Saturday, November 25, 2006

Gamaliah ke-III

Apartemen-apartemen itu masih menancap kuat. Bersamaan dengan waktu yang selalu berjalan ke depan tanpa mau menengok atau berhenti di tengah-tengah jalan. Bau tidak enak menyebar hampir di seluruh kawasan ini, ketuaan kawasan Gamaliah tidak pernah membuatnya kesepian, hampir puluhan ribu, bahkan mungkin jutaan orang berlalu-lalang dan bertempat di tengah-tengahnya. Salah satunya aku yang sudah sekitar dua bulan setengah bertempat di kota lama ini, atau kota novelis besar Mesir Naguib Mahfouz (1911-2006). Beliau dilahirkan di kota ini, kota yang saat ini kutempati.

Setiap kuberjalan melewati bangunan yang sudah berumur ribuan tahun ini, setiap kumenelusuri lorong-lorong sempit, setiap kumelihat anak-anak kecil Gamaliah yang sedang bermain bersama dengan teman-temannya atau mereka anak-anak kecil Gamaliah yang baru saja pulang dari sekolah, di situlah kumerasa melihat bagaimana Naguib kecil hidup, mungkin seperti itulah novelis besar itu hidup pada masa kecilnya. Mereka berlaria-larian atau kadang-kadang bermain sepak bola. Kadang-kadang aku tak terasa tersenyum sendirian, bagaimana mungkin seorang Naguib kecil yang hidup di sebuah daerah yang tua penuh debu dan kotoran seperti itu bisa membuahkan sebuah karya yang tidak akan pernah dilupakan oleh orang-orang. Di sini memang kehidupannya sangat menyenangkan, aku bisa merasakan bagaimana Naguib kecil bermain dan belajar, aku juga bisa merasakan bagaimana kebudayaan khilafah Fatimiyyin mulai dibangun dan mendapatkan masa keemasannya.
Photobucket - Video and Image Hosting Photobucket - Video and Image Hosting
Pernah suatu kali temanku kuajak mampir ke flatku ini, ia kuajak menelusuri lorong-lorong yang lusuh dan berdebu, bahkan baunya tidak enak. Ketika ia mulai masuk ke tempat ini, ia kaget, bahkan ia bertanya kepadaku "bagaimana kamu bisa hidup dan bertahan di tempat ini?" aku tidak pernah menjawabnya. Aku hanya memberi jalan supaya ia mau menjawab dirinya sendiri. Ia berpendapat, bahwa kota Gamaliah adalah kota terburuk di Mesir, kota terkumuh dan terkotor di Mesir. Mungkin mereka banyak berpendapat seperti itu, aku tidak pernah menyalahkan pendapat mereka, kenapa? Ya...karena mungkin setiap pendapat tidak akan pernah mempunyai kebenaran yang mutlak. Aku mungkin berpendapat yang berbeda dengan mereka, aku berpendapat bahwa kota Gamaliah adalah kota terindah dan terbaik di seluruh Mesir ini, baik dari awal pembangunannya sampai saat ini. Di sini setelah aku hidup sekian lama itu, aku bisa melihat miniatur dari kehidupan seluruh orang Mesir, bahkan semua kehidupan orang di seluruh dunia. Dari mulai anak kecil sampai tua, dari laki-laki sampai wanita, dari pekerjaannya sampai bagaimana mereka tidur. Luar biasa sekali, budaya yang jarang sekali kita temui di tempat lainnya di seluruh negeri ini.

Dari kota ini saja, Naguib Mahfouz bisa membuat dua buah novel yang bersetting di Gamaliah sendiri, seperti Khan El Khalily yang menceritakan tentang hari dan malam-malam di bulan Ramdhan di kota Gamaliah dan sekitarnya termasuk Husain dan masjidnya. Yang kedua adalah Lorong Mida (Ziqaqul Midaq) yang menceritakan lorong-lorong jalan yang ada di Gamaliah, lorong-lorong yang diapit oleh apartemen-apartemen yang sudah tua, bahkan mau runtuh. Lorong-lorong di Gamaliah tidak pernah ada akhirnya, ia bercabang-cabang dan sempit, unik dan berbahaya sekali, karena sekali anda tersesat, mungkin anda tidak akan pernah bisa kembali lagi.

Sampai sekarang, entah sudah berapa kali aku melewati lorong-lorong itu, aku pernah mencoba untuk melewati sebuah lorong yang belum pernah kukenal sama sekali, akibatnya aku harus kembali lagi, karena aku tersesat entah ke mana. Sangat menakutkan sekali, apalagi ketika malam hari, di sana ada puluhan anjing liar yang sedang tertidur atau mengorek-ngorek sampah untuk mendapatkan makanan. Sekali anda lewat tanpa teman atau membawa kayu, anjing-anjing itu akan mengejar anda, karena merasa kawasannya telah dilewati. Belum lagi ketemu dengan pemuda-pemuda yang nakal, wah...anda bisa pulang tanpa pakaian sama sekali. Lorong-lorong yang mengerikan sekali.
Photobucket - Video and Image Hosting Photobucket - Video and Image Hosting
Aku berharap sekali dari hidup di kota Naguib ini, aku bisa mendapatkan sebuah pengalaman hidup dan dapat mengenal kebudayaan di Mesir. Aku memang suka berpetualang, suka dengan hal-hal yang sukar dan menegangkan. Sampai sat ini, aku sudah sering mengunjungi tempat-tempat pariwisata dan kota-kota yang sudah dianggap hilang, itupun harus lihat kantong dulu, apa sedang tebal atau kering. Seperti satu bulan kemarin, ketika selesai Idul Fitri, aku sebenarnya tidak ada niat untuk kemana-mana, waktu itu ada teman yang mengajakku ke Piramid, sebenarnya sudah sejak pertama kali aku berkeinginan sekali untuk melihat dari dekat salah satu bangunan dari tujuh keajaiban dunia itu. Tapi aku selalu tidak ada kesempatan, baru pada waktu itulah aku mulai mengunjungi bangunan bersejarah itu. Ternyata tiket untuk masuk ke Piramid itu tidak semahal yang kubayangkan dahulu, hanya 20 pound untuk pelajar, sedangkan 50 pound untuk Turis dan pelancong, untuk orang Mesir sendiri hanya 5 pound. Di sana aku bisa mendapatkan banyak pengalaman dan bisa mengenal kebudayaan orang lain. Aku sempat membayangkan bagaimana orang-orang Mesir membuat Piramid sebesar itu. Aku juga membayangkan bagaimana seandainya aku bisa ketemu dengan Dr. Zahi Hawas, ia seorang arkeolog (ahli purbakala) Mesir yang diberi tanggung jawab untuk meneliti, mengatur dan merawat semua hal yang berhubungan dengan keperpubakalaan. Bahkan namanya terkenal di dunia arkeolog Eropa, seperti Prancis, Amerika Serikat dan Inggris.

Tidak lama kemudian, sekitar dua hari kemudian aku bersama teman-teman serumah pergi jalan-jalan kembali ke Madinatul Qanathir, kota ini termasuk kota parawisata di Mesir. Untuk pergi ke kota itu bisa ditempuh dengan dua jalan, yang pertama lewat darat dengan menggunakan bis dari Tahrir atau Ramsis. Yang ke dua lewat sungai, bisa menggunakan kapal angkutan lewat sungai Nil. Jalan ke dua itulah yang sedang kugunakan waktu itu, karcis yang digunakan sebesar 5 pound, waktu yang ditempuh dalam perjalanan ini sekitar 2-3 jam. Untuk masuk ke kapalnya, kami harus antri bersabar dan diperiksa oleh petugas, karena tidak semua orang diperbolehkan masuk ke kapal, hanya orang-orang yang membawa keluarganya saja yang boleh masuk ke kapal. Mereka yang mau berduaan saja tidak boleh masuk ke kapal, kecuali mereka yang sudah bertunangan dengan membawa cincin atau surat dari orang tua mereka. Ditengah perjalanan antara Tahrir ke Qanathir itu, aku melihat keindahan sungai yang terawat rapi, burung-burung semacam Bangau hidup di pinggir-pinggir sungai Nil, atau kadang-kadang mereka membuat sarang di tengah-tengah sungai yang berumput tenggi.
Photobucket - Video and Image Hosting Photobucket - Video and Image Hosting Photobucket - Video and Image Hosting
Yang paling menakjubkan adalah suguhan live-ya, di atas perahu angkutan itu, aku melihat anak kecil berumur sekitar 16 tahunan sedang menari dengan diiringi tepuk tangan dari orang tua dan keluarganya. Pinggul digoyang sampai hampir mau patah, belum pernah dalam hidupku di Mesir ini melihat tari perut live seperti itu. Beberapa menit kemudian kakak perempuannya yang sudah berumur sekitar 20-an bergoyang menggantikan adiknya, tapi goyangan kakaknya ini tidak seberani goyangan adiknya tadi, walaupun goyangannya tidak kalah indahnya juga. Kami menikmati semua sajian seperti itu di kapal yang membawa kami ke Qanathir. Untuk mengisi waktu yang kosong, aku bersama teman-teman berfoto bersama pemuda-pemudi Mesir yang ada di samping kami.

Dua jam kemudian kapal berhenti di sebuah terminal Qanathir, hari itu pengunjung banyak sekali, jalan-jalan dipadati orang-orang yang sedang melakukan rekreasi liburan Hari Raya. Yang paling banyak adalah muda-mudinya. Lagu remix dari kafe-kafe di pinggir-pinggir jalan terdengar keras sekali, muda-mudi berjoget ria di dalamnya dengan penyanyi seorang laki-laki muda. Untuk masuk ke kafe-kafe itu kita hanya dipungut biaya 1 pound, itu belum makanan dan minumnya, itu hanya tiket masuknya saja. Sebenarnya hari itu aku bersama teman-teman mau mancing ikan di bendungannya, tapi itu tidak jadi kami lakukan karena kami melihat tidak ada yang memancing di sana. Kalau hari-hari biasa mungkin banyak sekali orang-orang yang sedang mancing ikan di bendungannya. Setelah Ashar kemudian kami pulang, tapi sebelum kami pulang kami akan mampir ke rumah teman kami yang ada di Madinatul Qanathir, dengan tempat pariwisata itu. Dalam perjalanan itulah aku terkejut bukan main, karena aku melihat keindahan yang luar biasa, aku melihat keindahan sungai Nil di waktu sore di atas jalan yang di bangun di atas sungai Nil. Sayang kamera yang kupegang baterainya sedang habis, jadi aku tidak bisa memotretnya. Suasananya cukup indah dan membuat orang menjadi bengong. Pengalaman-pengalaman berharga seperti itu muncul begitu saja tanpa terkirakan. Mungkin suatu saat aku akan pergi ke Qanathir lagi, aku masih belum puas untuk menjelajahinya.

24 November 2006
Baca Selanjutnya Bro..