Monday, March 26, 2007

Penjegalan Karya Sastra



"Tidak ada suatu kebenaran yang mutlak kecuali hanya milik-Nya"

Pada tahun 1911, tepatnya tanggal 11 Desember 1911 lahir sastrawan besar Mesir di sebuah kota yang penuh debu dan kotor. Kota Gamaleya yang berada di belakang Khan el-Khalily di sebelah mantiqah al-Azhar dan Husain. Kota itu pernah menjadi ibu kota pada kekhalifaan Fathimiyyin, dari tempat itu muncul ulama'-ulama' dan sastrawan besar. Seorang sastrawan besar berkembagsaan Arab yang bernama Naguib Mahfouz (1911-2006) mendapatkan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra pada tahun 1988, sastrwan inilah yang membuat harum bangsa Arab, karena ia adalah orang Arab yang pertama mendapatkan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra. Ia telah menolehkan tinta emas pada bengsanya yang telah dikenal beribu-ribu tahun dengan keindahan sastranya.




"Tidak ada suatu kebenaran yang mutlak kecuali hanya milik-Nya"

Pada tahun 1911, tepatnya tanggal 11 Desember 1911 lahir sastrawan besar Mesir di sebuah kota yang penuh debu dan kotor. Kota Gamaleya yang berada di belakang Khan el-Khalily di sebelah mantiqah al-Azhar dan Husain. Kota itu pernah menjadi ibu kota pada kekhalifaan Fathimiyyin, dari tempat itu muncul ulama'-ulama' dan sastrawan besar. Seorang sastrawan besar berkembagsaan Arab yang bernama Naguib Mahfouz (1911-2006) mendapatkan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra pada tahun 1988, sastrwan inilah yang membuat harum bangsa Arab, karena ia adalah orang Arab yang pertama mendapatkan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra. Ia telah menolehkan tinta emas pada bengsanya yang telah dikenal beribu-ribu tahun dengan keindahan sastranya.

Ia mulai karirnya menulis Novel dan Cerpen semenjak kecil dan mulai dikenal oleh orang luar berkat sebuah penyataan langsung dari pemikir dan sastrawan Mesir Dr. Thaha Husain. Ia dinyatakan mempunyai tulisan yang indah dan bakat yang tinggi, ia mendapatkan pernyataan itu ketika sebuah cerpennya dibaca oleh Dr. Thaha Husain di sebuah majalah di Cairo. Setelah membaca tulisan Naguib ini, Dr. Thaha Husain langsung menulis sebuah pernyataan langsung berupa resensi cerpennya, bukan main akibat dari tulisan dari Sang Pemikir itu, orang-orang Mesir berbondong-bondong membeli dan membaca tulisannya. Dari situ nama Dr. Naguib Mahfouz melecit jauh melebihi Dr. Thaha Husain sendiri. Kemudian pada tahun 1959 ia menulis sebuah novel yang berjudul "Anak-anak Gebelawii (Children of Gebelawii/Aulad Harrtina)", novel ini ia kirmim ke sebuah majalah untuk diterbitkan secara berkala, baru satu kali saja penerbitan Dr. Naguib Mahfouz dan penerbitnya diperotes oleh kaum agamis, khususnya dari al-Azhar yang pada waktu itu masih kuat-kuatnya memegang pemerintah. Dari mulut Presiden Gamal Abdul Nasir langsung Dr. Naguib Mahfouz mendapatkan kecaman, karena hampir setiap hari sang Presiden mendapatkan telpon protes dari syaikh-syaikh al-Azhar.

Kenapa novel Anak-anak Gebelawii mendapatkan kecaman yang begitu keras dari kaum agamis?, tidak lain karena novel itu dianggap menghujat dan menghina Allah dan agama-agama Abrahamik monoteistik, Yudaisme, Kristen dan Islam sendiri. Setelah mendapatkan kecaman dan protes dari mana-mana itulah nevel Anak-anak Gebelawii tidak jadi diteruskan dan tidak boleh diterbitkan kembali dalam bentuk apapun. Pada tahun 1988 novel ini mendapatkan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra. Tapi begitu pun, novel ini tetap tidak boleh diterbitkan, bahkan kecaman malah menjadi-jadi, beberapa kalangan Mesir yang agamis menjatuhi hukuman "mati" dan murtad, ini mengingatkan kepada seorang penulis asal India yang bernama Salman Rushdie, ia mengarang sebuah buku berjudul "Satanic Verses (1988)", karena dalam buku ini Allah dijadikan tokoh utamanya. Berbagai negara melarang dan memprotes terbit dan beredarnya buku ini. Bahkan pemimpin Iran pada waktu itu Ayatollah Khomeini berpidato pada sebuah radio tentang Rushdie, ia berkata bahwa Rushdie telah keluar dari Islam (Murtad) dan perkataan itu disebut sebagai sebuah fatwa pada waktu itu, padahal Ayatollah sendiri belum pernah membaca bukunya itu.

Begitu juga dengan Dr. Naguib, ia sendiri mendapatkan berbagai tentangan dan protes dari berbagai kalangan, bahkan pernah ia akan dibunuh di dalam rumahnya, sejak itulah kemana pun ia pergi selalu dikawal. Namanya diabadikan dalam sebuah judul lagu milik pemain terompet dan komponis AS Dave Doglas. Pada dasarnya pengalaman Dr. Naguib yang berwarna-warni itu adalah sebuah kehidupan yang wajar dan penuh gairah untuk menangkap pernik-pernik kehidupan, karena itu adalah sebuah tntunan alami seorang sastrawan. Penjegalan terhadap karya sastra seperti inilah yang akan membuat orang semakin menurunkan nilai kemanusiaan, karena hasil karya yang begitu hebat itu tidak mampu dinikmati orang lain yang mestinya akan menikmatinya. Begitu banyak kita jumpai seseorang yang telah mengungkap sebah kenyataan hidup dijadikan bahan guncangan dan bahan tertawaan orang, begitu banyak orang yang telah mampu membuat hidup ini semakin hidup, tapi dijadikan sasaran kebodohan mereka sendiri. Salah satunya adalah karya sastra Dr. Naguib Mahfouz sendiri, banyak orang yang belum mampu menikmati karyanya yang banyak mengangkat tentang kehidupan menengah ke bawah dengan tpendekatan dan gaya surelis. Bagaimana seseorang bisa menhukumi sesuatu yang belum mutlah kesalahan dan kebenarannya itu, novel Anak-anak Gebelawii yang dilarang terbit selama beberapa puluh tahun ini dianggap menyimpang jauh, bahkan menghina Allah, karena di situ dianggap membawa tokoh Allah. Penulis kira Dr. Naguib sendiri tidak bermaksut untuk membawa tokoh Allah dalam novelnya itu, karena tidak pernah dijumpai tokoh yag bernama "Allah" di situ, walaupun penulis tidak menafikan sebuah tokoh yang mempunyai kekuasaan besar di situ. Memang arti Gabalawii sendiri bermakna Pencipta, Penguasa dan Pemaksa, karena kata Gabalawii sendiri dari kata Jabala.

Gabalaweii sendiri mempunyai beberapa anak yang bernama Idris, Abbas, Ridhwan, Jalil dan Adam, mereka semua berasal dari satu ibu, kecuali Adam yang terlahir dari seorang budak. Cerita novel Anak-anak Gabalaweii mirip seperti cerita Nabi Adab, Iblis, dan Hawa di Syurga di awal penciptaan manusia. Novel ini menceritakan tentang keserakahan dan kekuasaan seseorang yang selalu memaksa kehendak orang lain yang lebih lemah, pernah ada orang yang menyerupakan tokoh novel ini (Gabalaweii) dengan presiden Gamal Abd Naseer sehingga ia marah besar. Mungkin saja novel ini akan menjadi sebuah novel pengkritik bagi siapa saja yang selalu memaksakan kehendaknya terhadap si lemah. Dari anak-anak Gabalaweii itu, hanya Adab yang diberi kepercayaan untuk memegang dan mengelola badan wakaf milik ayahnya itu, karena hanya dia saja yang mampu membaca, menulis dan berhitung. Dari sini timbul rasa iri dan dendam pada saudara-saudar lainnya seperti Idris dan lainn-lainnya. Tidak lama kemudian Adam menikah dengan Umaimah, sekali lagi dari nama ini muncul dugaan bahwa ia adalah simbol dari Hawa sendiri, karena Umaymah berasal dari kata Um yang berarti Ibu. Tidak lama kemudian keduanya diusir oleh keluarganya karena telah berani membaca surat rahasia rancangan masa depan dari sang Ayah. Cerita ini sangat mirip dengan cerita nabi Adab dan Hawa, maka banyak sekali orang-orang yang menganggap bahwa Gabalaweii adalah simbol dari Tuhan, sedangkan Adab dan Umaymah adalah simbol dari nab Adab dan Siti Hawa, begitu juga dengan Idris dan saudara-saudaranya lannya dianggap sebagai simbol dari Iblios dan anak cucunya. Hingga saat ini novel ini banyak diteliti oleh para pemikir dan sastrwan. Novel ini mempunyai makna yang ganda, karena setiap orang bisa menafsirkannya dengan seenak hati dan sesuai kadar pemikiran dan pengetahuan masing-masing.

Dalam sejarah kehidupan Dr. Naguib Mahfouz, kita dapat menemukan bahwa ia pernah menjadi pengikut Saad Zaghlul Pasha, pemimpin partai Wafd yang berhaluan nasionalis. Keterlibatan politik itu diakui oelh Naguib sendiri dengan bangga dalam wawancaranya di majalah Eropa. Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa Naguib sendiri mungkn berkeinginan untuk menyindir dan memperbaiki sebuah pemerintahan yang otoriter seperti di Mesir ini. Ia mungkin tidak bermaksut untuk menjadikan Tuhan sebagai tokoh dalam novelnya ini, arti seperti inilah yang belum diktehui oleh orang-orang ada sat itu, itu semua karena mereka menghukumi sesuatu dengan membabi-buta tanpa memeriksa dan mempelajari bahan itu sendiri. Pada awal tahun 2006 novel Anak-anak Gebalawii telah diterbitkan kembali atas pengantar Ahmad Abdul Kamal Abu Ahmad, bahkan tidak diketahui bahwa pada tahun yang sama Dr. Naguib Mahfouz meninggal dunia.

Kairo, 02 Desember 2006



0 comments: