Di depan Istana Putih terdapat taman yang sangat indah. Taman itu ditumbuhi oleh rumput yang hijau, terhampar seperti permadani berwarna hijau. Selain beberapa pohon kurma dan pohon palem, di dalam taman terdapat beratus-ratus bunga dengan warna yang bermacam-macam. Ada bunga teratai dengan berbagai warna dan ukuran, mawar dan lain-lainnya. Di samping taman itu, tidak terlalu jauh dari Istana Putih, terlihat anak sungai Nil meliuk-liuk, menari dan berirama dengan merdunya. Airnya bergelombang santun. Matahari yang sedang tersenyum malu-malu itu terlihat enak dipandang. Wajahnya bagai dihamburi oleh jutaan intan yang berkilauan indah. Kilauan air anak sungai Nil pun memancar seperti hamparan jamrud.
“Matahari itu yang membuat semuanya tampak hidup. Air sungai Nil berkilauan bah ditaburi intan-berlian. Kumbang datang menyapa bunga-bunga yang sedang mekar indah itu. Manusia mendapatkan kehangatan dan kehidupan. Matahari yang menghidupkan segala-galanya di bumi itu. Ya, matahari yang menghidupi segala makhluk, bukan Osiris, Horus, bahkan Seth atau dewa-dewa lainnya.” Di dalam dada anak kecil itu bergemuruh kata-kata yang memeberontak. Sungguh aneh, anak sekecil itu sudah mampu memikirkan hal yang sebesar itu. Anak kecil itu menoleh, ketika ia mendengar ada suara langkah kaki dari belakangnya.
“Nefertiti, apa yang sedang engkau lakukan di sini?” Gadis kecil yang dipanggil Nefertiti itu hanya diam. Kepalanya di balikkan kembali. Dua matanya yang selalu berbinar-binar terang tak jemuh-jemuhnya melihat matahari di timur itu. Seakan ia sedang menjawab, “aku sedang melihatnya. Melihat Dewa segala alam. Dewa yang memberi kenikmatan kepada semua makhluk di bumi ini.”
“Engkau menyukainya? Apakah engkau tahu, bahwa ia adalah Dewa Aten?” Kata anak laki-laki di sampingnya. Anak laki-laki itu sudah duduk di samping Nefertiti. Dua mata Nefertiti tiba-tiba terlihat lebih terang dari matahari yang ditatapnya itu.
“Aten?” Tanya Nefertiti tidak mengerti. Anak laki-laki yang ada di sampingnya tidak menjawab. Tiba-tiba saja anak laki-laki itu menjadi bisu. Tidak bisa bicara.
“Amenhotep, apa maksud perkataanmu itu? Setahuku, tidak ada Dewa bernama Aten dalam keyakinan kita. Bukankah begitu, Amenhotep? Ibu Tiye belum pernah memberi tahu kepadaku, bahwa dewa matahari itu bernama Aten. Mereka memang pernah bercerita, bahwa dewa matahari bernama Ra dan dewa bulan bernama Amon. Bukan dewa Aten! Lalu apa dewa Aten yang engkau maksud itu?” Nefertiti memburu. Anak laki-laki yang dipanggilnya Amenhotep itu tetap membungkam mulutnya. Mukanya ditekuk ke bawah.
Sebelum Amenhotep menjawab pertanyaan Nefertiti, ia terlebih dahulu melirikkan matanya ke kiri dan kanan. Tidak ada!, teriak hati kecil Amenhotep yang mempunyai nama lengkap Amenhotep IV. “Nefertiti, apakah engkau mau menjaga rahasia terbesarku?”
“Rahasia apa?” Tuntut Nefertiti. “Apakah engkau mau? Kalau mau, saya akan menceritakannya kepadamu.” Potong cepat Amenhotep. Nadanya memaksa. Dua matanya menyala seperti ada api di dalamnya. Nefertiti hampir terlonjak kaget ketika menemukan dua mata menyala itu. Setahunya, belum pernah ia melihat dua mata Amenhotep IV menyala seperti api. Ini pertama kalinya ia melihat. Namun, dua tangan Amenhotep memegang erat tangan Nefertiti. “Kalau tidak. Jangan banyak bicara. Dan lupakan perkataanku tadi. Jangan engkau sebarkan kepada orang lain. Mengerti!?!”
“Baiklah, saya akan menjaga rahasiamu,” Jawabnya kemudian. Itupun setelah ia berpikir, bahwa ada sesuatu yang unik dalam pikiran Amenhotep dan ada sesuatu yang ia ingin ketahui. Bukankah ia sendiri mengkultuskan matahari? Tidak ada salahnya untuk mengetahui rahasai terbesar seorang yang ia kagumi. Mungkinkah ia akan mengatakan bahwa Amenhotep menyukaiku?, kata hati kecilnya berharap-harap.
“Engkau mau bersumpah?” Ucap Amenhotep IV untuk menyakinkan. “Saya bersumpah demi para dewa; Isis, Nephthys, Hator, Osiris dan Horus, bahwa saya akan menyimpan rahasiamu, Amenhotep.” Sumpah Nefertiti sambil mengangkat tangan kanannya ke langit. Dua mata Amenhotep yang tadi membara, tiba-tiba padam seperti terkena air es oleh sumpah Nefertiti.
Wajah Amenhotep IV yang tadi tampak garang, tiba-tiba bercahaya oleh sebuah senyuman puas. Amenhotep IV telah berubah menjadi anak laki-laki kecil yang lugu, polos dan biasa. Semua pikiran, ambisi, dan keyakinannya dihalangi oleh sifat kekanak-kanakannya, kepolosannya dan keluguannya. Orang-orang disekitarnya tidak tahu, bahwa Amenhotep mempunyai gagasan, bisa disebut ambisi, yang berbeda dengan pendahulunya, atau bahkan ayahnya Amenhotep III sebagai Pharaoh di Mesir yang menguasai Nil dari hulu sampai hilir. Ayahnya adalah Pharaoh terbesar yang pernah menyatukan berbagai bangsa di dalam kekuasaannya dan memajukan roda pemerintahannya bersama ibunya Ratu Tiye. Kekuasaannya yang luas, meliputi berbagai bangsa dan ras menjadi damai dan tenang dalam pemerintahan ayahnya Raja Amenhotep III.
Ia sendiri adalah anak sulung dari Raja Amenhotep III dan akan menjadi pewaris kerajaannya setelah kakaknya Tuthmose meninggal di usia muda. Ia mempunyai tiga saudari yaitu Beketaten, Sitamun, and Isis. Kelak ia akan menjadi Pharaoh terkenal dan diingat banyak orang. Gayanya yang nyentrik, penuh seni, pembaharuan dan satu-satunya Pharaoh Mesir yang tidak mau disembah, dan pembaharuannya dalam keyakinan dinasti ke-18 akan banyak diingat orang setelahnya.
Sambil berucap, Amenhotep menatap matahari yang sedang bersinar terang-terangnya itu. Tatapan matanya kadang-kadang jatuh ke arah wajah Nefertiti yang sedang mekar-mekarnya. “Wajahnya tiap hari tambah sedap dipandang, benar-benar sesuai dengan namanya. Nefer-titi, Pesona Telah Datang! Suatu hari nanti, saya ingin dia yang mendampingiku duduk di kursi singgasanah kerajaan ini.” Bisik hati Amenhotep saat matanya jatuh di pipi kanan Nefertiti.
Nefertiti menoleh seakan merasakan debaran jantung Amenhotep. Ia merasakan ‘sinyal-sinyal cinta’ Amenhotep. Sebuah kesepakatan suci yang tersimpan rapi di dalam hati Amenhotep. Begitu pun Amenhotep, Nefertiti pula tidak mampu menyembunyikan rasa sukanya kepada Amenhotep. Bukti rasa sukanya adalah sumpahnya untuk menyimpan rahasia Amenhotep. Sumpah yang baru diucapkannya bukan sekali-kali karena ia takut dengan ancaman Amenhotep, namun itulah lagu hatinya, pengakuan cintanya. Ia merasakan betapa berharganya suatau saat jika ia bisa memimpin rakyat Mesir bersama Amenhotep. Menjadi Ratu yang ikut serta dalam pemerintahan seperti halnya Ratu Hatshepsut. Ratu Mesir terhebat dalam sejarah Pharaoh di Mesir selama berabad-abad. Hatshepsut adalah Pharaoh perempuan yang pernah memegang kerajaan di Mesir paling lama dan hebat dari Pharaoh-pharaoh perempuan lainnya. Walaupun ambisi Nefertiti tidak sebanding dengan Amenhotep, namun ambisi dua anak baru memasuki dunia dewasa itu bisa dikatakan sepadan, bahkan sama. Membangun keyakinan baru dan menghapus keyakinan-keyakinan lama.
“Suatu saat nanti, ketika saya sudah memegang Waas –tongkat kekuasaan atau simbol kekuasaan- maka pertama-tama yang ingin kulakukan adalah menjadikan Aten sebagai satu-satunya dewa bagi seluruh makhluk di bumi. Semua dewa yang disembah oleh nenek moyang kita hanyalah fiksi. Tidak nyata. Dewa matahari Aten-lah yang tampak dan jelas fungsinya.”
“Ya, akhir-akhir ini saya juga memikirkannya ketika sedang duduk di sini disaat matahari baru muncul atau terbenam. Di otakku sering bermunculan pertanyaan, siapa sebenarya dewa bagi bumi dan makhluk yang mendiaminya ini? Apakah Isis yang menciptakan air sungai Nil dari tetesan air matanya, atau Osiris yang menjaga Nil dari kehancuran oleh Seth, ataukah Horus yang menjaga dari datangnya kegelapan dan utusannya Apeb makhluk paling menakutkan itu. Saya tidak tahu dan percayalah, bahwa saya adalah orang pertama yang akan mendukung keinginanmu itu, Amenhotep.”
Dua mata Amenhotep berkaca-kaca mendengar jawaban tidak terduga-duga Nefertiti. Hampir saja ia memeluk Nefertiti seandainya ia tidak cepat-cepat menyadari, bahwa dewa Aten melihatnya. Betapa malu dirinya dilihat dewa Aten. Ingin rasanya ia mengajak Nefertiti lari ke dalam Istana Putih dan memeluknya di sana. Menciumnya dan berterima kasih atas dukungannya. “Inilah ratuku nanti!” Hati Amenhotep berteriak kencang. Ia berharap dewa Aten tidak mengetahui bahasa hatinya.
<><><><><><><><><><>
Tidak ada yang tahu bagaimana isi otak Amenhotep. Jalinan pemikirannnya dan ambisisusnya. Beberapa tahun kemudian, ketika ayahnya Amenhotep III memaksanya menikah, sebenarnya, yang ingin ia pilih adalah Nefertiti. Namun sang ayah, memilihkan adiknya Sitamun sebagai calon permaisuri untuknya. Tidak mungkin ia menolaknya. Adat istiadat keluarganya memang harus dinomor satukan, kecuali apa yang sudah diyakininya tentunya, akhirnya ia menerima walaupun dengan hati gunda dan tidak senang. Nefertiti yang mengetahui perjodohan itu memilih mengurung di dalam kamar dan jarang keluar. Di dalam kamarnya itu, ia bisa menumpahkan semua kesedihannya melalui air mata. Kadang-kadang ia berdoa kepada dewa Aten yang telah diyakininya, berharap perjodohan itu gagal dan berpindah kepadanya. Apakah ada keajaiban seperti itu?
Jalinan asmaranya dengan Amenhotep IV semakin kuat di dalam penderitaan. Bukan ia semakin kecewa atau putus asa, akan tetapi ia semakin kuat berdoa kepada dewa Aten, ketika matahari pagi menyinari kamarnya lewat jendela. Ia tahu, kejaiban akan datang kalau keyakinananya kuat dan landasan pikirannya benar. Semakin kuat ia berdoa. Semakin ia jarang bertemu dengan Amenhotep IV, kekasihnya. Ia hanya bertemu beberapa kali dalam sehari yaitu ketika makan bersama atau ketika ia sedang keluar kamar untuk mencari bunga lotus, bunga kesukaannya dan lambang kecantikannya.
“Nefertiti, apakah engkau marah kepadaku? Sehingga engkau selalu berdiam di dalam kamar dan tidak pernah mau menemuiku.” Tanya Amenhotep IV suatu sore hari ketika mereka bertemu di pinggir anak sungai Nil.
Nefertiti menghindari pandangan Amenhotep IV yang tampak selalu memaksa. Ia tahu bahwa, bagaimana pun juga, ia akan tetap bisa berdampingan dengan Amenhotep IV. Tadi malam ia diberi tahu oleh ibu tirinya Ratu Tiye, bahwa ia akan dicalonkan sebagai selir bagi Amenhotep IV. Ia selalu mengatakan kepada dirinya sendiri, bahwa selir lebih baik daripada ia sama sekali tidak berdampingan dengan Amenhotep IV. Ia tidak bisa hidup tanpa Amenhotep IV, seperti halnya ia tidak akan pernah bisa hidup tanpa dewa Aten. Ia tidak menjawab pertanyaan Amenhotep IV. Ia memilih pergi menghindar. Hatinya sepertinya hancur berkeping-keping. Panggilan Amenhotep IV tidak dihiraukan lagi.
<><><><><><><><><><>
Suatu hari, ketika Amenhotep IV sudah memegang Waas dan menikah dengan adiknya Sitamun, hati Nefertiti semakin hancur. Ingin rasanya ia menceburkan dirinya ke dalam sungai Nil, berharap ular raksasa sebagai lambang kegelapan yaitu Apeb melahapnya. Menguasainya. Dan jiwa jahatnya memasukinya untuk membalas dendam atas sakit hatinya, karena Amenhotep IV memungkiri janjinya. Namun dewa Horus dengan lambang burung elang yang dijadikan lambang di mahkotanya masih membukakan jalan untuknya. Menjernihkan otaknya dan memberinya ide baru.
Beberapa bulan kemudian, Sitamun meninggal setelah menderita sakit cukup lama. Kematian Sitamun memberinya lowongan untuk mendapatkan Amenhotep IV seutuhnya. Dan benar saja, bahwa permaisuri yang dipilih oleh Amenhotep IV sendiri adalah dirinya. Amenhotep IV telah menjadi Pharaoh dan siapa pun tidak berhak memaksanya, menyruhnya atau menggertaknya. Ayahnya Amenhotep III pun tidak berhak memaksanya untuk menikah kepada siapapun, bahkan ibunya Tiye sekalipun, apalagi para rakyatnya.
Nefertiti sekarang menjadi perempuan pertama di Mesir. Kekuasannya hanya terbatas atas suaminya, bahkan kadang-kadang suaminya menurut kepadanya. Ambisi Nefertiti semakin melambung. Suaminya Pharaoh Amenhotep IV telah mengubah namanya menjadi Akhenaten (Jiwa dari Aten) dan nama Ratu Nefertiti menjadi Neferneferuaten-Nefertiti (Dewa Aten Memancarkan Sinarnya, kerana Pesona Telah Datang). Agama baru telah dihidupkan. Rakyat Mesir tidak lagi beragama politeis akan tetapi menjadi agama monoteis. Mereka mengikuti cara sembahyang Akhenaten ketika menyembah Dewa Matahari Aten, satu-satunya dewa yang disembah dan dipercaya. Kalau Akhenaten hanya memperbaiki dalam hal cara ibadah kepada Dewa Aten, berbeda dengan Nefertiti yang membangun dan memajukan hal-hal lainnya. Ia yang mampu meredam gejolak pemberontakan para pendeta Amon yang kehilangan pekerjaannya akibat pergantian agama oleh Akhnaten. Bahkan setelah suaminya Akhenaten meninggal, nanti ia akan bertahta sendirian dan merajai Mesir dengan nama lain yaitu Smenkhkare. Di waktu akhir pemerintahan Akhnaten pun, nama Nefertiti sudah tidak lagi terdengar, hanya nama Smenkhkare yang menjadi mashur dan banyak dikenal orang.
Setelah suaminya Pharaoh Akhnaten meninggal, ia mengubah namanya dan memindahkan kota pemerintahannya dari Amarna ke Memphis. Dialah Nefertiti yang agung dan Pesona Telah Datang yang pernah memerintah dengan Akhnaten sebelum masa pemerintahan putra tirinya Tutankhamen. Ia menghilang setelah berkuasa bersama suaminya Akhnaten dan mengubah kultur Mesir menjadi baru. Perkawinan Nefertiti dengan Pharaoh Akhnaten hanya dikaruniai enam anak perempuan, yaitu Meritaten, Meketaten, Ankhesenepaten (Berubah Ankhesenamun), Neferneferuaten, Neferneferure, Setepenre. Ia pergi bersama angin dan hilang ditelan ombak Nil. Jiwanya terbang dan bersinar seperti Dewa Matahari Aten yang diyakininya. Menyinari bangsanya. Mengontrol kekuasaannya di Dunia Kematian. Nefertiti dan Akhnaten tetap hidup dengan wajah baru yang bersinar-sinar terang.
NB; Banyak teori mengenai Nefertiti. Identias asli Nefertiti juga masih dalam perdebatan para Arkeolog di dunia. Apakah ia asli orang Mesir atau orang Mittani (Iran) yang didatangkan untuk perjodohan. Siapa nama orang tuanya, apakah ia putra dari Ay yang mempunyai istri bergelar ‘Ibu Susuan Nefertiti’. Atau konspirasi lainnya. Hingga sekarang, Nefertiti menjadi bacaan paling unik dan mengesankan. Jasadnya tidak ditemukan seperti jasad-jasad para Pharaoh lainnya. Ia terkenal dengan patung kepalanya yang ada di Musium Berlin, Jerman.
Baca Selanjutnya Bro..
“Engkau menyukainya? Apakah engkau tahu, bahwa ia adalah Dewa Aten?” Kata anak laki-laki di sampingnya. Anak laki-laki itu sudah duduk di samping Nefertiti. Dua mata Nefertiti tiba-tiba terlihat lebih terang dari matahari yang ditatapnya itu.
“Aten?” Tanya Nefertiti tidak mengerti. Anak laki-laki yang ada di sampingnya tidak menjawab. Tiba-tiba saja anak laki-laki itu menjadi bisu. Tidak bisa bicara.
“Amenhotep, apa maksud perkataanmu itu? Setahuku, tidak ada Dewa bernama Aten dalam keyakinan kita. Bukankah begitu, Amenhotep? Ibu Tiye belum pernah memberi tahu kepadaku, bahwa dewa matahari itu bernama Aten. Mereka memang pernah bercerita, bahwa dewa matahari bernama Ra dan dewa bulan bernama Amon. Bukan dewa Aten! Lalu apa dewa Aten yang engkau maksud itu?” Nefertiti memburu. Anak laki-laki yang dipanggilnya Amenhotep itu tetap membungkam mulutnya. Mukanya ditekuk ke bawah.
Sebelum Amenhotep menjawab pertanyaan Nefertiti, ia terlebih dahulu melirikkan matanya ke kiri dan kanan. Tidak ada!, teriak hati kecil Amenhotep yang mempunyai nama lengkap Amenhotep IV. “Nefertiti, apakah engkau mau menjaga rahasia terbesarku?”
“Rahasia apa?” Tuntut Nefertiti. “Apakah engkau mau? Kalau mau, saya akan menceritakannya kepadamu.” Potong cepat Amenhotep. Nadanya memaksa. Dua matanya menyala seperti ada api di dalamnya. Nefertiti hampir terlonjak kaget ketika menemukan dua mata menyala itu. Setahunya, belum pernah ia melihat dua mata Amenhotep IV menyala seperti api. Ini pertama kalinya ia melihat. Namun, dua tangan Amenhotep memegang erat tangan Nefertiti. “Kalau tidak. Jangan banyak bicara. Dan lupakan perkataanku tadi. Jangan engkau sebarkan kepada orang lain. Mengerti!?!”
“Baiklah, saya akan menjaga rahasiamu,” Jawabnya kemudian. Itupun setelah ia berpikir, bahwa ada sesuatu yang unik dalam pikiran Amenhotep dan ada sesuatu yang ia ingin ketahui. Bukankah ia sendiri mengkultuskan matahari? Tidak ada salahnya untuk mengetahui rahasai terbesar seorang yang ia kagumi. Mungkinkah ia akan mengatakan bahwa Amenhotep menyukaiku?, kata hati kecilnya berharap-harap.
“Engkau mau bersumpah?” Ucap Amenhotep IV untuk menyakinkan. “Saya bersumpah demi para dewa; Isis, Nephthys, Hator, Osiris dan Horus, bahwa saya akan menyimpan rahasiamu, Amenhotep.” Sumpah Nefertiti sambil mengangkat tangan kanannya ke langit. Dua mata Amenhotep yang tadi membara, tiba-tiba padam seperti terkena air es oleh sumpah Nefertiti.
Wajah Amenhotep IV yang tadi tampak garang, tiba-tiba bercahaya oleh sebuah senyuman puas. Amenhotep IV telah berubah menjadi anak laki-laki kecil yang lugu, polos dan biasa. Semua pikiran, ambisi, dan keyakinannya dihalangi oleh sifat kekanak-kanakannya, kepolosannya dan keluguannya. Orang-orang disekitarnya tidak tahu, bahwa Amenhotep mempunyai gagasan, bisa disebut ambisi, yang berbeda dengan pendahulunya, atau bahkan ayahnya Amenhotep III sebagai Pharaoh di Mesir yang menguasai Nil dari hulu sampai hilir. Ayahnya adalah Pharaoh terbesar yang pernah menyatukan berbagai bangsa di dalam kekuasaannya dan memajukan roda pemerintahannya bersama ibunya Ratu Tiye. Kekuasaannya yang luas, meliputi berbagai bangsa dan ras menjadi damai dan tenang dalam pemerintahan ayahnya Raja Amenhotep III.
Ia sendiri adalah anak sulung dari Raja Amenhotep III dan akan menjadi pewaris kerajaannya setelah kakaknya Tuthmose meninggal di usia muda. Ia mempunyai tiga saudari yaitu Beketaten, Sitamun, and Isis. Kelak ia akan menjadi Pharaoh terkenal dan diingat banyak orang. Gayanya yang nyentrik, penuh seni, pembaharuan dan satu-satunya Pharaoh Mesir yang tidak mau disembah, dan pembaharuannya dalam keyakinan dinasti ke-18 akan banyak diingat orang setelahnya.
Sambil berucap, Amenhotep menatap matahari yang sedang bersinar terang-terangnya itu. Tatapan matanya kadang-kadang jatuh ke arah wajah Nefertiti yang sedang mekar-mekarnya. “Wajahnya tiap hari tambah sedap dipandang, benar-benar sesuai dengan namanya. Nefer-titi, Pesona Telah Datang! Suatu hari nanti, saya ingin dia yang mendampingiku duduk di kursi singgasanah kerajaan ini.” Bisik hati Amenhotep saat matanya jatuh di pipi kanan Nefertiti.
Nefertiti menoleh seakan merasakan debaran jantung Amenhotep. Ia merasakan ‘sinyal-sinyal cinta’ Amenhotep. Sebuah kesepakatan suci yang tersimpan rapi di dalam hati Amenhotep. Begitu pun Amenhotep, Nefertiti pula tidak mampu menyembunyikan rasa sukanya kepada Amenhotep. Bukti rasa sukanya adalah sumpahnya untuk menyimpan rahasia Amenhotep. Sumpah yang baru diucapkannya bukan sekali-kali karena ia takut dengan ancaman Amenhotep, namun itulah lagu hatinya, pengakuan cintanya. Ia merasakan betapa berharganya suatau saat jika ia bisa memimpin rakyat Mesir bersama Amenhotep. Menjadi Ratu yang ikut serta dalam pemerintahan seperti halnya Ratu Hatshepsut. Ratu Mesir terhebat dalam sejarah Pharaoh di Mesir selama berabad-abad. Hatshepsut adalah Pharaoh perempuan yang pernah memegang kerajaan di Mesir paling lama dan hebat dari Pharaoh-pharaoh perempuan lainnya. Walaupun ambisi Nefertiti tidak sebanding dengan Amenhotep, namun ambisi dua anak baru memasuki dunia dewasa itu bisa dikatakan sepadan, bahkan sama. Membangun keyakinan baru dan menghapus keyakinan-keyakinan lama.
“Suatu saat nanti, ketika saya sudah memegang Waas –tongkat kekuasaan atau simbol kekuasaan- maka pertama-tama yang ingin kulakukan adalah menjadikan Aten sebagai satu-satunya dewa bagi seluruh makhluk di bumi. Semua dewa yang disembah oleh nenek moyang kita hanyalah fiksi. Tidak nyata. Dewa matahari Aten-lah yang tampak dan jelas fungsinya.”
“Ya, akhir-akhir ini saya juga memikirkannya ketika sedang duduk di sini disaat matahari baru muncul atau terbenam. Di otakku sering bermunculan pertanyaan, siapa sebenarya dewa bagi bumi dan makhluk yang mendiaminya ini? Apakah Isis yang menciptakan air sungai Nil dari tetesan air matanya, atau Osiris yang menjaga Nil dari kehancuran oleh Seth, ataukah Horus yang menjaga dari datangnya kegelapan dan utusannya Apeb makhluk paling menakutkan itu. Saya tidak tahu dan percayalah, bahwa saya adalah orang pertama yang akan mendukung keinginanmu itu, Amenhotep.”
Dua mata Amenhotep berkaca-kaca mendengar jawaban tidak terduga-duga Nefertiti. Hampir saja ia memeluk Nefertiti seandainya ia tidak cepat-cepat menyadari, bahwa dewa Aten melihatnya. Betapa malu dirinya dilihat dewa Aten. Ingin rasanya ia mengajak Nefertiti lari ke dalam Istana Putih dan memeluknya di sana. Menciumnya dan berterima kasih atas dukungannya. “Inilah ratuku nanti!” Hati Amenhotep berteriak kencang. Ia berharap dewa Aten tidak mengetahui bahasa hatinya.
<><><><><><><><><><>
Tidak ada yang tahu bagaimana isi otak Amenhotep. Jalinan pemikirannnya dan ambisisusnya. Beberapa tahun kemudian, ketika ayahnya Amenhotep III memaksanya menikah, sebenarnya, yang ingin ia pilih adalah Nefertiti. Namun sang ayah, memilihkan adiknya Sitamun sebagai calon permaisuri untuknya. Tidak mungkin ia menolaknya. Adat istiadat keluarganya memang harus dinomor satukan, kecuali apa yang sudah diyakininya tentunya, akhirnya ia menerima walaupun dengan hati gunda dan tidak senang. Nefertiti yang mengetahui perjodohan itu memilih mengurung di dalam kamar dan jarang keluar. Di dalam kamarnya itu, ia bisa menumpahkan semua kesedihannya melalui air mata. Kadang-kadang ia berdoa kepada dewa Aten yang telah diyakininya, berharap perjodohan itu gagal dan berpindah kepadanya. Apakah ada keajaiban seperti itu?
Jalinan asmaranya dengan Amenhotep IV semakin kuat di dalam penderitaan. Bukan ia semakin kecewa atau putus asa, akan tetapi ia semakin kuat berdoa kepada dewa Aten, ketika matahari pagi menyinari kamarnya lewat jendela. Ia tahu, kejaiban akan datang kalau keyakinananya kuat dan landasan pikirannya benar. Semakin kuat ia berdoa. Semakin ia jarang bertemu dengan Amenhotep IV, kekasihnya. Ia hanya bertemu beberapa kali dalam sehari yaitu ketika makan bersama atau ketika ia sedang keluar kamar untuk mencari bunga lotus, bunga kesukaannya dan lambang kecantikannya.
“Nefertiti, apakah engkau marah kepadaku? Sehingga engkau selalu berdiam di dalam kamar dan tidak pernah mau menemuiku.” Tanya Amenhotep IV suatu sore hari ketika mereka bertemu di pinggir anak sungai Nil.
Nefertiti menghindari pandangan Amenhotep IV yang tampak selalu memaksa. Ia tahu bahwa, bagaimana pun juga, ia akan tetap bisa berdampingan dengan Amenhotep IV. Tadi malam ia diberi tahu oleh ibu tirinya Ratu Tiye, bahwa ia akan dicalonkan sebagai selir bagi Amenhotep IV. Ia selalu mengatakan kepada dirinya sendiri, bahwa selir lebih baik daripada ia sama sekali tidak berdampingan dengan Amenhotep IV. Ia tidak bisa hidup tanpa Amenhotep IV, seperti halnya ia tidak akan pernah bisa hidup tanpa dewa Aten. Ia tidak menjawab pertanyaan Amenhotep IV. Ia memilih pergi menghindar. Hatinya sepertinya hancur berkeping-keping. Panggilan Amenhotep IV tidak dihiraukan lagi.
<><><><><><><><><><>
Suatu hari, ketika Amenhotep IV sudah memegang Waas dan menikah dengan adiknya Sitamun, hati Nefertiti semakin hancur. Ingin rasanya ia menceburkan dirinya ke dalam sungai Nil, berharap ular raksasa sebagai lambang kegelapan yaitu Apeb melahapnya. Menguasainya. Dan jiwa jahatnya memasukinya untuk membalas dendam atas sakit hatinya, karena Amenhotep IV memungkiri janjinya. Namun dewa Horus dengan lambang burung elang yang dijadikan lambang di mahkotanya masih membukakan jalan untuknya. Menjernihkan otaknya dan memberinya ide baru.
Beberapa bulan kemudian, Sitamun meninggal setelah menderita sakit cukup lama. Kematian Sitamun memberinya lowongan untuk mendapatkan Amenhotep IV seutuhnya. Dan benar saja, bahwa permaisuri yang dipilih oleh Amenhotep IV sendiri adalah dirinya. Amenhotep IV telah menjadi Pharaoh dan siapa pun tidak berhak memaksanya, menyruhnya atau menggertaknya. Ayahnya Amenhotep III pun tidak berhak memaksanya untuk menikah kepada siapapun, bahkan ibunya Tiye sekalipun, apalagi para rakyatnya.
Nefertiti sekarang menjadi perempuan pertama di Mesir. Kekuasannya hanya terbatas atas suaminya, bahkan kadang-kadang suaminya menurut kepadanya. Ambisi Nefertiti semakin melambung. Suaminya Pharaoh Amenhotep IV telah mengubah namanya menjadi Akhenaten (Jiwa dari Aten) dan nama Ratu Nefertiti menjadi Neferneferuaten-Nefertiti (Dewa Aten Memancarkan Sinarnya, kerana Pesona Telah Datang). Agama baru telah dihidupkan. Rakyat Mesir tidak lagi beragama politeis akan tetapi menjadi agama monoteis. Mereka mengikuti cara sembahyang Akhenaten ketika menyembah Dewa Matahari Aten, satu-satunya dewa yang disembah dan dipercaya. Kalau Akhenaten hanya memperbaiki dalam hal cara ibadah kepada Dewa Aten, berbeda dengan Nefertiti yang membangun dan memajukan hal-hal lainnya. Ia yang mampu meredam gejolak pemberontakan para pendeta Amon yang kehilangan pekerjaannya akibat pergantian agama oleh Akhnaten. Bahkan setelah suaminya Akhenaten meninggal, nanti ia akan bertahta sendirian dan merajai Mesir dengan nama lain yaitu Smenkhkare. Di waktu akhir pemerintahan Akhnaten pun, nama Nefertiti sudah tidak lagi terdengar, hanya nama Smenkhkare yang menjadi mashur dan banyak dikenal orang.
Setelah suaminya Pharaoh Akhnaten meninggal, ia mengubah namanya dan memindahkan kota pemerintahannya dari Amarna ke Memphis. Dialah Nefertiti yang agung dan Pesona Telah Datang yang pernah memerintah dengan Akhnaten sebelum masa pemerintahan putra tirinya Tutankhamen. Ia menghilang setelah berkuasa bersama suaminya Akhnaten dan mengubah kultur Mesir menjadi baru. Perkawinan Nefertiti dengan Pharaoh Akhnaten hanya dikaruniai enam anak perempuan, yaitu Meritaten, Meketaten, Ankhesenepaten (Berubah Ankhesenamun), Neferneferuaten, Neferneferure, Setepenre. Ia pergi bersama angin dan hilang ditelan ombak Nil. Jiwanya terbang dan bersinar seperti Dewa Matahari Aten yang diyakininya. Menyinari bangsanya. Mengontrol kekuasaannya di Dunia Kematian. Nefertiti dan Akhnaten tetap hidup dengan wajah baru yang bersinar-sinar terang.
NB; Banyak teori mengenai Nefertiti. Identias asli Nefertiti juga masih dalam perdebatan para Arkeolog di dunia. Apakah ia asli orang Mesir atau orang Mittani (Iran) yang didatangkan untuk perjodohan. Siapa nama orang tuanya, apakah ia putra dari Ay yang mempunyai istri bergelar ‘Ibu Susuan Nefertiti’. Atau konspirasi lainnya. Hingga sekarang, Nefertiti menjadi bacaan paling unik dan mengesankan. Jasadnya tidak ditemukan seperti jasad-jasad para Pharaoh lainnya. Ia terkenal dengan patung kepalanya yang ada di Musium Berlin, Jerman.