus kita ini, kita bisa mengartikan sastra sebagai bahasa yang diungkapkan dalam bentuk tulisan atau karangan dengan memiliki daya artistik dan keindahan, baik dalam isi atau ungkapannya. Arti dari kedua kamus itupun tidak jauh dari arti asal sastra dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai makna huruf, bahasa dan karya. Arti yang kita dapatkan dalam dua kamus ini adalah definisi secara minimum, yakni minim-minimnya sastra itu berkisar tentang tulis-menulis. Bagaimana dengan adanya teater, drama, film, nyanyian, pembacaan puisi dan sinetron, apakah semua ini tidak termasuk katagori dalam sastra?.

Sekarang kita coba melihat definisi sastra secara maksimum. Plato dalam bukunya republic, ketika ia menjelaskan tentang dunia ide, ia sedikit menerangkan tentang fungsi sastra. Ia mengatakan bahwa sastra adalah sebuah karya tiruan realitas, yang nota bene adalah wujud tiruan dari dunia ide. Dengan ini Plato mengatakan bahwa sastra jauh dari kebenaran, dalam artian sastra jauh dari dunia nyata kehidupan kita, semuanya hanya daya hayal yang tidak bisa dipegang dan dijadikan poatokan. Beda dengan muridnya, Aristoteles. Ia lebih menempatkan sastra sebagai sesuatu yang agung. Ia berpendapat bahw sastra, terutama tragedi, adalah dunia kemungkinan yang ditemukan dan diciptakan secara nyata oleh pengarangnya. Dengan kata lain, seeorang sastrawan bisa membuat karya sastra yang sangat mirip dengan kehidupan seseorang atau mengambil contoh kehidupan seseorang untuk dijadikan karya sastra.

Dr. Syafiq Abdul Razzaq Abu Sa'dah dosen fakultas Bahasa Arab universitas al-Azhar mengartikan sastra umumnya dan puisi khususnya adalah cerminan kehidupan manusia, ia juga refleksi dari perkembangan kehidupannya dari yang kecil sampai yang besar. Atau Hernowo dalam salah satu tulisannya pernah mengatakan bahwa sastra adalah bagian dari kehidupannya, ini tidak jauh dari definisi yang diberikan Marcel Proust, ia mengatakan bahwa sastra adalah masa lalunya. Dari definisi di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa sastra adalah refleksi dari kehidupan seseorang yang ditulis dengan menggunakan bahasa yang menggugah.
Kalau menurut Nio Joe Lan beda lagi, ia mendefinisikan sastra sebagai cerminan segala apa yang berada dalam sanubari manusia. Dengan definisi ini bisa dikatakan Nio Joe Lan lebih mendekati definisi yang diberikan oleh Hernowo dan Marcel Proust, inti dari sastra ada pada diri sastrawan itu. Mungkin definisi akan tampak bertentangan dengan definisi yang diberikan Dr. Syafiq yang obyek dari sastra lebih banyak dari luar sastrawan itu sendiri.
Di sisi yang lain, orang-orang bayak yang menghubungkan sastra dengan keindahan, kata orang-orang sastra itu harus indah, terus pertanyaannya apakah sastra itu harus indah?. Menurut penulis sastra tidak harus indah, karena letak inti dari sastra pada dasarnya adalah bukan pada keindahan saja, tapi harus didukung dengan tujuan sastra itu. Sebelum kita melangkah lebih jauh lagi, alangka baiknya kalau kita menengok sebentar tentang sastra dalam bahasa Arab (adab), dengan begitu kita bisa mengambil kesimpulan dari keduanya.
Ibn Mnadzur dalam kamusnya Lisanul Arab dan Zubaidi dalam kamusnya Tajul ‘Arusy mengatakan bahwa kata asal adab diambil dari kata adbu atau adb yang bermakna undangan atau ajakan untuk makan. Dari kata itu muncullah kata adab yang diartikan sebagai mengajak seseorang untuk berbuat baik, jadi muaddib adalah seseorang yang mengajak kepada kebaikan dan menyuruh meninggalkan kejelekan. Lamaban laun arti adab menjadi bergeser dari undangan atau ajakan untuk makan menjadi budaya. Sedangkan pada abad ke-3 makna adab digunakan hanya untuk karya prosa dan puisi.

Sedangkan Ibn Khuldun mengartikan adab sebagai mutu (hasil) pada keindahan prosa dan puisi dengan gaya orang-orang Arab. Syamsuddin as-Syakhawi berpendapat bahwa adab adalah sebuah disiplin ilmu yang menerangkan tentang apa-apa yang ada di sanubari seseorang dengan kata-kata atau tulisan. Ada juga yang mengartikan adab sebagai setiap makna kehidupan yang diungkapkan dengan gaya bahasa yang indah.
Begitu juga kata literature dalam bahasa Inggris mempunyai arti creative writing of recognized artistic value. Dalam bahasa Inggris sastra lebih didefinisikan sebgai tulisan yang indah.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa semua definisi tentang sastra dari Indonesia dan Arab hanya berkisar tentang cermin kehidupan-baik seseorang atau secara umum-, tulisan, bahasa, dan keindahan. Dari masa ke masa arti sastra sendiri selalu berubah-ubah mengikuti perubahan dunia. Mungkin orang-orang Indonesia dan Arab mengartikan sastra sebagai bahasa, tulisan dan keindahan, karena pada zaman itu masih belum ada audio dan visual. Hingga saat ini arti sastra masih tersangkut pada masa itu, sehingga banyak orang yang tidak puas dengan definisi sastra yang diberikan para pakar bahasa dan sastrawan sendiri.
Adapun menurut mereka yang mengatakan bahwa sastra itu harus ditulis dengan bahasa yang indah, itu juga bukan sebagai patokan sastra untuk saat ini. Banyak juga karya sastra yang keluar dari batasan keestetikaan yang kita dapatkan pada dunia sastra saat ini. Seperti karya novelis Naguib Mahfouz (1911-2006) yang kental dengan simbolisnya, ia lebih mendekati arti dan tujuan karyanya dari pada keindahan kata-kata dalam karya-karyanya. Sastra seperti juga manusia, keindahan bisa diibaratkan sebagai bentuk tubuh manusia, sedangkan tujuan dan arti dari sastra lebih bisa dibiratkan sebagai dalaman manusia. Saya tidak menafikan keindahan yang digembar-gemborkan sebagian orang, tapi saya lebih memandang perlunya kedua-duanya jalan bersama, dengan begitu mutu sastra itu akan lebih tampak berganda.
Dari semua definisi di atas dan permasalahannya dalam kehidupan era-sekarang, saya bisa menyimpulkan bahwa sastra adalah cerminan dari kehidupan-baik dari sastrawan itu sendiri atau dari lainnya- yang direfleksikan melalui media-media, baik bahasa, tulisan, ataupun audio-visual dengan hiasan artistik, keindahan dan lainnya, dan dengan tujuan tertentu.
Pelangi definisi sastra telah banyak membuat bingung para pakar bahasa dan sastrawan di mana-mana, sejak dahulu hingga sekarang belum ada kata sepakat di dunai sastra untuk mendefinisikan. Mungkin sastra tidak perlu didefinisikan, seperti yang pernah dikatakan Ibn Khuldun. Karena sastra tidak perlu didefinisikan dan tidak butuh pada definisi-definisi, ia akan lebih bebas tanpa baju definisi. Jika orang mendefinisakan sastra, berarti tanpa sengaja ia membatasi ruang cakupan sastra itu sendiri. Sastra itu tidak ada batasannya.



0 comments: