Friday, August 04, 2006

Keabsahan Sastra

Keabsahan Sastra
Pada zaman pra-Islam


Pada saat ini sastra, budaya dan seni pada zaman pra-islam telah diteliti dan menjadi sebuah penelitian yang sangat menakjubkan, karena tidak sedikit ahli bahasa yang memperkirakan ketidak adaan sastra pada zaman itu, diantaranya adalah sesuai faham-faham orang Barat yang diikuti oleh Dr. Thaha Husain sebagai pembesar ahli bahasa di abad ke-19, sebagai abad keemasan perkembangan sastra modern. Dr. Thaha Husain mengikuti teori para peneliti sastra dan bahasa Barat, seperti Deckareth, Goethe, Margelius, Newldcah dan Allord. Untuk meneliti kembali faham-faham mereka tentang sastra di masa pra-Islam, kita perlu menengok kembali sekitar 150 atau 200 tahun sebelum Islam datang, untuk mencari bukti-bukti di masa itu tidaklah semudah kita membalikkan telapak tangan, karena disamping begitu jauh jarak masa antara masa kita dengannya, juga karena bukti-bukti itu banyak yang sudah hilang. Diantara faham yang diikuti oleh Dr. Thaha Husain tentang kedudukan sastra di masa pra-islam adalah tentang kebenaran syair-syair pra-Islam, ia berpendapat bahwa syair-syair pra-Islam yang sekarang masih ada dan bisa kita nikmati adalah bukan karya mereka, akan tetapi karya orang-orang pada zaman Islam sendiri. Dr. Thaha Husain sendiri menyatakan dalam bukunya “Fi Adabil Jahily (Sejarah sastra pra-Islam)” dengan komentar yang membuat panas dunia keilmuan, ia berkomentar begini”Pada dasarnya, Al-Qur’an adalah sebagai cermin bagi kehidupan pada zaman pra-Islam, masalah ini sangat jarang kita dengar dan tidak menutup kemungkinan kita bisa memahaminya lebih lanjut. Kita bisa melihat banyak orang yang takjub dengannya ketika sedang membaca dan mempelajarinya, karena di dalamnya penuh dengan keindahan sastra, bahkan tak segan-segan orang-orang Arab pada saat itu berdebat dengan Nabi, hingga saat ini Al Qur’an menjadi sebuah bahan perdebatan yang sangat hangat dan dengan sengit antara orang Islam sendiri atau lintas agama. Bahkan mungkin kita akan menyakininya bahwa Al-Qur’an adalah baru, semuanya ditulis oleh orang Arab dan dibuat dengan bahasa dan dengan bentuk keindahan-keindahan sastra mereka sendiri. Di Al Qur’an juga diterangkan tentang agama-agama selain Islam yang dianggap sebagai agama yang salah, begitu juga tentang perbedaan suku dalam Arab..”. Dari konsep Dr. Thaha Husain itu kita bisa mengetahui alur pemikirannya yang berbeda dengan ulama’-ulama’ zaman dahulu, bahkan ia beranggapan Al Qur’an adalah baru, berbeda dengan anggapan-anggapan dan keyakinan-keyakinan Ahlus Salaf.

Semua ini tidaklah lain karena dilihat dari segi sastra, kita bisa berbeda pendapat dalam hal apapun, ketika kita berbeda cara memandangnya. Dari konsep itu juga kita bisa memahaminya, bahwa Dr. Thaha Husain menganggap bahwa kehidupan pada zaman pra-Islam dengan kehidupan yang digambarkan di dalam Al Qur’an tidak sama, ada beberapa titik perbedaannya. Dengan ini juga secara otomatis berbeda dengan yang digambarkan di syair-syair pada zaman pra-Islam. Dr. Thaha Husain ternyata sudah melihat pada ketiga sisi itu, dari sisi Al-Qur’an, sejarah zaman pra-Islam dan syair-syairnya, ia ingin tahu dan memang sudah tahu perbedaan masing-masing. Contoh yang nyata yang diambil Dr. Thaha Husain untuk memperkuat argumennya adalah pada masalah perbedaan suku dan bahasa di Benua Arab, kita ketahui bahwa orang Arab sendiri terdiri dari berbagai macam suku, budaya dan bahasa, sekarang pertanyaanya adalah kenapa di dalam syair-syair pra-Islam kita tidak melihat perbedaan itu?, akan tetapi di Al Qur’an kita bisa melihat perbedaan itu. Mungkin pertanyaan inilah yang mempengaruhi daya berfikir Dr. Thaha Husain, dalam melihat sejarah bangsa dan sastranya. Kita bisa melihat di dalamnya terdapat berbagai suku, setiap suku mempunyai bahasa masing-masing, seperti suku Thamim dengan Mudhar, begitu juga bahasa, bahasa arab Selatan dan Utara juga berbeda, kenapa di dalam syair-syairnya kita tidak bisa menemukan perbedaan itu?. Seandainya penulis bisa bertemu Dr. Thaha Husain, mungkin akan mengajukan satu pertanyaan dasar buatnya, apakah Dr. Thaha Husain sudah melihat kebudayaan bangsa Indonesia yang bermacam-macam?. Dengan pertanyaan itu penulis yakin bisa sedikit menyelesaikan konflik yang memanjang sampai sekarang ini.

Di Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan ras, sangat memungkinkan untuk bersatu, bahkan setiap suku mempunyai bahasa sendiri-sendiri, kita ambil saja bahasa Jawa dengan bahasa Minang, kedua suku itu mempunyai bahasa yang berbeda, belum suku-suku yang lainnya. Perbedaan bahasa di Indonesia bisa disatukan dengan Bahasa Persatuan Indonesia, begitu juga yang terjadi di dalam tubuh bangsa Arab sendiri, dari berbagai bahasa yang ada di Benua Arab itu, hanya satu bahasa yang diambil untuk dijadikan bahasa pemersatu, yaitu bahasa Quraisy. Para ahli bahasa Arab telah menyepakati, bahwa bahasa yang digunakan untuk mempersatukan seluruh bangsa di Benua Arab adalah bahasa suku Quraisy, karena bangsa Quraisy memiliki strategi yang memungkinkan dalam hal politik, ekonomi dan kebudayaan, bangsa atau suku Quraisy dianggap sebagai suku paling mulia. Berbagai aset yang membuat mereka mulia di mata lainnya adalah karena adanya Ka’bah, pasar Ukkadz (sebagai pasar sastra pada zaman itu), jalur perdagangan yang menguntungkan dan pasar dagang yang paling banyak dkunjungi oleh luar bangsa Arab. Sehingga hampir seluruh kebutuhan hidup bisa didapatkan di daerah Quraisy. Faktor terpenting yang dapat membuat mereka lebih mulia dari lainnya adalah pasar sastra Ukkadz-nya, di sana tempat para penyair membacakan sayairnya, tempat lomba syair dan pantun, tempat musyawarah syair, dan tempat para ahli sastra meriwayatkan sastra baik sayir atau prosa secara lisan ke lisan.

Pasar 'Ukkadz telah menjadi pasar favorit di daratan Arab, sehingga para penyair dari berbagai suku bermunculan untuk membacakan syair mereka di sana, tentunya syairnya dalam bentuk bahasa yang bisa dipahami oleh sekitarnya, bahasa yang bisa dipahami, mudah dan sudah dikenal adalah bahasa Quraisy. Dari sinilah kenapa syair-syair pra-Islam hanya berbentuk satu bahasa saja, tidak mencerminkan multi-bahasa. Seperti dalam bahasa ‘Amiyah Mesir yang saat ini menjadi bahasa ‘Amiyah seluruh kawasan Arab. Ini bisa dilihat pada penyanyi-penyanyi Arab yang memakai bahasa pemersatu selain bahasa Arab Fushah, yaitu bahasa Amiyah Mesir, baik di Mesir sendiri atau di negara-negara lainnya, seperti Libanon, Libya, Tunis dan Maroco. Semua ini bisa dijadikan bahan perbandingan untuk masa lalu. Sebagian budaya Arab pra-Islam masih bisa kita temukan di zaman kita ini. Perbandingan budaya antara masa satu dengan lainya, antara budaya yang satu dengan yang lainnya sangat memungkinkan untuk mendapatkan jawaban bagi sebuah pertanyaan atau sebuak problem, karena penulis kira tidak semua kebudayaan selalu bertentangan, ada kadang-kadang yang semakin berhubungan dan mempunyai keeratan, seperti halnya kebudayaan bangsa Indonesia dengan bangsa Arab yang mempunyai suku dan bahasa yang doble, keduanya mempunyai bahasa pemersatu sendiri yang dijadikan sebagai alat pemersatu berbagai suku dan kebudayaan itu. Jadi konsep yang dikemukakan oleh Dr. Thaha Husain tentang masalah-masalah sastra masih perlu dikaji ulang, masih perlu membandingkan peradaban yang lainnya.

Setelah kita mengetahui beberapa masalah tadi, kita coba melihat sebab-sebab Dr. Thaha Husain mengikuti konsep-konsep orang Barat itu, diantaranya adalah:

1-Di dalam syair-syair pra-Islam tidak ada penjelasan tentang masalah politik, agama, ekonomi dan pemikiran bangsa Arab pra-Islam secara hakikatnya seperti yang diterangkan di dalam Al-Qur’an.
2-Di dalamnya tidak terdapat perbedaan ejaan atau bahasa.

Diantara konsep-konsep yang membuat perdebatan dikalangan ahli bahasa sendiri itu juga membawa beberapa justivikasi, justivikasi ini sesuai yang dikatakan oleh Prof. Dr. Muhammad Ahmad Al Ghamrawi:

1-Konsep-konsep yang dikeluarkan oleh ahli bahasa Barat membawa perdebatan yang bermanfaat bagi perkembangan sastra Arab sendiri.
2-Konsep Barat diambil dari Filosofis-filosofis di Eropa.

Dengan hasil penelitian yang dilakukan di Prancis hingga saat ini, sastra arab telah berkembang begitu pesat, bahkan mulai dikembangkan di negara Prancis. Bahkan perkembangan sastra arab di sana lebih pesat dari pada di Arab sendiri, ini bisa dilihat dari para ahli bahasa yang dikeluarkan dari universita-universitas di sana, alur pemikirannya lebih obyektif dari pada ahli bahasa arab yang belajar di Arab sendiri. Dr. Thaha Husain sebagai peletak pertama bagi pondasi-pondasi alur pemikiran tentang sastra arab yang sampai saat ini konsep-konsepnya dikaji berjuta-juta orang di dunia.

Cairo, 06 Juli 2006
Baca Selanjutnya Bro..