Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), sebuah nama yang masih terngiang-ngiang di gendang telingaku. Masih terbayang senyumnya yang telah merasakan kemenangan atas segala usahanya selama ini. Ya-ya, Pram menjelma menjadi sosok yang menyenangkan bagiku- getaran jiwanya yang kumaksud -. Masih ingat sekali kapan pertama kali nama Pram kudengar, saat ia ditangisi oleh setiap anak bangsa. Ketika itu banyak teman-teman menyebut namanya seperti mengalahkan sebuah dzikir kepada Tuhannya sendiri. Apakah saat itu Pram telah sedemikian terkenal sehingga Tuhan pun bisa dilupakan? Tentunya tidak! Beberapa hari ini, setelah aku selesai membaca serial novel sejarah Gajah Mada milik Langkit Kresna Hariadi, aku berestafet membaca karya Pram. Bergetar dan berdegup kenjang jantungku ketika baru menginjak lima halaman pertama. Salah satu Roman tetraloginya yang berjudul BUMI MANUSIA atau This Earth of Mankind telah habis kulalap. Kecepatan membacaku terhadap roman ini tidak secepat ketika membaca novel-novel yang lain, karena aku banyak menemukan perkataan Pram bah seperti intan. Berkilau indah dan menarik perhatian. Dan sangat ambigu jika dipikirkan dengan terperinci.
Gaya berceritanya cukup mengalir dan perkataannya hampir tidak ada kemandekan. Ini adalah karya yang unik sekaligus jarang. Aku menemukan keunikan pada karya Pram yang satu ini dan (Apakah semua karyanya sama seperti Bumi Manusia, akupun belum tahu). Karyanya ini ternyata pernah dioralkan sebelum ditulis pada tahun 1973 dan ditulis dalam bentuk cerita Roman pada tahun 1975. Ini adalah dasar yang unik yang pernah kubaca dan kuketahui selama ini.
Melihat tulisannya yang tampak menggebu-gebu dan berkobar-kobar, tentu tidak akan jauh dari sebuah psikitis sang penulis. Mungkin, Pram adalah manusia yang super, bukan saja ia seorang penulis ulung, namun lebih jauh lagi ia seorang Psikolog atau psikater hebat yang pernah kuketahui. Seorang penulis memang harus mampu mempengaruhi pembacanya, sehingga bagi seorang penulis sangat dibutuhkan sebuah ilmu psikolog. Ilmu ini akan dapat menunjang terjadinya pengaruh terhadap pembaca.
Pram telah mampu lebih jauh dari pada hanya seorang penulis kawakan dan psikater, ia juga seorang yang selalu mengedepankan ideologi keadilan, kejujuran, kebersihan hati dan pemberontakan atas ketidak-benaran segala apa yang ada di bumi. Setidaknya roman BUMI MANUSIA telah memuat berbagai macam sindiran terhadap politik kolonial Belanda zaman dahulu (Dan apakah hanya kolonial Belanda saja yang menjadi sasaran kepedasannya. Ini tentu tidak!). Roman ini tidak hanya membelejeti sebuah kesalahan konsep kolonial Belanda, namun juga dapat dijadikan tamparan pemerintahan saat.
Kisah cinta yang dipaparkan cukup membuat bulu ronaku merinding. Bahkan aku begidik ketika sampai pada babak pertentangan dan akhir dari buku ini. Aku hampir menjerit ketika secara beruntun Pram menuturkan keadaan yang serba tidak pasti dan permasalahan. Memang itulah sebuah permasalahan yang hingga saat ini belum juga tuntas. Dari perbudakan, perebutan kekuasaan, kesemena-menaan, kekuasaan otoriter, poligami, cinta, penghianatan dan kesetiaan. Tentang kesamaan hak tanpa dipengaruhi oleh warna kulit, agama, ras, dan lain-lain adalah bumbu yang selalu membuat batuk setiap orang. Inilah Roman yang membuat hatiku terguncang dahsyat ketika membacanya.
Kalau dilihat dari segi tulisan, apa yang kukatakan di awal tulisan sebenarnya tidak sebuah pujian omong kosong belaka. Tulisannya yang tampak tegas dan terasa menggebu-gebu sangat mewakili apa itu sebuah roman pemberontakan. Ya-ya, pemberontakan tentang ketidak-benaran sebuah konsep umum dan konsep perbedaan atau perbedaan tatanan kehidupan di dalam sebuah kehidupan. Kalau tulisan Pram bisa disandarkan dengan ilmu BALAGHA di Arab, maka tulisan Pram sudah mewakili apa yang dinamakan IJAZ dan I’NAB. Apa itu Ijaz? Ijaz adalah sebuah tulisan yang sedikit namun sarat makna yang banyak dan luas. Sedangkan I’nab adalah memperpanjang sebuah tulisan berdasarkan makna yang dibutuhkan. Tulisan Pram yang tampak ringkas, padat, dan pendek itu telah mewakili makna yang luas. Ambigu yang dimainkan oleh Pram dalam tulisannya patut dicermati dan dinikmati. Kalau mengingat tulisan Pram yang ambigu, setidaknya aku mengingat sosok novelis tua asal Mesir. Naguib Mahfouz (1911-2006) mungkin bisa dikatakan sebagai sosok yang tidak kalah dengan Pram.
Novelis Naguib Mahfouz mendapatkan nobel sastra Swedia lantaran tulisannya yang ambigu, seperti halnya Pram yang mendapatkan penghargaan besar melalui menjadi nominator nobel sastra Swedia. Ada satu perkataannya yang hingga saat ini masih mendengung di telinga, yaitu ketika Pram menulis sebuah perkataan yang tidak kalah indahnya dengan intan dan berlian. Pram berkata; TANPA SEMANGAT, TAK AKAN ADA API. Perkataannya ini sangat ringkas dan padat, namun penuh makna yang panjang dan luas sekali. Setidaknya perkataannya itu telah mewakili sebuah ideologi yang mutlak telah dimiliki oleh seorang Pram.
Begitu pun dengan tulisannya yang berbunyi; Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima. Tulisannya yang satu ini bisa dikatan akan menjadi sebuah catatan emas bagiku. Lalu datang yang lain; Seseorang harus adil sudah sejak dalam pikiran, jangan ikut-ikutan jadi hakim tentang perkara yang tidak diketahui benar-tidaknya. Atau; Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.
Mungkin, yang mendasari lahirnya Roman BUMI MANUSIA adalah ketidak-puasannya tentang ketidak-adilan Orde Baru saat itu. Cerita yang dikisahkan oleh Pram, kalau bisa ditarik benang merahnya, maka akan bisa mewakili cerita ketidak-enakan Pram ketika menjadi tahanan atas ketidak-salahannya. Menjadi tahanan yang tidak mempunyai kebebasan ternyata tidak enak dan menyakitkan. Bahkan aku yakin, bahwa Pram tidak akan pernah memaafkan atas ketidak-adilan ini. Bahkan aku sendiri tidak rela atas semua itu terjadi. Ketika membaca Roman ini, aku bisa merasakan dengan pasti bagaimana rasanya KETIDAK-BEBASAN, padahal raga dan tubuh ini milik diri sendiri, bukan milik orang lain. Setidaknya Pram mengajarkan kepadaku, bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama dan kebebasan yang sama, jangan sok menjadi TUHAN yang otoriter. Bahkan Tuhan pun bukan sosok yang otoriter dalam segala hal, Tuhan adalah yang memberi pilihan pada setiap makhluknya. Dan bagaimana ada manusia yang berani sesombong itu mencoba bersaing dengan Tuhan sendiri?.
Roman yang mengikuti madzab romantisme ini membuatku banyak mengumpat, lantaran endingnya yang menyakitkan. Setidaknya tokoh Minke (baca; Mingke) dengan Annelies membuat hati ini ketar-ketir sedak dini. Pram juga dapat menggambarkan setiap tokoh dalam Roman ini sedemikian jelas, dari Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh, tuan Mellema, dua Robert dan lain-lainnya.
Akhir ceritanya cukup menyayat hati, tidak kalah dengan cerita Layla dan Majnun, namun lebih menyyat hati lagi. Kalau Layla dan Majnun bisa bertemu lagi walaupun dalam kematian, namun cerita ini diakhiri dengan perpisahan antara Minke dan Annelies. Sungguh menyakitkan.
Melihat ini, aku bisa melihat bahwa sosok Pram selalu gelisah, baik tentang masalah kehidupannya sendiri, atau ketika dia melihat kehidupan orang lain. Kegelisahannya itu ditulis dan akhirnya bisa dinikmati oleh orang lain. Tidak nyana, bahwa sebuah kegelisahan yang berkobar-kobar akhirnya bisa mempengaruhi orang lain hingga begitu rupa. Ah, aku berharap kegelisahan itu akan mendapatkan obatnya.
Dan akhirnya aku bisa berbangga bahwa aku pernah mengenal seorang Pram. Entah apakah di tanah air sudah bisa melahirkan Pram ke dua. Dan apakah suatu saat akan ada sastrawan tanah air yang bisa menembus nobel sastra Swedia setelah Pram?. Semoga saja tingkat imajinasi di tanah air meninggat setelah ditinggal Pram.
Bathniyyah, tanggal 12 Pebruari 2007
Melihat tulisannya yang tampak menggebu-gebu dan berkobar-kobar, tentu tidak akan jauh dari sebuah psikitis sang penulis. Mungkin, Pram adalah manusia yang super, bukan saja ia seorang penulis ulung, namun lebih jauh lagi ia seorang Psikolog atau psikater hebat yang pernah kuketahui. Seorang penulis memang harus mampu mempengaruhi pembacanya, sehingga bagi seorang penulis sangat dibutuhkan sebuah ilmu psikolog. Ilmu ini akan dapat menunjang terjadinya pengaruh terhadap pembaca.
Pram telah mampu lebih jauh dari pada hanya seorang penulis kawakan dan psikater, ia juga seorang yang selalu mengedepankan ideologi keadilan, kejujuran, kebersihan hati dan pemberontakan atas ketidak-benaran segala apa yang ada di bumi. Setidaknya roman BUMI MANUSIA telah memuat berbagai macam sindiran terhadap politik kolonial Belanda zaman dahulu (Dan apakah hanya kolonial Belanda saja yang menjadi sasaran kepedasannya. Ini tentu tidak!). Roman ini tidak hanya membelejeti sebuah kesalahan konsep kolonial Belanda, namun juga dapat dijadikan tamparan pemerintahan saat.
Kisah cinta yang dipaparkan cukup membuat bulu ronaku merinding. Bahkan aku begidik ketika sampai pada babak pertentangan dan akhir dari buku ini. Aku hampir menjerit ketika secara beruntun Pram menuturkan keadaan yang serba tidak pasti dan permasalahan. Memang itulah sebuah permasalahan yang hingga saat ini belum juga tuntas. Dari perbudakan, perebutan kekuasaan, kesemena-menaan, kekuasaan otoriter, poligami, cinta, penghianatan dan kesetiaan. Tentang kesamaan hak tanpa dipengaruhi oleh warna kulit, agama, ras, dan lain-lain adalah bumbu yang selalu membuat batuk setiap orang. Inilah Roman yang membuat hatiku terguncang dahsyat ketika membacanya.
Kalau dilihat dari segi tulisan, apa yang kukatakan di awal tulisan sebenarnya tidak sebuah pujian omong kosong belaka. Tulisannya yang tampak tegas dan terasa menggebu-gebu sangat mewakili apa itu sebuah roman pemberontakan. Ya-ya, pemberontakan tentang ketidak-benaran sebuah konsep umum dan konsep perbedaan atau perbedaan tatanan kehidupan di dalam sebuah kehidupan. Kalau tulisan Pram bisa disandarkan dengan ilmu BALAGHA di Arab, maka tulisan Pram sudah mewakili apa yang dinamakan IJAZ dan I’NAB. Apa itu Ijaz? Ijaz adalah sebuah tulisan yang sedikit namun sarat makna yang banyak dan luas. Sedangkan I’nab adalah memperpanjang sebuah tulisan berdasarkan makna yang dibutuhkan. Tulisan Pram yang tampak ringkas, padat, dan pendek itu telah mewakili makna yang luas. Ambigu yang dimainkan oleh Pram dalam tulisannya patut dicermati dan dinikmati. Kalau mengingat tulisan Pram yang ambigu, setidaknya aku mengingat sosok novelis tua asal Mesir. Naguib Mahfouz (1911-2006) mungkin bisa dikatakan sebagai sosok yang tidak kalah dengan Pram.
Novelis Naguib Mahfouz mendapatkan nobel sastra Swedia lantaran tulisannya yang ambigu, seperti halnya Pram yang mendapatkan penghargaan besar melalui menjadi nominator nobel sastra Swedia. Ada satu perkataannya yang hingga saat ini masih mendengung di telinga, yaitu ketika Pram menulis sebuah perkataan yang tidak kalah indahnya dengan intan dan berlian. Pram berkata; TANPA SEMANGAT, TAK AKAN ADA API. Perkataannya ini sangat ringkas dan padat, namun penuh makna yang panjang dan luas sekali. Setidaknya perkataannya itu telah mewakili sebuah ideologi yang mutlak telah dimiliki oleh seorang Pram.
Begitu pun dengan tulisannya yang berbunyi; Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima. Tulisannya yang satu ini bisa dikatan akan menjadi sebuah catatan emas bagiku. Lalu datang yang lain; Seseorang harus adil sudah sejak dalam pikiran, jangan ikut-ikutan jadi hakim tentang perkara yang tidak diketahui benar-tidaknya. Atau; Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.
Mungkin, yang mendasari lahirnya Roman BUMI MANUSIA adalah ketidak-puasannya tentang ketidak-adilan Orde Baru saat itu. Cerita yang dikisahkan oleh Pram, kalau bisa ditarik benang merahnya, maka akan bisa mewakili cerita ketidak-enakan Pram ketika menjadi tahanan atas ketidak-salahannya. Menjadi tahanan yang tidak mempunyai kebebasan ternyata tidak enak dan menyakitkan. Bahkan aku yakin, bahwa Pram tidak akan pernah memaafkan atas ketidak-adilan ini. Bahkan aku sendiri tidak rela atas semua itu terjadi. Ketika membaca Roman ini, aku bisa merasakan dengan pasti bagaimana rasanya KETIDAK-BEBASAN, padahal raga dan tubuh ini milik diri sendiri, bukan milik orang lain. Setidaknya Pram mengajarkan kepadaku, bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama dan kebebasan yang sama, jangan sok menjadi TUHAN yang otoriter. Bahkan Tuhan pun bukan sosok yang otoriter dalam segala hal, Tuhan adalah yang memberi pilihan pada setiap makhluknya. Dan bagaimana ada manusia yang berani sesombong itu mencoba bersaing dengan Tuhan sendiri?.
Roman yang mengikuti madzab romantisme ini membuatku banyak mengumpat, lantaran endingnya yang menyakitkan. Setidaknya tokoh Minke (baca; Mingke) dengan Annelies membuat hati ini ketar-ketir sedak dini. Pram juga dapat menggambarkan setiap tokoh dalam Roman ini sedemikian jelas, dari Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh, tuan Mellema, dua Robert dan lain-lainnya.
Akhir ceritanya cukup menyayat hati, tidak kalah dengan cerita Layla dan Majnun, namun lebih menyyat hati lagi. Kalau Layla dan Majnun bisa bertemu lagi walaupun dalam kematian, namun cerita ini diakhiri dengan perpisahan antara Minke dan Annelies. Sungguh menyakitkan.
Melihat ini, aku bisa melihat bahwa sosok Pram selalu gelisah, baik tentang masalah kehidupannya sendiri, atau ketika dia melihat kehidupan orang lain. Kegelisahannya itu ditulis dan akhirnya bisa dinikmati oleh orang lain. Tidak nyana, bahwa sebuah kegelisahan yang berkobar-kobar akhirnya bisa mempengaruhi orang lain hingga begitu rupa. Ah, aku berharap kegelisahan itu akan mendapatkan obatnya.
Dan akhirnya aku bisa berbangga bahwa aku pernah mengenal seorang Pram. Entah apakah di tanah air sudah bisa melahirkan Pram ke dua. Dan apakah suatu saat akan ada sastrawan tanah air yang bisa menembus nobel sastra Swedia setelah Pram?. Semoga saja tingkat imajinasi di tanah air meninggat setelah ditinggal Pram.
Bathniyyah, tanggal 12 Pebruari 2007
0 comments:
Post a Comment