Wednesday, October 24, 2007

Mengelupas Definisi Sastra


Mengelupas definisi sastra sampai ke akar-akarnya tidaklah semudah kita membalikkan telapak tangan, mengelupasi definisi sastra yang begitu banyaknya hampir sama sulitnya dengan menghitung warna dalam pelangi, karena disamping kita belum bisa menemukan definisi yang betul-betul mencukupi, juga di sekitar sana masih ada definisi-definisi liar yang disuguhkan oleh perorangan yang ikut andil dalam mendefinisikan sastra sesuai dengan keinginannya. Definisi-definis liar inilah yang membuat para pakar bahasa dan sastrwan sendiri menjadi pening.
Tapi dari semua definisi yang diberikan oleh orang-orang, baik dari para pakar bahasa, sastrawan ataupun orang awam sendiri kita bisa mengambil tiga inti dasar dari definisi-definisi itu. Tiga inti yang ada pada definisi-definisi itu adalah keindahan, tulisan dan obyek sastra. Dari tiga inti dasar definisi sastra ini, telah muncul warna-warni sastra yang membingungkan. Dari tiga inti dasar definisi sastra ini juga muncul berbagai permasalahan yang membuat seorang sastrawan harus berfikir secara keras untuk menemukan jawaban dari pertanyaan itu. Permasalahan-permasalahan itu muncul baru-baru ini, ketika kebudayaan menjadi semakin tua dan berkembang.



I– Keindahan
Apakah sastra itu harus indah?, mungkin seringkali pertanyaan itu menyentuh benak kita, kerap kali sastra dihubungkan dengan keindahan dan kertistikan. Bahkan ada beberapa golongan yang mengklaim bahwa sastra itu harus indah, jika ada karya sastra tanpa keindahan dan keartistikan, maka karya sastra itu bukan disebut sastra lagi. Apakah semua itu betu?, untuk menjawab itu, saya ingin menanyakan kepada Anda-anda sekalian, seberapa banyak karya sastra yang Anda baca dan seberapa banyak Anda mengetahui tentang sastra.
Dari definisi yang kita dapatkan dalam kamus KBBI kemarin, bahwa sastra harus memiliki ciri keunggulan, diantaranya adalah keindahan. Ciri khas ini harus selalu melekat pada sebuah karya sastra (ibda’), baik dalam bentuk prosa atau puisi. Lah, terus bagaimana dengan para sastrawan dan penyair yang membuat sebuah karya sastra tanpa adanya keindahan di dalamnya?. Apakah itu termasuk karya sastra?. Pada dasarnya keindahan hanyalah sebuah ciri pada sastra yang bisa dihilangkan dan digantikan dengan ciri yang lain, seperti halnya sebuah perhiasan dan baju yang ada pada diri manusia. Semua itu bisa diibaratkan sebagai seorang perempuan yang cantik, apakah seorang yang cantik itu dilihat dari keindahan perhiasan dan bajunya, tentu tidak!. Kecantikan tidak harus disandarkan kepada keindahan sebuah perhiasan yang dipakai seseorang, kecantikan dan keindahan pada seseorang lebih banyak terpancar pada dirinya sendiri, cara pandang seseorang padanya, dan perbedaan sudut pandang seseorang. Seperti itu juga sebuah karya sastra, keindahan hanya sebagai salah satu ciri khasnya, yang terpenting adalah sesuatu yang memancar dari diri sastra itu, bukan embel-embel yang lainnya.
Memang sebuah sastra tidak bisa terlepas dari keindahan, entah itu dalam takaran sedikit atau banyak. Tapi keindahan itupun masih umum, karena keindahan sendiri bisa diartikan menjadi banyak, entah keindahan dalam bahasanya, filsafatnya, pesan akhirnya, ataupun keindahan sebuah alurnya. Tapi diantara semua keindahan itu, yang paling ditekankan adalah keindahan pada pesan sastra dan alurnya, bukan keindahan bahasa yang di dalamnya tidak ada isinya. Isi pada sebuah sastra adalah perkara yang paling penting, karena bagus tidaknya sebuah sastra bisa dilihat dari isi yang dimuat oleh sebuah karya sastra. Jadi keindahan pada sebuah karya sastra bisa dibilang hanya sebuah perhiasan sastra yang bisa dipakai atau dicopot, sedangkan isi pada sastra itu yang menentukan semuanya. Kalau kita bisa melihat seperti karya sastranya novel Ngauib Mahfouz (Awlad Haritna), Dan Brown (Da Vinci Code), Seno Gumira Ajidarma (Negeri Senja), dan puisinya Muchtar Lubis (Harimau), dan lain-lainnya. Di sana kita bisa menemukan tulisan yang jauh dari sebuah keindahan (kata-kata), karena semuanya lebih banyak menyuguhkan sebuah simbol-simbol yang membuat kita harus mengerutkan kening untuk dapat memecahkannya. Tapi dari semua karya sastra itu kita bisa mendapatkan sebuah pelajaran yang sangat mahal tentang kebebasan perpikir, berpendapat dan demokrasi pada sebuah negara. Begitu juga dengan novel filsafat karya Jostein Gaarder dengan judul Dunia Sophie-nya yang memuat pelajaran tentang filsafat, semuanya jauh dari keindahan bahasa yang banyak diagung-agungkan oleh orang-orang hingga saat ini. Dengan adanya sebuah karya yang seperti itu apakah keindahan bahasa dalam sastra menjadi sebuah ciri khas yang tidak bisa dihilangkan?. Keindahan bahasa tidaklah mutlak harus ada pada sebuah karya sastra, yang terpenting adalah pesan yang dibawa oleh karya satra itu.

II– Tulisan
Definisi yang akan saya kupas adalah definisi yang menyatakan bahwa sastra adalah karya tulis, atau creative writing of recognized artistic value. Sastra adalah sebuah cerminan ide atau bahasa yang dituangkan lewat sebuah karya atau tulisan. Secara mutlak, patokan sastra tidak harus dituangkan dengan cara tulis, kenapa?. Karena menuangkan sebuah gagasan dalam otak manusia tidak hanya lewat tulisan, di sana masih ada banyak wahana yang bisa dibuat untuk wadah sebuah gagasan (karya sastra).
Sarana yang dipakai manusia untuk mengaktualisasikan ide-ide, gagasan-gagasan dan hasil pikirannya tidak terbatas pada tulisan saja, sarana-sarana lainnya basih banyak sekali, diantaranya adalah bercerita dari mulut ke mulut (safawiyah/oral), tulisan, gambar (visual), suara (audio), audio-visual, gerakan, atau tidak gerak sama sekali. Jadi tulisan bukan satu-satunya sarana yang ada pada kehidupan kita, di sana masih ada puluhan, bahkan ratusan sarana lainnya yang terus menerus muncul di dalam kehidupan kita. Coba kita tengok sarana pertama kita ketika pertama kali kita lahir ke dunia ini, dengan menangis. Menangis adalah sarana pertama manusia untuk merealisasikan kedukaan dan kegembiraannya dan sarana komunikasi terhebat bagi manusia ke manusia lainnya.
Mungkin, definisi itu bisa disepakati dan dipakai patokan bagi sastra pada zaman puluhan tahun silam, tapi untuk saat ini apakah definisi itu masih bisa berlaku, apakah definisi seperti itu masih bisa membuat seseorang diam?, tentu tidak. Mungkin pula, pada waktu itu media yang paling baik untuk mengaktualisasikan sastra adalah lewat tulisan, disamping mudah juga hasilnya cukup bagus dan bisa dijangkau oleh semua kalangan. Sedangkan media atau sarana yang lainnya sangat sulit didapatkan dan digunakan. Faktor sejarah seperti itu tidak bisa dipungkiri lagi, karena adanya saat ini adalah hasil dari masa silam, dan adanya saat ini akan membawa hasil di masa depan. Setiap sesuatu selalu berupa bersamaan dengan berubahnya arah jarum jam dari setik sampai jam. Begitupun dengan sastra dan definisi-definisinya, sudah selayaknya untuk diubah juga, karena definisi yang kita pakai sudah cukup tua, cukup untuk dipensiunkan dan dirubah dengan yang baru yang mampu mencakup semuanya.
Dengan kenyataan saat ini, seperti sarana gambar (visual) misalnya, sastra semakin luas cakupannya. Dari gambar (visual) itu, seperti lukisan, karikatur, foto dan lain-lainnya telah mewakili sastra dan seni untuk mengaktualisasikan ide-ide dan gagasan-gagasan pada diri manusia, seperti halnya dengan novel, cerpen, puisi, naskah drama dan lain-lain yang dihasilkan lewat sarana tulisan. Begitu juga dengan sarana suara (audio) yang menghasilkan karya seni dan sastra lewat sandiwara, cerita dan lain-lainnya. Atau gabungan antara gambar (visual) dan suara (audio) yang diwakili oleh film, sinetron dan lain-lainnya. Dan masih banyak lagi sarana-sarana lainnya yang ada pada kehidupan kita saat ini.
Tentang hubungan sastra dan seni, bisa dikatakan sebagai satu tubuh, karena kedua-duanya berjalan seiringan, seni seperti halnya keindahan. Kedua-duanya termasuk ciri dari sebuah sastra.
Makanya dari itu semuanya, penulis mencoba untuk mendefinisikan sastra sebagai cerminanan dari kehidupan-baik dari sastrawan itu sendiri atau dari lainnya- yang direfleksikan melalui media-media, baik bahasa, tulisan, ataupun audio-visual dengan hiasan artistik, keindahan dan lainnya, dan dengan tujuan tertentu. Bukan sekedar mendefinisikan saja, tapi lebih banyak untuk mencoba melakukan rangkulan-rangkulan ke semua aspek. Walaupun penulis sendiri tidak memungkiri adanya kekurangan-kekurangan saat ini atau yang akan datang, karena penulis lebih suka tidak mendefinisikan sastra sesuai dengan pernyataan Ibn khaldun tentang sastra yang mengatakan, “Sastra tidak bisa didefinisikan dan tidak ada definisinya”.

III– Obyek Sastra
Obyek sastra bisa muncul dari dalam diri sastrawan sendiri atau dari luar, bisa berbentuk sebuah kritikan, emosi, informasi, pembelajaran dan lain-lainnya. Seperti yang dikatakan oleh Mahmud Stanie bahwa unsur pembangun sastra (obyek sastra) banyak sekali, bisa dari budaya dimana sastrawan itu tinggal, atau kebudayaan orang lain dimana sastrawan mendapatkan inspirasi darinya. Cara berfikir, tempat tinggal, budaya, geografis dan politik bisa memunculkan berbagai corak sastra. Makanya obyek sastra atau unsur pembangun sastra bisa dikatakan ada dua secara garis besarnya, yaitu intrinsik (unsur dalam) dan ekstrinsik (unsur dari luar). Maksud dari unsur intrinsik adalah bahwa obyek pembangun sastra ada pada diri sastrawan sendiri, di mana semua ide, gagasan dan khayalan keluar dari dalam diri sastrawam. Seperti ketika seseorang menulis sebuah novel yang diambil dari kisah perjalanan kehidupan sendiri atau dari buku hariannya, maka obyek sastra yang diambil adalah dirinya sendiri.
Berbeda dengan ketika ada seseorang menulis sebuah sajak yang diambil dari cerita orang lain atau menceritakan orang lain, seperti sajak dari W. S. Rendra Paman Doblang, Rendra menceritakan tentang seorang yang dipenjara oleh penguasa yang diktator, ia ingin menceritakan tentang seorang penguasa yang diktator. Unsur yang ini dinamakan unsur ekstrinsik. “Sastra adalah cerminan dari kehidupan dari pernik-perniknya sampai yang besar”, kata Dr. Syafiq Abdur Razaq Abi Sa’dah dosen fakultas bahasa Arab universitas al-Azhar.
Dari kedua unsur inilah ide-ide mengalir deras, ide dan gagasan akan datang bersamaan dengan kehidupan manusia dari zaman ke zaman, karena hakekat sastra adalah salinan atau cerminan sebuah kehidupan manusia, makanya benar apa yang dikatakan Plato, bahwa sastra adalah sebuah karya tiruan realitas, yang notebenenya adalah tiruan dari dunia ide.
Makanya ada benarnya ketika ada seseorang mengatakan bahwa dengan membaca karya sastra, Anda sama dengan melihat dan membaca sebuah kehidupan manusia, bisa dibilang sastra mirip seperti surat kabar, cuma bedanya sastra dihiasi dengan berbagai perhiasan yang menarik. Ada juga yang mengatakan bahwa sastra adalah hasil karya berupa hayalan tingkat tinggi seseorang, dengan mengatakan seperti ini, Anda menyatakan kebenaran apa yang dikatakan oleh Plato, Anda menyetujui dan menyepakatinya, padahal tidak juga. Buktinya adalah tidak semua karya sastra berasal dari hayalan saja, ada juga yang berasal dari dunia realis dan benar-benar ada dalam kehidupan kita.
Terus apa hubungan budaya dan sastra?, kalau saya bisa mengatakan, sastra muncul dari budaya, sastra juga bagian dari budaya. Begitu juga budaya kadang-kdang bisa tercipta karena budaya. Seperti novelnya Arthur C. Clarke yang berjudul Space Odyssey, Arthur mengkisahkan tentang sebuah komputer yang bisa menerima perintah-perintah manusia, komputer itu juga mampu diajak berbicang-bincang layaknya manusia. Dari novel Arthur ini, para ilmuan hingga saat ini mencoba membuat komputer semisal komputer yang ada di novelnya . Ini yang dinamakan sebuah karya sastra bisa membangun sebuah peradaban dan budaya, dan masih banyak karya sastra lainnya yang semisalnya.
Hubungan sastra dan budaya bisa diibaratkan seperti seekor ayam dan sebutir telur. Kita akan sulit menentukan mana yang dahulu dari keduanya, karena keduanya saling berhubungan dan saling mempengaruhi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Budaya adalah obyek luar bagi sastra, ia juga bisa memunculkan corak yang bermacam-macam. Corak sastra ini akan muncul bersamaan dengan bermacam-macamnya budaya yang ada di bumi. Seperti budaya China yang membawa corak sastra China dengan peperangan-peperangannya. Juga budaya Arab yang membawa corak sastra Islam.
Akhirnya sastra adalah karya terbesar, termulia, dan terhebat. Seorang sastrawan adalah seorang pencerita hebat, ia juga termasuk psikolog yang menghubungkan manusia dengan manusia.
Sastra begitu besar, tidak mungkin manusia untuk mendefinisikannya, karena sastra tidak butuh didefinisikan dan tidak perlu didefinisikan.

Bibliografi

Abdur Razaq Abu Sa’dah, Syafiq, Muthalaat fil Adabil Umawi, al-Azhar, Kairo, 2006.
Abdur Razaq Abu Sa’dah, Syafiq, Qithafun min Tsimaril Adabil Umawi, al-Azhar, Kairo, 1992.
Al-Askandari, Ahmad, et. al. Al-Mufassil fi Tharikhil Adabil Arabi, Maktabah al-Adab, vol. 1, Kairo, 2005.
Ahmad Badawi, Ahmad, Asasun Naqd al-Adab indal Arab , Nahdhah Misr, Giza, cet. VII, 2004.
Hussain, Thaha, Fil Adabil Jahili, Dar el-Ma’arif, Kairo, cet. X, tanpa tahun terbit.
Dhaif, Syauqi, Al-Ashrul Jahili, Dar el-Ma’arif, Kairo, cet. IV, tanpa tahun terbit.
Gunawan, Adi, Kamus Praktis Ilmiah Populer, Kartika, Surabaya, tanpa tahun terbit.
Afif, Hamid, Menyampaikan Ideologi Lewat Sastra, makalah kajian lepas Gamajatim pada tanggal 30 September, Kairo, 2006.
Niswah el Fidaa, Dhoriefah, Problematika Definisi Sastra, makalah kajian lepas Gamajatim pada tanggal 30 September, Kairo, 2006.


1 comments:

Erisa said...

please cara download novel dunia sophie pleaseeeeeeeeeee