Friday, February 27, 2009

Across The Nightingale Floor


Oleh Lian Hearn

“IBUKU selalu mengancam akan mencabik- cabik aku menjadi delapan bila aku menjatuhkan ember, atau aku pura-pura tidak mendengar panggilannya untuk segera pulang saat hari telah senja dan teriakan jangkrik kian meninggi.”

Sepenggal paragraf di atas adalah awal dari cerita Kisah Klan Otori; Across The Nightingale Floor, karya Lian Hearn. Kono, menurut cerita, kisah ini ditulis oleh Lian Hearn dengan menyepi. Mencari kesunyian untuk dapat mengumpulkan semua ilham. Ya, tidak jarang memang, para penulis yang berhasil harus bersusah payah ketika menuangkan tinta penahnya. Diantaranya mungkin, seperti penulis Asmaraman Khoo Ping Hoo, Pram, atau penulis-penulis lainnya.






Kisah Klan Otori; Across The Nightingale Floor, memang lain dari lainnya. Seingatku, dari puluhan bacaan yang pernah kubaca, dan ratusan bahkan mungkin ribuan kisah yang pernah kujamah, hanya cerita Kisah Klan Otori ang memungkinkanku untuk memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya. Ini, bukan karena hanya gaya bahasanya yang sungguh memikat, bukan karena metafornya yang meloncat-loncat, atau hanya karena ceritanya yang memang membuat terkagum-kagum. Kalau dilihat dari segala-galanya, mulai gaya bahasanya, metafornya, alur ceritanya, atau bahkan pesan cerita ini, sungguh mengagumkan.


Setidaknya, ada beberapa hal yang memikat di cerita ini; pertama; dari segi alurnya, jarang ditemui, kecuali ketika sang aku (Takeo) menceritakan tentang Kaede. Alurnya normal, tidak ribet seperti halnya kisah-kisah lainnya. Kisah dimulai dari masa kanak-kanak Tomasu yang akhirnya diganti nama oleh Lord Shigeru (Ayah Angkat Takeo), masa sedih, masa mencekam karena beberapa rahasia tentang Takeo mulai terkuak. Lalu perjalanan Takeo ikut berperang melawan Lord Iida yang ingin menguasai Tiga Negara sekaligus dan orang nilah yang telah menghancurkan perkampungan Takeo hingga diangkat menjadi anak angkat oleh Lord Shigeru dari Klan Otori.

"Dia memiliki semua ciri-ciri Kikuta: jari yang panjang, garis lurus yang melintang di telapak tangan, pendengaran yang tajam. Pendengaran yang tajam ini akan datang tiba-tiba di masa puber, terkadang diikuti dengan tidak bisa berbicara, umumnya sementara, tapi bisa juga selamanya...."

Takeo ternyata adalah keturunan Tribe Kikuta. Sebuah organisasi pembunuh bayaran yang terkenal kehebatannya. Dan ternyata, memang, di dalam diri Takeo menyimpan darah itu, darah seorang pembunuh. Sebab darah itulah, kelebihan-kelebihan dari moyangnya itu terus menghantuinya. Untung, Takeo dibesarkan oleh kaum Hidden sejak kecil yang terkenal dengan kelembutan dan kasih sayangnya, apalagi di sampingnya ada Lord Shigera yang memang terkenal kebijaksanaannya. Darah pembunuh yang dimilikinya tidka membuatnya menjadi jahat, bahkan kelebihan-kelebihan itu akhirnya menjadi berkah baginya, dna khususnya bagi klan Otori. Ketika masa puber, kelebihan-kelebihan itu benar-benar muncul, pendengaran telinganya menjadi begitu tajam, bahkan ia mempunyai kelebihan bisa menggandakan tubuhnya.

Muto Kenji, guru Takeo juga seorang Tribe pernah menyatakan bahwa, “ada lima keluarga Tribe. Mereka telah ada sebelum munculnya para bangsawan dan klan. Kisah ini berawal dari masa ketika sihir lebih kuat dari senjata, dan dewa-dewa inasih berjalan di bumi. Saat klan mulai bermunculan, dan orang-orang mulai membentuk ikatan berdasarkan kekuatan, Tribe tidak bergabung dengan salah satu klan. Guna melestarikan anugrah yang mereka miliki, mereka memilih untuk menjadi pengelana, pedagang, pemain drama, pemain sirkus, dan juga pemain sulap."

"Kikuta Isamu, yang aku yakini adalah ayahmu, termasuk salah satunya. Ibu dan ayah Isamu adalah sepupu sehingga dia menggabungkan anugrah paling kuat yang dimiliki Kikuta. Saat berumur tiga puluh tahun, dia menjadi pembunuh yang paling sempurna. Tak ada yang tahu berapa banyak yang telah dia bunuh; sebagian besar korbannya nampak seperti mati alami. Orang tidak tahu banyak tentang dirinya. Dia ahli membuat racun dari ramuan dari tumbuhan gunung yang dapat membunuh tanpa ada jejak."

Kedatangan Muto sebenarnya tidak hanya sekedar berpelesiran atau bekerja kepada Lord Otori, namun lebih dari itu. Kedatangannya khusus untuk menjemput Takeo, sebagai keturunan Tribe Kikuta. Namun, Takeo selalu menghindar, walaupun ia tidak mampu lari dari kenyataan bahwa dirinya adalah mlik Tribe Kikuta. Seandainya, dia menolak bergabung, akibatnya akan seperti ayahnya. Seeprti yang diceritakan oleh gurunya Muto Kenji. “Saat dia ke wilayah Timur—kau tahu daerah yang kumaksud—untuk mencari ramuan racun, dia menginap di desa milik kaum Hidden. Orang desa itu mengatakan tentang tuhan mereka, larangan untuk membunuh, dan tentang pembalasan di hari akhir—kau tahu itu semua, tak perlu kuceritakan lagi. Di tempat terpencil yang jauh dari pertempuran antar klan itu, Isamu merasa muak dengan hidup yang dia jalani. Mungkin dia menyesal. Mungkin juga karena kematian telah memanggilnya. Lalu, dia menarik diri dari Tribe dan bergabung dengan kaum Hidden."

Kedua; dalam hal SUDUT PANDANG, ada yang baru dalam cerita Lian Hearn ini. Sudut pandang dalam cerita ini tidak selamanya memakai ‘aku’ atau orang pertama. Namun, ada juga menggunakan ‘dia-an’ atau sudut pandang ke-tiga. Ini menjadi sebuah pelajaran khusus, bahwa dalam suatu cerita, pencerita tidak harus membuat Titik Sudut Pandang hanya satu sudut saja. Bisa juga diaduk antara sudut pandang orang pertama dengan ke-tiga. Dan ternyata, daya rasa dari bacaan seeprti ini lebih kuat dan melekat di hati.

Ketika Takeo bercerita tentang dirinya sendiri, ia menggunakan ‘aku-an’ sedangkan, ketika ia bercerita tentang Kaede – Putri sulung Lord Shirakawa, ia bercerita menggunakan ‘dia-an’. Dan inilah yang membuatku yakin, bahwa kelak –entah di Kisah Klan Otori bagian ke-dua, tiga atau empat-nya- Lady Kaede akan bersama. Mereka bersatu oleh cinta yang murni dan akibat pengorbanan yang tidak lazim.

Di sisi inilah, aku mendapatkan hal baru. Pelajaran baru tentang sastra. Bahwa Sudut Pandang bisa dibuat-buat berbeda dari lainnya. Dan tampaknya akan lebih menarik, karena dua sudut pandang itu dirangkapkan, sehingga kelemahan diantara keduanya saling mengisi dengan kelebihan masing-masing.

Ketiga; Dari segi kebahasaan dan metafor, cerita ini sungguh memikat hati. Banyak sekali ditemukan metafor yang meloncat-loncat dan berkilauan seperti berlian. Gaya bahsanya sungguh lugas, namun sarat makna yang terpendam. Cerita ini dibuat menggunakan akal sehat dan perasaan yang benar-benar jernih. Tidak mudah membuat cerita seperti ini, apalagi penulis telah berhasil membuat para pembacanya selalu penasaran di setiap babnya. Sehingga cerita ini tidak ditemukan ada klise dan jenuh. Apalagi sampai membuat bosan pembacanya.

Keempat; Pesan yang termuat di dalam cerita ini sungguh banyaknya. Seperti, pengorbanan cinta yang dipilih oleh Takeo sungguh menggugah. Lalu, ketenangan yang diperlihatkan oleh Lord Otori sungguh mengagumkan. Apalagi kebijaksanaannya. Belum lagi, kelebihan yang didapat oleh Takeo tidak membuatnya menjadi besar hati, sombong apalagi menjadi penjilat. Keteguhan dan ketulusan yang diperlihatkan oleh Takeo bisa dicontoh. Pengabdiannya terhadap Lord Otori yang tidak biasa. Dan betapa hebatnya pengorbanan terakhir Takeo, ketika dia harus memilih mengorbankan kekuasannya dan cintanya demi sebuah janji.

Akhirnya, betapa inginku untuk membaca Kisah Klan Otori bagian ke dua. Sebuah pertanyaan muncul di dalam hati. Apakah Takeo dan Lady Kaede masih tetap berjauhan? Dan apakah Takeo kuat memendam deritanya ketika harus ebrjauhan dengan kekasihnya itu? Semuanya akan terjawab, keresahan jiwa ini akan terobati setelah nanti membaca buku kedua itu.

“Jika bukan karena ulahmu, dia tak akan dikubur,” Pikir Takeo tanpa pernah mengucapkannya.


Kamar Apek, 18 Oktober 2008.



0 comments: