Sunday, October 14, 2007

Senyum Terindah


Sepertinya, kehidupanku saat ini mulai tampak indah. Kulihat beberapa kali keindahan tersenyum kepadaku dengan senyumnya yang semerbak.terlihat bibir keindahan itu mungil menantang. Ah... benar-benar malam kemarin membuatku senang dan bahagia. Kerinduanku terhadap orang tua dan keluarga di Indonesia kali ini benar-benar terobati. Malam lebaran kemarin, aku bersama salah satu teman serumaku berjalan menuju kampung Gamalea sebelah Timur. Hampir setahun aku tidak menjenguk sebuah keluarga yang telah membuatku dapat menemukan oase kehidupan di Mesir. Beberapa bulan yang lalu aku hidup di sana selama sekitar enam bulan, di sana aku merasakan kehidupan yang begitu menyenangkan, sebuah kehidupan yang belum pernah kurasakan di tempat lainnya di Mesir, bahkan di tempat tinggalku saat ini, di Bathniyyah.

Aku berjalan menelusuri gang-gang sempit dengan gedung-gedung yang sudah usang dimakan waktu. Penuh debu, sampah dan sangat jorok. Entah mengapa tiba-tiba aku merasakan rasa rinduku untuk berjalan menelusuri gang-gang sempit itu. Bahkan berkali-kali aku sempat menendang rol-rol kenangan beberapa bulan yang lalu, ketika aku masih bertempat tinggal di daerah ini. Sebuah daerah dimana kesempitan, debu, jorok dan kesunyinyan menjadi sebuah daerah paling berharga dan nyaman buatku.



Entah bagaimana tiba-tiba saja aku merasa hidup di surga, padahal tempat di sini sangat memuakkan. Aneh memang kehidupan yang kurasakan beberapa bulan dulu. Kenangan-kenangan itu berkeliaran, seperti hantu mencari sukma.

Aku datang kembali ke daerah ini dengan beberapa tujuan, diantara tujuan-tujuan itu yang terpenting adalah bersilaturahmi dengan keluarga yang dulu rumahnya kami sewa selama berbulan-bulan. Sebut saja Mama, karena hingga saat ini aku tidak pernah tahu siapa nama ibu dengan empat anak itu. Aku hanya tahu nama suaminya Ahmed, anak-anaknya, seperti Mohamed, Imad, Heba dan Suzane. Selain ingin bersilaturahmi, aku juga ingin mengembalikan sebuah buku yang sudah lama ikut bersamaku. Aku sendiri tidak tahu, sebenarnya buku yang ikut tercampur dengan buku-bukuku ketika pindahan itu milik siapa, apakah milik Mama atau milik seorang yang pernah menyewa falat sebelumku?. Yang kutahu bahwa aku harus mengembalikannya ke tempat semula.

Selain itu, aku juga sudag rindu dengan lorong dan gang sempit kampung Gamalia, tempat bermain seorang novelis besar Mesir Naguib Mahfoudz. Aku juga rindu senyuman Mama, Heba, aplagi Suzane. Dan masih banyak sekali tujuan-tujuan yang lainnya selain itu. Dengan hati agak deg-degan, malam takbiran itu aku bergentayangan ke rumaha Mama. Baru saja sampai di bawah apartemen rumahnya, aku bertemu dengan anak laki-laki Mama yang bernama Imad. Pertama melihatnya aku kaget sekali, karena Imad sekarang sudah tampak lebih besar dan lebih tinggi dariku. Tiba-tiba pikiranku juga melayang ke Indonesia, dibenakku teringat adik laki-lakiku yang semurun dengan Imad. Apakah ia sudah sebesar Imad saat ini? Aku bertanya-tanya dan sesekali tersenyum kalau suatu saat bertemu dnegan adikku itu.

Imad berkata dengan ramah dan masih ingat dengan kami, katanya ibunya ada di rumah dan kami disuruh langsung masuk ke rumah, sedangkan Imad sendiripergi meninggalkan kami. Kami melanjutkan perjalanan ke atas apartemen dan ketika kami sudah sampai di depan pintu yang sudah terbuka lebar. Ternyata Heba dan Suzane sudah menyongsong kami di tengah-tengah pintu. Mereka menyambut kedatangan kami dengan hangat dan lembut. Berkali-kali mereka mengatakan, syaraftumuna (kedatangan kalian memuliakan kami) dan dengan senyum terindah yang sering kulihat sebelumnya. Aku melihat dua puteri Mama itu, lalu mereka mempersilahkan kami masuk ke dalam rumah. Setelah kami duduk, Suzane masuk ke dalam kamar ibunya atas kedatangan kami.

Kedatangan kami disambut baik oleh Mama, bahkan berkali-kali Mama mengatakan penyesalannya karena jarang menghubungi kami. Mama dan Heba bercerita berbarengan, mereka bercerita bahwa Heba sudah menikah beberapa bulan yang lalu. Aku senang mendengarnya. Heba dengan rasa bangganya bahkan memperlihatkan cincin pernikahannya. Belum pernah aku merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya, entah apakah karena aku sejak dahulu mereka adalah keluargaku juga. Sehingga pernikahan Heba yang sudah kuanggap kakak perempuanku itu sangat menggembirakanku. Temanku bertanya tentang pernikahan Suzane juga, kapan dia menikah. Mama mengatakan bahwa Suzane masih belum menikah dan Suzane tersenyum agak malu-malu mendengar pertanyaan kawanku itu. Memang Suzane masih terlalu muda untuk menikah bagi adat orang Mesir, ia baru saja lulus dari sekolah Aliyah. Mungkin umurnya baru sekitar 19 tahunan. Tapi kali ini aku memperhatikan dirinya dengan seksama, sepertinya dia sudah tampak besar dan lebih dewasa dari pada setahun yang lalu.

Tubuhnya yang sudah berbau keibu-ibuan menunjukkan bahwa sebenarnya dia sudah layak untuk menentukan jodohnya terhadap seorang laki-laki. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara Heba dan Suzane. Heba memiliki tubuh yang sudah begitu sempurna dan matang, mukanya tampak bundar ovel dengan wajah yang manis, sedangkan Suzane mempunyai wajah yang lonjong dengan hidung yang snagat mancung. Melihat hidungnya yang meruncing itu, tiba-tiba terlintas gambar muka ratu kecantikan Mesir, Cleopatra. Apakah ratu Cleopatra yang digembar-gemborkan kecantikannya itu mirip dengan Suzane?. Aku tidak tahu!.

Kami berbincang-bincang berlima saja. Mereka masih ingat nama satu persatu kami, hanya Mama dan Heba yang sudah lupa namaku yang sulit Angga!, nama yang sulit bukan?. Tapi aku mengatakan luar biasa pada Suzane yang ternyata masih ingat namaku dan cara menucapnya cukup tepat juga. Kami berbincang-bincang cukup lam dengan topik pembicaraan yang banyak sekali. Seputar pernikahan Heba, kenangan hidup kami dahulu, tentang tanah air, tentang perkuliahan, tentang Imad, sepak bola Mesir, artis Mesir sampai tentang persoalan bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri paginya.

Berkali-kali aku dan kawanku harus tertawa terbahak-bahak ketika mendengar penuturan Mama yang lucu seperti seorang pelawak di televisi. Suatu ketika Mama mengatakan bahwa dirinya pernah kuliah di suatu Universitas, ketika kami ngobrol tentang perkliahan. Kami bertanya, di universitas mana Mama kuliah? Dia menjawab dengan enteng dan lucu. Ana kuliah fi kuliyatul manjil wal mathbakh! (Kuliah Rumah Tangga dan Dapur). Sepontan kami tertawa mendengar jawaban konyol itu, bahkan Heba dan Suzane ikut tertawa terbahak-bahak samapai memegangi perutnya. Luar biasa konyolnya orang Mesir.

Lalu topik pembicaraan beralih ke artis-artis setelah kami berbincnag-bincang tentang sepak bola, khususnya Ahlawy (tim sepak bola Kairo) dan Zamalekawy (tim sepak bola Zamalek). Dalam hal ini kami ditanya pendukung yang mana antara tim sepak bola Mesir yang selalu melakukan petandingan dengan kemenangan bergantian itu. Lalu aku menjawab bahwa aku tidak mendukung siapa-siapa, keduanya adalah tim yang bagus. Pengakuanku ini aku kuatkan dengan mendedangkan lagu Nancy Agram berjudul Zamalek wal Ahly, sebuah lagu khusus untuk dua tim sepak bola terbesar di Mesir. Bahkan akhirnya aku bertanya apakah mereka kenal dengan Nancy Agram, mereka menjawab bahwa mereka sangat mengenal penyanyi pelarian Libanon itu. Lalu mereka menyebutkan sederetan nama-nama penyanyi yang sudah kueknal akrab, bahkan aku sampai hapal beberapa lagunya. Heba ternyata sangat suka dengan penyayi Libanon Elliza dan Suzane menyukai penyanyi Ashala Nashry asal Syiria. Lalu aku bislang bahwa aku suka penyanyi Mesir Sheren yang saat ini lagi hamil dua bulan. Mereka kaget mendengar pengakuanku itu. Ternyata mereka juga menyukai Sheren yang katanya suaranya sangat merdu. Lalu Heba bertanya apakah aku keal dengan penyanyi Heifa dan bagaimana pendapatku. Aku mengatakan bahwa penyanyi ini tidak begitu baik, karena kepopuleran Heifa bukan dari suara tapi goyangan mautnya, seperti Inul. Dan Heba manggut-manggut membetulkan pendapatku.

Setelah lama kesana kemari bercerita, ternyata tidak terasa aku telah beridam di sana kurang lebih sekitar dua jam. Cukup lama untuk sekedar melepas rindu. Ketika kami ingin minta pamit, berkali-kali Mama masih ingin ngobrol dan masih merasa rindu kepada kami, tapi kami memaksa untuk pergi karena sudah terlalu lama kami di sana. Akhirnya kami pulang dengan puas dan buku yang akan kami kembalikan itu ternyata diberikan kepadaku sebagai hadiah. Senyum manis Heba dan Suzane mengawal kepulangan kami dengan hati gembira, karena sepertinya aku telah mendapatkan kehangat keluarga di Mesir. Kehangatan kelaurgaku yang sudah lama kuimpikan sejak aku tinggal di negeri orang ini. Senyum indah dan ramah itu tidak akan pernah terlupakan. Dan akhirnya semoga suatu saat aku bisa menyambung silaturahmi dengan keluarga itu seterunya, bahkan sampai nanti kepulanganku ke Indonesia.

0 comments: