Wednesday, October 24, 2007

Kenapa Harus Menulis?

Mungkin bagi sebagian orang yang pernah nonton film dengan judul Catatan Akhir Sekolah di sana, kita bisa menemukan sebuah jargon (Maksudnya pesan filmnya) atau idiologi dari film itu yang mengatakan bahwa kita hidup(seorang murid/mahasiswa) adalah hanya untuk mecatat. Mungkin bagi sebagian orang, pesan yang seperti itu tidak menimbulkan sesuatu yang perlu diingat atau diperhatikan lebih khusus, tapi bagiku pesan itu menjadi sesuatu yang dahsyat dan penuh makna tersendiri. Aku bisa mengatakan bahwa diriku ada sedikit kecondongan tentang masalah itu, tapi bukan berarti aku sepakat secara bulat-bulat terhadap pesan seperti itu. Menurutku kehidupan yang paling berarti adalah ketika kita bisa sedikit menulis bukan mecatat semua detik kehidupan kita sendiri atau yang berhubungan dengan alam lingkungan di samping kita hidup.




Terdapat perbedaan mendasar antara menulis dan mecatat, kalau dalam bahasa Inggrisnya menulis diartikan write, sedangkan mecatat diartikan sebagai note. Ini menunjukkan bahwa dimanapun dan apapun bahasanya, antara menulis dan mecatat ada perbedaan yang sangat mendasar, baik dari segi penggunaan kata atau fungsi kata, arti, dan kekhasannya atau keunggulannya. Menulis adalah salah satu kata yang bisa digunakan dalam segala kondisi dengan aspek yang lebih luas dan merata, sedangkan penggunaan kata mecatat adalah sebuah kata yang digunakan dalam kondisi yang lebih khusus dengan kondisi yang sempit dan terbatas. Kata mecatat digunakan untuk istilah dalam sebuah kasus atau kondisi yang sempit dan dalam waktu yang pendek, seperti halnya catatan akhir sekolah. Ini berarti bahwa kondisi mecatat hanya dibataskan pada detik-detik dalam kehidupan bersekolah. Sering kali kata catatan dibataskan pada sesuatu yang lebih sempit dan pendek, karena memang makna asli dari kata itu menyempitkan dan mengkhusukan sesuatu yang disandarkan pada kata itu.

Aku lebih senang menulis. Itu sudah jamak kalau kita mau berpikir ke masa depan. Aku mulai suka menulis ketika aku selesai ikut lomba karya ilmiah nasional di Malang, Jawa Timur. Waktu itu aku mewakili sekolahku untuk maju ikut lomba, setelah guru bahasa Indonesia dan sastra Indonesia mendesakku. Sebenarnya aku sendiri sudah tidak ada mood untuk mengikuti lomba atau menulis lagi, karena waktu itu aku harus konsen pada ujian akhirku. Dengan bekal bismillah aku pun terpaksa ikut. Sebelum menulis aku harus melakukan riset dan pengekploitasian data ke perpustakaan dan berbagai tempat. Waktu riset aku membutuhkan waktu sekitar satu bulan, sedangkan untuk menulis hanya membutuhkan waktu dua minggu. Setelah selesaid an diserahkan ke Malang, aku menunggu terus dengan hati agak khuwatir, maklum ini adalah lomba terbesar dalam hidupku waktu itu. Setiap satu minggu, aku mendapatkan surat dari Malang yang isinya hasil karyaku diterima. Aku mendapatkan empat kali surat, isi pertama menjelaskan bahwa karyaku telah sampai dan diterima. Isi ke dua menjelaskan tentang penyeleksian dari 150 peserta dari berbagai propinsi dan aku masuk pada 70 peserta terbaik, lalu isi ke tiga kuterima yang isinya menerangkan bahwa aku masuk pada 40 peserta yang diterima. Surat ke empat kuterima dengan hati getir, karena aku tidak bisa masuk dalam penyeleksian 12 peserta terbaik.

Sampai di sini aku mules sekali. Di surat itu dijelaskan banyak sekali kekurangan, baik dari segi judul dan pendalaman riset. Aku bisa masuk ke dalam 40 besar, karena tata kebahasaan tulisanku bagus. Setelah kegagalanku ini, aku jadi pobia atau takut terhadap beberap perlombaan. Aku tidak mau lagi mengikuti perlombaan. Tapi dari segi menulis, aku semakin haus dan lapar. Setelah lulus dan aku mau meneruskan ke jenjang S1 di Mesir di saat itulah guru bahasa dan sastra Indonesiaku memberi pesan padaku untuk selalu menulis, karena katanya bakat ada pada penulisan. Sebenarnya aku tidka begitu percaya tentang bakatku itu, aku hanay percaya bahwa aku tidak mempunyai kemampuan dalam berbicara, sehingga membuatku harus belajar menulis dan menulis. Menulis bagiku adalah berbicara juga, bahkan lebih hebat lagi, karena kita akan mentransformasi keilmuan kita juga. Setelah aku berada di Mesir, aku sempat mengalami kecanduan untuk menulis, sehingga hari-hariku di Mesir tidak terlepas dari pena, tulisan dan buku bacaan. Kemana pun aku pergi, aku selalu membawa tiga teman setiaku itu.

Untuk menemukan ide tentang apa yang akan kutulis, aku sering kali melakukan jalan-jalan. Entah ke mana, asalkan jiwa dan pikiranku bisa melayang bebas untuk menemukan pernik-pernik kehidupan yang bisa kutulis. Kadang dalam bis, aku terdiam seperti ornag melakukan meditasi, bukan melamun atau apa, tapi sengaja kulakukan untuk mencari ide tulisan. Hingga saat ini aku telah menulis banyak artikel, esai, puisi, cerpen dan bahkan novel. Walaupun tidka bagus amat tapu cukup memuaskan sebagai awla dari pena yang masih muda walaupun dengan umur yang tua. Hingga saat ini aku masih menulis, sebagai gerbang dan alat untuk berbicara dan memindah ilmu pengetahuan yang kumiliki. Sejak di Mesir, aku jadi tahu bahwa kalau harimau mati meninggalkan belang, gajah meninggalkan taring, maka aku akan meninggalkan karya tulisan ketika aku meninggal suatu saat. Setidaknya inilah yang kupahami dari seorang penyair Qus bin Sa’dah, bahwa seseorang harus membuat karya besar sebelum jiwanya melayang meninggalkan raga.




1 comments:

Anonymous said...

yah yah yah yah yah